Agama yang dianut oleh penduduk Indonesia dijamin kehidupannya oleh Undang-undang. Dalam pasal 29 UUD 1945 dinyatakan bahwa (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Kalimat “kepercayaan” yang termaktub dalam UUD ini seakan mengafirmasi keberadaan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan terbaru ter- kait penghayat kepercayaan adalah adanya gugatan empat orang penganut kepercayaan, yaitu; Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Parmalim), Arnol Purba (penganut Ugamo Bangsa Batak), dan Carlim (penganut Sapto Darmo) yang memenangkan gugatan atas Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2006 dengan nomor perkara No.97/PUU-XIV/2016 dikeluarkan pada tanggal 18 Oktober 2017.
MK juga memutuskan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”. Reaksi atas keputusan MK bermunculan dengan berbagai corak dan ragam. Di samping yang mendukung pasti ada yang bersikeras agama exclude dari kepercayaan.
Perdebatan ini memang mengundang wacana diskursif yang lebih dalam lagi, terutama membahas bagaimana pelayanan pemerintah terhadap para penganut sistem kepercayaan lokal (agama lokal)yang dalam penelitian ini merujuk kepada komunitas Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur yang menganut Agama Djawa Sunda (ADS). Komunitas masyarakat adat yang ada di Kabupaten Kuningan Jawa Barat ini adalah salah satu kelompok masyarakat yang terdampak oleh adanya putusan MK di atas, oleh sebab itulah mengapa penelitian ini dilakukan guna melihat pandangan mereka terhadap putusan dan bagaimana mereka memposisikan diri dengan agama-agama besar yang dilayani oleh pemerintah.
Dalam temuan lapangan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama disebutkan bahwa sebetulnya harapan komunitas AKUR pada perjuangan sejak awal yakni untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa eksistensi warga negara yang menganut agama leluhur itu memang ada. Tokoh AKUR menjelaskan bahwa di latar belakang putusan itu sudah jelas, bagaimana pihak saksi-saksi di persidangan itu menunjukkan adanya kekosongan hukum, bagaimana negara seharusnya juga hadir.
Ketika putusan itu lahir menunjukkan bahwa seolah-olah agama dengan kepercayaan itu sama namun teknisnya seperti kembali pada penyeragaman kembali. Hal menunjukkan bahwa kebutuhan hak kependudukan lainnya yang tak kalah penting bagi setiap penduduk adalah Akta Nikah, Akta Kelahiran, dan Kartu Keluarga (KK). Walaupun di lapangan penganut ADS mempunyai KTP tanpa keterangan agama dan Akta Nikah, dalam praktiknya Akta Nikah itu diberikan dalam bentuk STPJM (Surat Tanda Pertanggung Jawaban Mutlak) oleh Disdukcapil kepada pasangan nikah penganut ADS sebagai pasangan yang tidak tercatat (selevel dengan nikah sirih).
Hal ini berimbas pada akta kelahiran anak dari pasangan nikah yang hanya tercantum sebagai anak dari si ibu
saja. Selain itu status kepala keluarga dalam KK adalah Istri pasangan nikah, sedangkan sang suami berstatus sebagai anggota keluarga.
Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dipaparkan di atas, maka penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Merujuk pada kepada amandemen UUD 1945 maka komunitas AKUR Cigugur adalah bagian dari entitas masyarakat Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama selaku warga negara. Keberadaan komunitas ini dengan agama dan dan sistem kepercayaannya merupakan fakta sosial yang harus kita akui. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pelayanan hak-hak sipilnya setara dengan agama lainnya yang telah dilayani oleh pemerintah.
2. Putusan MK terhadap gugatan UU Adminduk harus ditindak lanjuti oleh pemerintah selaku pelaksana pelayanan publik. Pencantuman sebagai Penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dalam kolom agama di KTP, menunjukkan itikad baik pemerintah dalam rangka rekognisi terhadap agama leluhur. Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri agar segera mengeksekusi kebijakan yang implementatif terkait pencantuman kolom agama tersebut sebagai
penguatan terhadap putusan MK tahun 2016.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: