Selama ini umat Islam yang belajar sering berdiskusi tentang pengertian hadits menurut bahasa dan istilah. Artikel ini akan menjelaskan mengenai pembahasan kajian sabda Nabi Muhammad SAW. tersebut.
Salah satu sumber ajaran agama islam adalah hadits. Secara urutan kekuatan sumber ajaran islam, hadits menempati posisi nomer dua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu sangat perlu sekali untuk mengetahui pengertian hadits secara bahasa dan istilah.
Bila kita merujuk pada khazanah keilmuan islam, maka kita akan mendapati banyak ulama dalam mendefinisikan hadits.
Dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalahul Hadits, Dr. Mahmud Thahhan memberikan definisi hadits secara bahasa bermakna baru (اَلْجَديْدُ).
Dalam buku yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadits, Syekh Manna’ Khalil Qatthan mendefinisikan hadits secara bahasa adalah baru. Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”. Selain itu, hadits juga bermakna “sesuatu yang sedikit dan banyak”.
Bentuk jamaknya adalah ahadits. Adapun firman Allah Ta’ala,
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى أَثَرِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمَنُوْا بِهذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini. (Al-Kahfi : 06)
Dalam buku Ulumul Hadits, Abdul Majid Khon menukil pendapat Abu Al-Baqa yang memaknai hadits adalah kata benda (isim) dari kata at-tahdits yang berarti al-ikhbar (pemberitaan). Kemudian menjadi hal ini menjadi istilah untuk nama suatu perkataan, perbuatan dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Guru besar Hadits Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyah, Universitas Kuwait itu mendefinisikan hadits sebagai berikut :
مَا اُضِيْفَ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat.
Dalam buku Ilmu Memahami Hadits Nabi : Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalahul Hadits, KH. M. Ma’shum Zein, MA menukil pendapat ulama ahli ushul fikih sebagaimana berikut :
اَقْوَألُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ اّلَّتِيْ تُثّبِّتُ الْاَحْكَامَ وَتُقَرِّرُهَا
Semua perkataan Nabi Muhammad SAW., perbuatan, taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat dan ketentuannya.
Dalam buku yang sama, Dr. Ma’shum Zein mendefinisikan hadits menurut ahli hadits dengan menukil pendapat Muhammad Ash-Shobagh sebagaimana berikut :
اَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ
Segala perkataan Nabi Muhammad SAW., perbuatan dan hal-ihwalnya.
Pembagian Hadits Secara Garis Besar
Setelah kita mengetahui pengertian hadits secara bahasa dan istilah, alangkah lebih baiknya kita juga mengetahui sejarah pembagian ilmu hadits. Secara garis besar, hadits terbagi dua macam, yakni secara kualitas dan kuantitas.
Penggolongan hadits secara kualitas itu fokus pembahasannya adalah kualitas isi dari hadits itu. Sedangkan hadits secara kuantitas fokus pembahasannya adalah jumlah perawi dalam meriwayatkan hadits itu.
Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga kategori, yakni hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif. Untuk lebih rinciannya adalah sebagai berikut :
Definisi hadits hadis shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat.
هُوَ مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُدُوْدٍ وَلَا عِلَّةٍ
“Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir tanpa adanya syadz (kecacatan) dan ‘illah”.
Sedangkan hadits hasan itu hampir sama seperti hadits shahih, hanya bedanya adalah kualitas hafalan perawi hadits tidak sekuat dengan perawi yang ada dalam hadits shahih. Menurut Dr. Mahmud Thahhan, definisi yang mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnu Hajar.
هُوَ مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ الّذِيْ خُفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُدُوْدٍ وَلَا عِلَّةٍ
“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitasnya hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak ada illat dan syadz (kecacatan)”.
Macam hadits ke tiga adalah hadits dhaif (lemah). Pengertiannya ialah hadits yang tidak memenuhi satu poin kriteria dari hadits hasan. Dalam Mandzumah Bayquniyah ada nadzam seperti ini :
وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ # فَهُوَ الضَّعِيْفُ وَهُوَ اَقْسَامٌ كَثُر
“Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam”.
Jadi kita lihat dari definisinya, dapat kita pahami bahwa hadits shahih adalah hadits yang paling tinggi kualitasnya. Derajat kedua adalah hadits hasan dan terakhir hadits yang paling lemah adalah hadits dhaif.
Hadits dhaif ini tidak bisa menjadi sumber hukum. Akan tetapi dalam beberapa kasus, para ulama hadits membolehkan berpegangan pada hadits dhaif selama tidak terlalu lemah dan untuk fadhail amal.
Sedangkan secara kuantitas, hadits terbagi menjadi dalam dua kategori, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk perinciannya adalah sebagaimana berikut :
Secara Bahasa, kata mutawatir berarti yang datang berturut-turut dan tidak ada jarak. Sedangkan secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang secara adat kebiasanya mereka tidak sepakat untuk berdusta.
Dari definisi tersebut, para ulama hadits berbeda pendapat terkait jumlah banyak rawi pada setiap tingkatan. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat itu berjumlah sepuluh rawi pada setiap tingkatannya (thabaqah).
Hadits mutawatir ini masih terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi dan maknawi. Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh banyak rawi secara redaksi dan maknanya. Contoh hadits ini adalah hadits tentang larangan mendustakan sesuatu atas nama Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan hadits mutawatir maknawi, yakni hadits mutawatir secara maknanya saja, meskipun teks redaksi haditsnya berbeda. Semisal hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa.
Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria persyaratan hadits mutawatir. Kemudian, hadits ini terbagi tiga macam, yakni masyhur, ‘aziz dan gharib.
a. Hadits Masyhur
Definisi hadits masyhur adalah hadits yang oleh tiga rawi atau lebih setiap tingkatan meriwayatkan hadits ini selama perawinya tidak mencapai batasan perawi dalam hadits mutawatir.
b. Hadits ‘Aziz
Pengertian hadits ‘aziz adalah hadits yang setiap tingkatannya tidak kurang dari dua perawi setiap tingkatan sanadnya.
c. Hadits Gharib
Penjelasa hadits gharib adalah hadits yang pada tingkatan sanad haditsnya ada satu perawi yang menyendiri.
Setelah kita mengetahui pembagian hadits, alangkah lebih baiknya kita juga mengetahui manfaat mempelajari ilmu hadits. Berikut ini beberapa manfaat mempelajari ilmu hadits :
Pemabahasan artikel pengertian hadits menurut bahasa dan istilah selanjutnya adalah tentang hadits-hadits populer. Berikut ini adalah hadits-hadits yang populer yang sering kita dengar.
اِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang itu (mendapatkan sesuatu) sesuai dengan apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
اَلْمُسْلِمُ اَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
اَلدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah ibadah”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah, Allah itu menyukai keindahan”. (HR. Muslim).
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada”. (HR. Tirmidzi).
Demikian artikel tentang pengertian hadits menurut bahasa dan istilah sekaligus pembagian hadits secara garis besar, manfaat dan hadits-hadits populer. Semoga bermanfaat. Sekian.