Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang kental dengan pendidikan keislaman. Sejak kanak-kanak Gus Dur mendapatkan bimbingan dari orang tuanya. Sehingga dari keluarga pesantren dan tumbuh kembang dari pendidikan pesantren kelak akan memberikan warna bagi perkembangan intelektualitasnya hingga tumbuh dewasa.

Sejak menuntut ilmu di berbagai pesantren baik dari lingkungan keluarganya, maupun nyantri di  Krapyak Yogyakarta dan di Tegalrejo Magelang, Gus Dur menghabiskan banyak waktunya dengan membaca buku-buku Barat, seperti Das Kapital, Filsafat Plato, Thales, novel-novel Willem Bochner, serta Romantisme Revolusioner. Sehingga membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berfikir dan semakin lihai dalam diplomasi.

Selain itu, Gus Dur memiliki kelebihan dalam menggunakan bahasa asing yang bagus, sehingga membuatnya sangat mudah dalam memahami pemikiran ilmuan kelas dunia, seperti Karl Marx, Lenin, Gramsci, Mao Zedong, dan karya-karya pemikiran Islam progresif. Hal inilah yang berpengaruh pada pemikiran dan kiprahnya kelak.

Dari situlah Gus Dur tumbuh kembang menjadi manusia yang multitalenta. Dalam hal ini misalnya Gus Dur melakukan pembelaan terhadap jemaah Ahmadiyah, ketika itu banyak kelompok mengecam dan menghujat, serta berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan sebagaimana yang kerap dialami jemahaan Ahmadiyah.

Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Adapun yang dibela Gus Dur bukan keyakinan mereka, tetapi keberadaan mereka sebagai manusia. Bukan pula berarti Gus Dur setuju dengan keyakinan Ahmadiyah. Namun, ia sangat menghormati keyakinan seseorang. Penghormatan inilah sebagai landasan penting bagi terciptanya kerukunan dan perdamaian antarumat beragama.

Dalam kasus Ahmadiyah di atas, pendirian Gus Dur sangat jelas dan tuntas. “Selama saya masih hidup, saya akan pertahankan gerakan Ahmadiyah. Ngerti, nggak ngerti terserah” (Detik.com,9/6/2008). Pertanyaan itulah yang dilontarkannya ketika kelompok pengikut Mirza Ghulam ini diserang Front Pembela Islam dan muncul desakan agar Ahmadiyah dibubarkan.

Pada kesempatan lain, Gus Dur menawarkan kepada kelompok Ahmadiyah berlindung di Ciganjur, lingkungan kediamannya, jika pemerintah dianggap tak lagi bisa melindungi mereka. Di hadapan ratusan anggota Anshor, sayap kepemudaaan NU, Gus Dur juga sempat berpesan untuk melindungi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

Sedangkan dalam mengimplementasikan pendidikan perdamaian, Gus Dur tak sekedar berhenti pada tataran wacana. Justru, Gus Dur secara konsisten menerapkannya dalam kehidupan nyata, meski kadang-kadang langkah-langkah yang dilakukannya banyak mengandung kontroversi. Secara garis besar, gagasan pendidikan perdamaian Gus Dur diimplementasikan dalam dua ranah utama, yaitu: dimensi wacana dan praktik nyata di tengah masyarakat.

Dalam poin pertama, Gus Dur merupakan pegiat perdamaian yang tak pernah berhenti mewacanakan gagasan dan mengomunikasikannya secara terbuka, baik melalui tulisan-tulisan di media massa maupun melalui diskusi-diskusi baik formal maupun nonformal. Ini yang menunjukkan bahwa pemikiran pendidikan perdamaian bagi Gus Dur tak cukup hanya sekedar digagas sendirian, tetapi harus dikomunikasikan di ruang publik, agar mendapatkan respon balik dan pengayaan gagasan dari individu-individu lain yang memiliki perhatian yang sama.

Sedangkan dalam poin kedua, Gus Dur tak mau berhenti pada tataran wacana yang melangit. Dia ingin mengimplementasikannya dalam ranah kehidupan masyarakat yang bergerak secara dinamis. Oleh karena itu, bagi Gus Dur, konsep dan implementasi dilaksanakan secara beriringan, bahkan kerap dilakukan secara bersamaan.

Dengan demikian, melalui pendidikan perdamaian kita dapat memandang pluralitas, multikultur dalam berbagai aspek social, ekonomi, politik, dan agama sebagai kekayaan spiritual bangsa yang harus dijaga keberadaannya.

Leave a Response