Nilai Luhur Masyarakat Lampung dalam Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui
Lampung dikenal dengan julukan ”Sai Bumi Ruwa Jurai”, yang artinya satu bumi yang didiami oleh dua macam masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Sai Batin (Danardana, 2008: 19). Masyarakat-masyarakat adat Pepadun ini sekarang banyak mendiami wilayah-wilayah Kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan dan Mesuji.
Sedangkan masyarakat Sai Batin adalah masyarakat yang mendiami daerah pesisir pantai, seperti wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Lampung Barat, Way Lima di Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Tanggamus dan Teluk Betung di Bandar Lampung.
Tulisan ini akan mengkaji Nilai-Nilai Luhur Perilaku Masyarakat dalam Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui dengan perspektif ajaran dan hukum Islam. Sehingga tujuan dan manfaat dari kajian ini akan mengungkapkan berbagai nilai-nilai luhur perilaku masyarakat bersumber pada manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui, Lampung yang dapat dijadikan pedoman bagi semua masyarakat dalam kehidupan sosialkeagamaan.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif yakni analisis terhadap manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui dengan Perspektif Hukum Islam. Adapun langkah-langkah Penelitian, penelusuran manuskrip yang akan dijadikan bahan kajian sebagai sumber primer, menginventarisasi sejumlah literatur sebagai sumber sekunder untuk menganalisis manuskrip yang dikaji dan menganalisis Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui untuk melihat kaitannya dengan hukum Islam.
Temuan Penelitian
Ditemukannya manuskrip ”Oendang-Oendang Adat Krui” di Perpustakaan Leiden (Belanda) oleh saudara Arman (2018) menunjukkan Lampung salah satu kantong manuskrip Nusantara yang tidak bisa dipandang remeh secara kuantitas. Dengan penelitian ini semoga manuskrip lampung bisa dapat lebih dikenal lagi oleh publik. Manuskrip “Oendang-Ondang Adat Krui” tersimpan di Perpustakaan Leiden, dengan kode manuskrip “Mal. 6807 No. 58”.
Manuskrip ini ditemukan Arman AZ saat melakukan penelitian lanjutan di Perpustakaan Leiden tahun 2015. Manuskrip Undang-Undang Adat Krui tertulis di kertas Eropa berukuran folio. Kondisi kertas masih baik sehingga tulisan tangan masih bisa terbaca jelas. Manuskrip ini terdiri dari 22 halaman. Seluruh tulisan menggunakan aksara Jawi, di beberapa bagian tertulis aksara Melayu untuk menjelaskan pasal-pasal. Penomoran halaman juga menggunakan angka Arab.
Di halaman terakhir manuskrip, ditemukan penjelasan tentang penulis dan titimangsa penulisan. Manuskrip ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Manaf. Dan yang cukup mengejutkan, manuskrip ini ditulis tahun 1237 Hijriah atau tahun 1816 Masehi. Artinya, manuskrip Undang-Undang Adat Krui ini ditulis hampir 200 tahun silam.
Pasal pertama Oendang-Oendang Adat Krui menyebutkan beberapa larangan (salah) diantaranya, salah kepada bumi, salah kepada air, salah kepada orang, salah kepada harta.
Salah kepada Air: Air Sumber Kehidupan
Krisis air adalah istilah lain yang menggambarkan mengurangnya persediaan air untuk kebutuhan manusia. PBB sebagai lembaga Internasional terbesar mendeklarasikan air sebagai bagian dari kebutuhan azasi setiap individu, sedangkan orang Krui sudah merumuskannya 200 tahun yang silam dalam mensikapi fenomena yang mungkin secara substantif sama yakni krisis air.
Butir ke dua dari pasal pertama Oendang-Oendang Adat Krui membahas tentang hukuman atas prilaku pelanggaran (salah) individu dalam memanfaatkan air. Secara teoritik sebuah aturan tidak lahir dalam ruang hampa. Dugaan peneliti kala itu mungkin fungsi air untuk masyarakat Krui disamping untuk kebutuhan rumahan ada kebutuhan air untuk kepentingan irigasi (pertanian), karena pada pasal 29 seperti dikutip di atas ada informasi yang menggambarkan kehidupan masyarakat Krui kala itu.
Kontekstualisasi 2 (dua) Pasal dengan Adat dan Agama
Dua pasal yang dimaksud adalah salah kepada bumi (tanah) dan salah kepada air. Masyarakat Lampung mempunyai 5 (lima) falsafah hidup. Pi’il senggiri, Sakai sembayan, nemui nyimah, Nengah nyappur dan bejuluk beadek, 2 (dua) dari yang lima itu yaitu pi’il senggiri dan Sakai sembayan ada relevansinya dengan dua pasal di atas (salah kepada bumi dan air).
Pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi.
Dalam konteks pemakaian air untuk kepentingan irigasi pertanian. Krui merupakan daerah pesisir, ketersediaan air tawar mungkin terbatas maka sikap saling tolong menolong sesama petani dalam pembagian air (Sakai sembayan), tradisi yang harus ditumbuhkan.
Kesimpulan
Pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi.
Nemui nyimah adalah prinsip hidup yang mengedepankan kemurahan hati dan ramah tamah terhadap semua pihak yang berhubungan dengan mereka. Nengah nyappur adalah prinsip hidup yang mengedepankan keterbukaan dan bejuluk beadek adalah pemberian gelar kepada masyarakat Lampung yang didasarkan pada tata ketentuan pokok yang selalu diikuti (Titei Gemattei). Nilai-nilai Islam yang terkandung di dua pasal yang dikaji adalah konsisten dengan perjanjian, bekerjasama dalam kebaikan, dan larangan bersifat tamak. (RMF)
*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Saeful Bahri (Balai Litbang Agama Jakarta) yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.