Kasus perceraian banyak mewarnai kehidupan rumah tangga di sebagian besar wilayah di Indonesia. Banyaknya kasus perceraian di Kabupaten Kulon Progo, yang dalam beberapa tahun terakhir menempati proporsi tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, menjadi potret buram ketahanan keluarga. Kasus perceraian yang terjadi, berawal dari tidak berfungsinya salah satu, dua, tiga, atau bahkan seluruh fungsi keluarga itu secara optimal.
Menurut data Badilag Mahkamah Agung, bahwa perceraian diakibatkan lima (5) faktor, yaitu tidak ada keharmonisan, tidak ada tanggung jawab, faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga dan cemburu. Lima faktor penyebab perceraian itu bisa kita cegah dengan fondasi relasi kesalingan.
Masalah ketahanan keluarga penting untuk diteliti karena materi ini menjadi salah satu bidang kajian Kementerian Agama yang salah satu fungsinya yaitu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan.
Salah satu bentuk pengembangan di bidang agama adalah peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran agama dapat tercermin dari pengamalan prinsip-prinsip berkeluarga yang sesuai dengan tuntunan agama sehingga tercapai keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Lagi pula, salah satu lembaga di bawah payung Kementerian Agama, yaitu KUA melaksanakan fungsi pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang di atas, Diana Zuhroh dan Lila Pangestu Hadiningrum selaku peneliti program penelitian yang diselenggarakan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama melakukan pembahasan dalam sebuah penelitian yang berjudul “Reduksi Perceraian Melalui Klinik Ketahanan Keluarga Dan Relasi Kesalingan Perspektif Mubādalah (Pendekatan Tabāduli di Kabupaten Kulon Progo, DIY)”.
Obyek kajian hanya dibatasi pada 3 desa di 3 Kecamatan yang berada di Kabupaten Kulon Progo, yaitu Desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo dan Desa Sogan, dan Desa Tirtorahayu Kecamatan Galur.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) untuk mencari fakta-fakta di lapangan. Penelitian ini juga bersifat deskriptif kualitatif empirik, yaitu suatu metode penelitian yang mengkaji dunia empirik dengan menggunakan data sebagai sumber teori.
Dalam penelitian tersebut, peneliti melakukan penelitian lapangan di Klinik Ketahanan Keluarga yang terdapat pada tiga diteliti. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber di antaranya Konselor Klinik Ketahanan Keluarga, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pengendalian Penduduk dan KB, dan Pengunjung Klinik Keluarga.
Dalam mengumpulkan data untuk penelitian tersebut, peneliti menggunakan metode wawancara dengan penentuan responden menggunakan teknik purposive sampling. Di samping itu, digunakan pula metode dokumentasi sebagai teknik untuk mencari data yang berbentuk surat, dokumen-dokumen, buku, brosur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di lapangan diperoleh fakta bahwa dalam upaya untuk mereduksi tingkat perceraian, Klinik Ketahanan Keluarga melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang program Klinik Ketahanan Keluarga. kerja sama dilakukan antara Klinik Ketahanan Keluarga dengan berbagai unsur baik Dinas PMD Dalduk dan KB, KUA, LSM maupun tokoh agama, tokoh masyarakat, perangkat desa dan sebagainya.
Pendekatan personal juga dilakukan oleh Konselor Klinik Ketahanan Keluarga terhadap kliennya melalui layanan konsultasi, mediasi atau bahkan negosiasi. Sumber di lapangan menyatakan bahwa problem relasi kesalingan adalah karena faktor ekonomi, tidak adanya saling menghormati, saling menghargai, dan adanya ketidakjujuran antar pasangan.
Menurut Peneliti, upaya mereduksi tingkat perceraian di Kabupaten Kulon Progo melalui Klinik Ketahanan Keluarga dalam perspektif mubadalah dapat dipahami sebagai relasi antara dua pihak, yaitu pihak konselor dan klien yang mengandung semangat kerja sama, kemitraan, kesalingan, dan timbal balik.
Sebagaimana pernyataan Faqihuddin Abdul Kodir bahwa mubadalah mengandung relasi antara manusia secara umum, negara dan rakyat, mayoritas dan minoritas, antara individu dengan individu lain, atau antara individu dan masyarakat. Mubadalah sebagai sebuah perspektif untuk melihat upaya yang dilakukan oleh Klinik Ketahanan Keluarga dalam mereduksi tingkat perceraian lebih tepat digunakan dalam pengertian relasi antara individu dengan individu lain, atau antara individu dengan masyarakat.
Dalam relasi antar individu, upaya reduksi angka perceraian bisa dilakukan antara Konselor Klinik Ketahanan Keluarga dengan klien (suami/istri) yang melakukan konsultasi atau antara suami dan istri melalui upaya konsultasi, mediasi dan negosiasi.
Dalam upaya yang lebih masif, lembaga seperti Dinas PMD Dalduk dan KB sebagai penggagas munculnya Klinik Ketahanan Keluarga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga yang berkepentingan seperti Dinas Sosial, KUA, Pengadilan Agama untuk mewujudkan keluarga yang memiliki ketahanan dalam menghadapi segala situasi dan kondisi sehingga permasalahan keluarga tidak sampai berdampak pada perceraian.
Peneliti mengidentifikasi permasalahan yang dijumpai dalam masyarakat Desa Sogan, Desa Giripurwo, dan Desa Tirtorahayu bahwa problem relasi kesalingan antara suami istri berkaitan dengan masalah nafkah, suami istri tidak saling menghormati, tidak saling menghargai, ketidakcocokan dalam pemikiran dan pemahaman agama.
Perbedaan pemahaman agama dalam keluarga seperti yang terjadi pada salah satu klien Klinik Ketahanan Keluarga di Desa Giripurwo yang memicu perselisihan dalam rumah tangga sebenarnya bisa diatasi. Asalkan antara suami istri terjadi komunikasi yang baik, saling menghargai, saling menghormati pemahaman masing-masing.
Jalan musyawarah juga bisa ditempuh oleh suami istri untuk bisa berdamai dengan situasi yang berbeda. Dialog dengan masyarakat juga diperlukan oleh suami istri dalam kaitannya dengan relasi sosial di masyarakatnya. Jika hal ini bisa dilaksanakan, maka fungsi sosial dalam keluarga bisa ditegakkan.
Pilar terakhir yaitu saling merasa nyaman dan memberi kenyamanan kepada pasangan. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut prinsip taradhin min huma (عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا). Maksud prinsip ini bahwa ada kerelaan atau penerimaan dari kedua belah pihak suami istri dalam berbagai hal.
Konselor Klinik Ketahanan Keluarga harus mampu meyakinkan kepada kliennya tentang empat pilar perkawinan yang dapat menegakkan 8 fungsi keluarga, yaitu fungsi agama, fungsi ekonomi dan lingkungan, fungsi sosial budaya, fungsi pendidikan, fungsi cinta kasih, fungsi reproduksi, dan fungsi perlindungan. (mzn)
Baca hasil penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag
Gambar ilustrasi: Kemenag Kepri