Masih dari kitab yang sama “Husnul Muhadhoroh”, Imam Suyuthi bercerita bahwa dirinya tumbuh dalam status yatim, tepatnya diusia 6 tahun. Suyuthi kecil ditinggal wafat oleh Ayahnya pada Malam Senin, 5 Shafar tahun 855 H.
Ada keterangan menarik dari Al-Aidrusiy dalam kitabnya yang berjudul “An-Nuur As-Saafir”. Dalam kitab ini, sebelum meninggal, ayah Imam Suyuthi berwasiat kepada Syekh Kamaluddin Ibn Al-Hammaam Al-Hanafi untuk merawat dan menjaga anaknya yakni Abdurrahman As-Suyuthiy. Dari tangan dingin Syekh Al-Kamal Ibn Al-Hammam inilah daya intelektual Suyuthi kecil mulai menampakkan kecemerlangannya.
Sampai diceritakan oleh Imam Suyuthi sendiri, “Saya telah hafal Al-Qur’an sebelum usiaku menginjak 8 tahun, kemudian saya menghafalkan “Al-Umdah”, “Minhajul Fiqhi Wal Ushul”, serta “Alfiyah Ibnu Malik”.
Ditangan orang yang tepat, Imam Suyuthi mulai menemukan jati dirinya. Ia mulai nyandu dengan ilmu, lalu memutuskan untuk memulai pengembaraannya pada tahun 864 H, pada usianya yang waktu itu 15 tahun.
Kebesaran nama Suyuthi yang kita dengar sekarang, ternyata lahir dari seorang anak kecil yang ditinggal wafat oleh ayahnya sewaktu masih belia. Bagi seorang anak usia 6 tahun, tentu hal ini adalah pukulan terberat yang harus dipikulnya dimasa belianya.
Anak kecil yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dan didikan khusus dari sang ayah, namun Imam Suyuthi harus tumbuh dengan kemandirian diri. Ternyata Suyuthi muda tidak sendiri, banyak ulama besar yang masa belianya telah ditinggal oleh ayah tercintanya masing-masing.
Seperti yang kita, bahwa Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang berjuluk Hujjatul Islam, ia jufa telah ditinggal oleh ayahnya sewaktu masih kecil.
Selain itu, Panglima Mimbar di masanya, Imam Ibnu Al-Jauziy, yang ketika ia mengisi suatu Majelis ilmu bisa seratus ribu manusia yang hadir. Sekitar dua puluh ribu orang kafir telah berislam melalui tangan Ibnu Al-Jauziy, dan dua ratus ribu pemaksiat bertaubat di hadapannya. Kitab karangannya telah mencapai dua ratusan ini, Beliau tumbuh dalam keyatiman, 3 tahun sejak kelahirannya Ayahandanya meninggal.
Ada pula Imam Syafi’i yang madzhabnya masih bisa kita rasakan ajarannya di negeri kita sampai saat ini, pada usia 2 tahun sudah ditinggal wafat oleh sang ayah.
Bahkan, Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang malah sejak masih bayi telah terpisah oleh ayahnya, Imam Ibnu Katsir, Imam Bukhariy, Imam Ibnu Hajar As-Qolaniy, Imam Auza’iy, Penyair Agung Imam Al-Mutanabbi, dan masih banyak lagi.
Puncaknya adalah junjungan kita Nabi Muhammad SAW tidak bisa sama sekali melihat wajah ayahnya karena sebelum Muhammad kecil lahir dari ibunya, sang ayah telah wafat terlebih dahulu.
Di antara sekian ulama besar yang telah disebutkan di atas, semuanya bernasib tidak berbeda, yakni sama-sama tumbuh dalam keyatiman. Kendati demikian, nama mereka bisa menjadi besar sebab peran dan kiprahnya. Itu artinya, seorang anak yang yatim pun masih sangat mungkin untuk bisa tumbuh dalam berperan besar di hari kemudian.
Selagi dari orang tua memang mempunyai itikad baik untuk membesarkan anaknya di lingkungan pendidikan, maka berbagai cara-pun akan ditempuh. Mereka sadar, mereka tak lagi bisa mendampingi anaknya lebih jauh lagi, sehingga mereka merasa perlu untuk mengambil tindakan. Hal itu dilakukan agar anaknya selalu dalam naungan orang-orang yang tepat dan bisa bergumul dalam nilai-nilai keagamaan.
Akhirnya dititipkanlah anak-anak mereka kepada beberapa orang yang dipercaya untuk membimbingnya. Taruhlah Imam Suyuthi yang sebelum meninggal ayahnya, ia dititipkan ayahnya kepada Syekh Kamaluddin Ibn Al-Hammam. Atau Imam Al-Ghazali yang dititipkan oleh ayahnya kepada Syekh Isma’il Al-Khurosaniy.
Sayangnya, banyak orangtua sekarang yang tidak punya kesadaran akan hal ini. Mereka tahu kalau mereka tidak mempunyai kapasitas keilmuan yang memadai untuk mendidik anaknya, namun masih saja bersikeras untuk tidak menitipkannya ke lembaga pendidikan yang bisa menjadi wakil dirinya dalam mendidik anaknya.
Pesantren atau madrasah misalkan. Di lembaga ini, paling tidak mengajarkan tata cara ibadah yang benar, bersuci yang sah. Bagi perempuan misalnya, bisa mengetahui ilmu tentang haid yang sangat kompleks penjelasannya.
Lagi-lagi tidak sedikit orangtua lupa akan tanggung jawab ini. Untungnya, para orangtua Imam Suyuthiy dan Imam-imam yang lain menyadari betapa pentingnya urusan anak ini, sehingga tak heran kalau wasiat terpentingnya adalah urusan anak, bukan urusan harta!
Yang tak kalah penting adalah mencari seseorang yang tepat bagi sang anak untuk memberikan kesan pertamanya terhadap mindset untuk masa depannya. Lokasi pesantren atau madrasah, dan dengan siapa seorang anak mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Hal itu akan mempengaruhi gerak-gerik langkahnya di masa dewasa kelak.
Di tempat orang yang tepat dan di tengan orang yang tepat, seorang anak bisa tumbuh dengan semangat keilmuan yang luar biasa, dengan prinsip yang sekuat baja atau dengan kerohanian yang mampu mencengkeram hatinya.
Dari sinilah, langkah seorang anak dimulai, mau ke arah mana ia melangkahkan tapak kakinya. Semua berawal dari kepedulian dan kesadaran orangtua. Lalu harus ke siapa mereka menitipkan anaknya dalam urusan agama dan lingkungannya!
Bersambung…
Darbul Ahmar, 28 June 2020