Naskah Timbangan merupakan karya Rd. Moezni Anggakoesoemah yang berisi ajaran kerohanian (Islam). Lebih khusus lagi adalah buah renungan terhadap berbagai masalah hidup pada masanya. Hasil renungannya ditulis dalam tiga bagian berbahasa Sunda yang disusun dalam bentuk guguritan, yaitu Guaroma (Gurinda Alam Rohani Majaji), Ibtat (Imam Bener Tetengger Allah Ta’ala) dan Satahama (Sareat, Tarekat, Hakekat, Ma’rifat).

Ketiga tahapan tersebut merupakan ancang-ancang untuk melahirkan tahapan ke empat yaitu: Palasipah atau palsafah Timbangan (Pandangan hidup Timbangan) dan Ameng Timbangan (Padepokan Penca Daya Sunda, tt: 10). Tahap keempat tidak dituliskan, melainkan disampaikan secara oral (lisan) dan peragaan langsung.  Hal lain yang menarik selain ajaran kerohanian adalah gerak penca yang disebut Ameng Timbangan oleh Ema Bratakoesoemah (Kujang, 1960: No. 254) adalah susunan atau penyajian teks dan pola pikir penulis.

Temuan Penelitian

Naskah Timbangan secara fisik berasal dari putra (keluarga) R. Moechjidin Anggakoesoemah yaitu R. Achmad Darajat atau Kang Aom. Ditulis dalam bentuk “buku” yang diberi judul Guaroma IBTAT SYATAHAMA. Buku tersebut merupakan teks Naskah Timbangan yang telah ditik dengan aksara Latin menggunakan perangkat komputer. Jadi, yang dimaksud buku itu adalah hasil cetakan, print out, tentang Guaroma Ibtat Syatahama yang telah dijilid. Alasan pengetikan adalah untuk memudahkan orang-orang yang memerlukannya serta menyelamatkannya dari kerusakan (Heryana, 2016: 65)

Penulisan teks mengunakan dua bentuk sastra, yaitu prosa dan puisi. Bentuk prosa terdapat pada bagian awal yang berisikan tentang pokok-pokok ajaran Islam. bagian kedua, yang ditulis dalam bentuk puisi, merupakan penjabaran dari bagian pertama.

Penyajian Teks

Teks Naskah Timbangan ditinjau dari bentuk sastra merupakan representasi dari bentuk sastra kitab dalam wujud prosa dan Jawa Kuno dalam wujud pupuh. Teks Naskah Timbangan terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu: (1) Gurinda alam majaji (Guaroma), (2) Iman Bener anu jadi Tetengger Allah Ta’ala (IBTAT); (3) Saréat Tarékat Hakékat Marifat (SATA-HA-MA). Ketiga naskah tersebut ditulis dalam bentuk puisi (pupuh), kecuali bagian Guaroma ditulis dalam dua bentuk, yaitu prosa dan puisi.

Prosa 

Bentuk prosa digunakan dalam menguraikan Guaroma. Guaroma adalah akronim dari Gurinda alam majaji yang merupakan uraian deskriptif mengenai ketahuidan sekaligus ajang “meneliti dan menelisik” calon murid Timbangan. Proses penyampaian Guaroma dilakukan dengan cara dialog atau tanya-jawab antara guru dengan calon murid Timbangan. Dalam istilah Sunda proses demikian disebut gunem catur (diskusi tanya jawab). Gurinda alam majaji arti secara harfiah adalah asahlah hingga tajam mengenai alam majaji. Alam majaji berarti alam metafora, alam kiasan. Alam kiasan atau metapora sering ditujukan pada alam dunia, alam jasmani atau alam lahiriah.

Penyajian teks Timbangan bagian Guaroma dalam bentuk prosa menguraikan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu: (1) Rukun Islam, terutama mengenai rukun syahadat. (2) Kalimah Kalih (dua kalimat syahadat); (3) Sifat 20 (Dua puluh) Allah.

Pokok utama pelajaran Ajaran Timbangan di awali dengan pemahaman atas Rukun Islam, yaitu: Syahadat, Shalat, Saum (Puasa), Zakat, dan Ibadah Haji. Satu dari lima Rukun Islam memperoleh penekanan yang maksimal, yaitu Syahadat. Syahadat menurut teks ini mempunyai (empat) 4 rukun, yaitu adanya pengukuhan atas (1) Dzat Allah, (2) Sifatullah, (3) Af’alullah, dan (4) kesaksian kepada Rosulullah. Keempat rukun syahadat ini kemudian dijelaskan dalam teks-teks selanjutnya.

Puisi

Naskah Timbangan berbentuk puisi ditandai dengan pemakaian pupuh. Berdasarkan kuantitas pemakaiannya, teks Naskah Timbangan termasuk ke dalam kelompok KSAD. KSAD merupakan akronim dari pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Artinya teks Naskah Timbangan bagian puisi dibangun menggunakan pupuh KSAD. Adapun kandungan teks terdiri atas 3 bagian, yaitu:

(1) Gurinda alam majaji (Guaroma). Secara umum kandungannya mengenai konsepsi Allah. Eksistensi Allah dapat dipelajari melalui penelaahan/pengkajian kalimah kalih (syahadat) dan sifat duapuluh Allah.

(2) Iman Bener anu jadi Tetengger Allah Ta’ala (IBTAT); keyakinan adanya Allah akan membuahkan keimanan yang benar. Adanya keimanan ini secara langsung menunjukkan eksistensi Allah.

(3) Saréat Tarékat Hakékat Marifat (SA-TA-HA-MA). Keimanan kepada Allah seyogyanya dibuktikan dalam wujud amal saleh. Pada bagian terkakhir inilah manusia harus menunjukkan dan membuktikan keyakinan kepada Allah dalam perilaku.

Akal: Berfikirlah!

Berpikir dalam teks Naskah Timbangan menjadi awal seseorang dalam memahami uraian yang terdapat di dalamnya. Siapapun orangnya “dipaksa” untuk semaksimal mungkin menggunakan akal pikiran -dan pada konteks tertentu menggunakan hati nurani- untuk memahami pengetahuan yang maha besar, yaitu Allah.

Ada 4 (empat) kalimat yang tercatat pada bagian prosa dan 2 (dua) pada bagian puisi yang bernada suruhan untuk berpikir, membolak-balik dan mengulang pemahaman yang telah diuraikan. Keempat perintah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, Tah éta perlu dimanahan kumaha nyatana netepkeun Dzat Allah –Sifatullah- Af’alullah jeung sidik ka Rosulullah téh? (Nah hal itu perlu dipikirkan bagaimana realitanya mengukuhkan Dzat Allah –Sifatullah- Af’alullah dan sidik kepada Rosulullah?).

Kedua, Mangga geura manahan naon nyatana Dzat Allah -Sifatullah- Af’alullah jeung sidik ka Rosulullah téh? (Silakan pikir dalam-dalam apa realitanya Dzat Allah – Sifatullah – Af’alullah dan sidik kepada Rosulullah?).

Ketiga, Pék geura garayem sing tepi ka lembutna; masing datang ka bersihna, masing datang ka sucina nepi ka pangkating maha. (Silakan pikirkan matang-matang sampai mendetail, hingga datang kebersihan (hati), terasa kesuciannya untuk mencapai keyakinan sempurna).

Keempat, Tah ieu kudu dimanahan sing rintih, ulah kaliru. Jadi geuning Muhammad kakasih Allah téh Muhammad jenengan Allah jadi ganti ngaran. (Nah ini harus direnungkan dengan hati-hati, jangan keliru. Jadi, Muhammad kekasih Allah itu (sama dengan) Muhammad nama Allah, (artinya) ganti nama).

Ada tiga kata yang menunjukkan pembeda arti dalam memahami kalimat perintah di atas yaitu netepkeun, nyatana, dan sidik. Pilihan ketiga kata tersebut tampaknya bukan tanpa makna. Masing-masing memiliki hirarki-makna yang menunjukkan pembeda fungsi. Netepkeun dan nyatana dipakai untuk Allah yang bersifat gaib, sedangkan sidik diperuntukkan makhluk yang bersifat konkrit, yakni manusia. Secara maknawi netepkeun berarti mengukuhkan, yaitu menentukan sesuatu agar tidak berubah-ubah.

Kesimpulan

Rd. Moezni Anggakoesoemah atau Pa Anggakoeseomah melalui Naskah Timbangan memberikan pesan sederhana, yakni berfikirlah. Manusia melalui akal pikiran menjadi pembeda dengan makluk lainnya yang diciptakan Allah. Fungsi akal adalah melakukan proses berfikir untuk mengambil simpulan untuk kemudian dilakukan tindakan (pengamalan). Berfikir tentang ciptaan Tuhan dan peristiwa yang terjadi disekitar kehidupan manusia menjadi langkah awal dalam memahami Ajaran Timbangan. adapun pola pikir yang disodorkan dalam teks Timbangan adalah konsep kausalitas, sebab-akibat. “sesuatu yang terjadi akan menyebabkan rentetan peristiwa lain”. (RMF)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Agus Heryana Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat yang  diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Leave a Response