Malam itu (14/10/2019), teman-teman Gusdurian Ciputat—dengan agak mendadak—mengadakan diskusi ringan di warkop sekitar kampus UIN dengan salah satu Penggerak Gusdurian Jombang, Gus Aan Anshori. Meski penampilannya sangat sederhana, namun gaya bicaranya yang santai dan berisi seolah-olah mudah “mengelabui” teman-teman pegiat Gusdurian yang masih minim pengalaman.
Tema yang diangkat adalah “Ngobrol Kebangsaan”. Gus Aan tidak sendirian, ia ditemani pendeta Eka Telaumbauna (Parish Pastor BNKP Tangerang) sebagai pembicara kedua dan sang moderator yang juga Gusdurian senior, Bang Michael S. Prihartanto.
Sebelum mengemukakan pandangan Gus Aan, penulis ingin me-refresh ingatan kita bahwa berbicara Pancasila, berarti kita dihadapkan dengan falsafah bangsa dan dasar negara Indonesia yang diracik para pendiri bangsa, dan sifatnya sudah final. Setiap orang mudah berbicara makna harfiah Pancasila, dan itu sah-sah saja, akan tetapi jarang yang mengerti makna filosofis, terlebih cara mengaplikasikannya.
Di sisi lain, tak jarang Pancasila juga dibenturkan dengan keyakinan Ilahiyah (agama) mayoritas bangsa Indonesia, khususnya Islam. Kenapa demikian? Karena menurut mereka yang anti-Pancasila, Pancasila merupakan “bikinan” manusia, bukan bikinan Tuhan. Sehingga ajaran Islam lebih utama ditegakkan dibandingkan dengan Pancasila. Sampai di sini, semoga pembaca menangkap apa yang ingin penulis sampaikan.
Dari perdebatan dua hal inilah (Pancasila dan Agama), Gus Aan mengajak kita berada dalam posisi sebagai sebuah bangsa (dalam arti sebagai masyarakat atau people) bukan ummat—sebagaimana kaum populis dengungkan demi syahwat politis.
Ketika kita terlalu menekankan istilah ummat, konotasi yang timbul adalah adanya differences atau perbedaan antara “kita” dan “kalian”. Kita sebagai umat Islam dan kalian sebagai non-muslim (untuk tidak menyebut kafir).
Sebaliknya, ketika kita menonjolkan sisi people atau bangsa, yang timbul adalah sebuah kesadaran yang muncul dari dalam hati bahwa kita ini orang Indonesia, kita ini satu, lahir di bumi pertiwi, tanah yang kita injak ini pernah bersimbah darah-darah para pejuang, dan mereka bukan hanya orang Islam, tetapi juga non-muslim.
Dari pernyataan di atas, mungkin ada pertanyaan, penulis anti terhadap istilah-istilah Arab, ta? Inilah yang sering didengungkan para Islamis-populis.
Memang tidak ada yang salah dengan istilah ummat, ia istilah Arab yang diserap menjadi bahasa Indonesia, umat. Yang kurang tepat adalah ketika menyeret-nyeret istilah-istilah islami dengan tujuan politis, dan tidak jarang ini membuat masyarakat awam yakin bahwa inilah yang diajarkan Islam, selain itu berarti tidak islami.
Kembali pada Gus Aan, sebuah pertanyaan ia ajukan, “Siapa di sini yang berani bicara bahwa Pancasila ini sejajar dengan Alquran? Pasti kalian tidak berani. Ingat kan, bagaimana mendoktrin orang yang akalnya sehat kemudian menjadi sangat radikal? Salah satunya ya dikasih pertanyaan gini.”
Ia melanjutkan, “Lebih tinggi mana UUD 45 atau hadis Nabi? Tidak mungkin kita menjawab lebih tinggi UUD dibanding hadist Nabi.
Contoh lain, “Mau taat Jokowi atau taat Rasulullah? Padahal yang dikutip hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Tapi karena yang ditanya adalah, orang awam, bukan santri ya akhirnya bingung.” Tawa para Gusdurian pun pecah.
Menurut Gus Aan, kita sebenarnya memang sudah tahu Pancasila, akan tetapi kita tidak memiliki strategi yang mak cleng atau jitu untuk menyampaikan ke anak SD, SMP dan SMA bagaimana cara berislam yang baik dengan menggunakan Pancasila. “Kita gak punya itu,” ucapnya.
“Lalu bagaimana caranya? Saya kasih tahu caranya menjelaskan Pancasila itu gini,” tuturnya. Ia melanjutkan, “Karena kita meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sebagai konsekuensinya kita harus meletakkan Islam pada kemanusiaan yang beradab. Jadi, Pancasila adalah “syahadat” kita, dalam arti bahwa oleh karena kita adalah muslim yang beriman atau monoteistik, maka perwujudan dari cara beriman kita adalah memperlakukan seseorang dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, menjaga persatuan Indonesia, meletakkan demokrasi sebagai cara untuk mencari solusi untuk keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.”
Namun, menurut Gus Aan, yang sering terjadi di lapangan ketika memaknai Ketuhanan yang Maha Esa adalah keyakinan bahwa Tuhan yang Maha Esa milik umat Islam, karena Tuhannya orang kristen itu tiga. Hal ini mirip dengan misalnya ada orang NU berziarah ke makam Gus Dur misalnya, kemudian dianggap orang MD (yang dulu, kemungkinan yang sekarang tidak demikian) sebagai perilaku syirik, bid’ah dan lain-lain. Karena perilaku orang NU di atas dianggap sebagai nyembah kuburan.
Karena sistem ketuhanan orang kristen itu agak unik, menggunakan model tiga, itu dianggap sebagai yang bukan monoteis. Itu cara pandang yang mainstream, yang selalu digunakan untuk mengatakan orang Islam lebih tinggi derajatnya dibanding orang Hindu, Politheis, Trinitas. Yang Maha Esa (dalam sila pertama Pancasila) adalah milik orang Islam, karena Tuhannya satu.
Tetapi menurut Gus Aan tidak demikian, menurutnya mereka lupa bahwa Kekristenan dan Katolik itu monoteistik. “Mungkin kalian juga tidak tahu kalau kekristenan itu monoteistik,” ungkapnya.
Itu yang pertama, yang kedua menurutnya adalah penyelewengan makna Pancasila dalam arti bahwa karena kita “Berketuhanan Yang Maha Esa”, maka mereka yang tidak bertuhan tidak layak untuk hidup. Inilah logika sederhana yang sering mengelabuhi orang banyak.
Hemat Gus dari Gusdurian Jombang ini, dua pendekatan dalam menjelaskan Pancasila di atas justru malah memperuncing dan mengkhianati Pancasila itu sendiri.
Menurut penulis pribadi, Nilai-nilai Gus Dur telah dan terus dipraktikkan oleh para pegiat Gusdurian di seluruh Nusantara bahkan dunia. Salah satunya adalah Gus Aan ini.