Bagi seorang penulis (baca: pengarang), aktivitas menulis bukan hanya soal berbagi dan memperluas pengetahuan, lebih dari itu, menulis adalah soal “mengada” dan memantabkan eksistensi diri menuju pribadi yang paripurna di hadapan semesta manusia.

Ini bukan omong kosong, paling tidak, setiap penulis merasa butuh eksistensinya dapat dikenal luas sesuai dengan apa yang diinginkannya. Banyak orang dengan susah payah memperkenalkan kepribadiannya di hadapan orang lain, tapi tak seorang pun yang kunjung mampu memahaminya.

Meski perkara ingin dikenal dan dipahami termasuk problematik, seperti Nietzsche yang tak ingin dipahami orang lain lantaran dia memanggap memahaminya adalah sebuah problem dan justru akan mendatangkan masalah bagi orang yang ingin memahaminya. Tapi itu Nietzsche, bukan kebanyakan orang atau pengarang. Umumnya, tak ada orang yang tak ingin dikenal.

Seorang perempuan akan berjuang mati-matian agar pasangannya mampu memahami perasaan hidupnya, meski perempuan tak akan mau menjelaskannya secara langsung, tapi dia butuh dipahami dan laki-laki selalu terlambat untuk memahaminya.

Bagi pengarang, buah karya yang ia torehkan adalah segala-galanya, di sanalah dia merasa hidup dan, setiap narasi tulisan yang dihasilkannya tak lain adalah tarikan nafas yang menghidupinya sepanjang masa.

Semua manusia selalu dan akan selalu rindu dengan keabadian. Seluruh perjuangan dan capaian-capaiannya dalam hidup diproyeksikan untuk suatu maksud tertentu, yakni keabadian. Betapapun ada orang yang hidup sangat sengsara dan tidak enak, ia tetap memimpikan sesuatu yang abadi dan berharap di kehidupan abadi itu ia akan hidup secara layak dan cukup, bahkan bahagia.

Seorang pengarang juga begitu, akan selalu rindu dengan keabadian. Melalui sebuah karya, ia ingin selalu “mengada” dan berharap akan terus “ada” ketika ia telah tiada dari riwayat hidup yang singkat ini.

Ada sebuah pertanyaan yang selalu menggelisahkan untuk dijawab, mengapa penulis begitu rindu akan keabadian? Apakah tujuannya sama persis sebagaimana orang-orang yang hidup di dalam agama, memimpikan surga, kenikmatan, dan kesempurnaan yang abadi?

Atau hanya sekadar ingin dikenang sebagai penulis dan tak lebih dari itu? Boleh jadi jawaban atas pertanyaan ini sangat beragam dan menuntut perdebatan yang panjang. Sebab, bagi seorang penulis, menulis adalah salah satu cara paling jitu untuk memastikan bahwa dia benar-benar hidup dan dikenali sebagai makhluk hidup yang nyata, bukan ilusi atau khayalan.

Tapi, apakah dengan menulis saja sudah cukup? Apakah kalimat “aku menulis maka aku ada” sudah cukup ampuh dalam menjembatani antara dimensi ada dan ketiadaan? Saya sendiri tidak yakin apakah kita ini benar-benar bisa mengada atau tidak. Yang pasti, kita hidup dalam sebuah hamparan yang luas dari dimensi kosmik ini, dan menginginkan sebuah peran dan berguna bagi kehidupan makhluk lain.

Kebermaknaan hidup, dengan kata lain, diukur dari segi kebermanfaatan itu. Ada nilai yang seolah-olah sudah ada dari sono-nya, bahwa manusia dan seorang pengarang, ingin hidupnya berguna dan tak ada lagi selain itu.

Anda boleh saja tidak sependapat, tapi hampir semua proses “mengada” dan bagaimana orang memperlakukan hidupnya sendiri, selalu tentang apa-apa yang ingin ia berikan kepada orang lain. Bahwa hidup, adalah tentang orang lain dalam rajutan keabadian.

Seorang pengrajin kayu, ingin karyanya dipergunakan untuk kepentingan manusia, seperti meja, kursi, pintu, cendela, dan lain sebagainya, yang akhirnya dari macam-macam produk berbahan kayu itu merajut sebuah pertalian makna yang mengantarkan manusia dalam memahami hidup, kemajuan, peradaban, kebenaran, dan seterusnya. Eksistensi pengrajin kayu tak akan pernah ada tanpa kayu itu sendiri.

Begitu pula dengan seorang pengarang, dia hidup dalam sebuah rezim “kata-kata” dan kemanapun ia pergi, kata-kata tidak akan pernah melepaskannya, karena dari situlah eksistensinya bisa ada dan dikenal sebagai entitas yang pernah ada.

Tapi, perlu diingat, proses memperkenalkan diri dan memahami sesuatu yang ingin dikenal adalah dua hal yang berbeda. Kadang-kadang, di tengah-tengah keduanya didapati jurang yang amat curam, sehingga keduanya bukan hanya tak dapat bertemu, tetapi malah makin memperlebar kesenjangan dan memperjauh pemahaman. Kesadaran diri seorang pengarang memang jauh lebih tajam ketimbang yang lainnya, ia bisa membolak-balikkan kata-kata tetapi tetap kebenaran yang dimunculkannya, yang menuntut agar orang lain bisa memahami dan mulai hidup dengan cara-cara yang diinginkan oleh pengarang itu.

Dengan kata lain, seorang pengarang ingin karya-karyanya bisa mengilhami bukan hanya untuk kehidupan dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain, generasi selanjutnya, dan selama-lamanya sampai tak terhingga. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih menyakitkan daripada “terlupakan” dan hidup yang terabaikan.

Karena itu, kehidupan seorang pengarang sekaligus sebuah tuntutan akan keabadian. Kebenaran, dengan begitu, tak lain adalah keabadian itu sendiri, bukan sesuatu yang ada di sini, di sana, dan menetap di suatu tempat tertentu. Kebenaran adalah masa dan rajutan waktu yang tidak terbatas.

 

Leave a Response