Pada minggu-minggu akhir bulan Ramadhan ini, secara seksama kita menyaksikan fenomena besar yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat muslim. Fenomena itu tentang pindahnya bentuk kegiatan umat dari masjid ke pasar, masjid ke terminal, masjid ke bandara, membaca Al-Qur’an ke online shop dan lainnya.
Memang tidak dapat dipungkiri inilah bentuk wajah dari sebagian besar muslim Indonesia. Bahwa lebaran selalu dimaknai dengan mudik, pulang kampung, pakaian baru dan juga makanan. Pemahaman semacam ini nampaknya sudah mengakar kuat di dalam benak dan pikiran masyarakat muslim Indonesia, sehingga tidak bisa dipisahkan apalagi ditinggalkan.
Apa bedanya Lebaran dan Idul Fitri? Perlu dipahami sejatinya “lebaran” sangat berbeda dengan “Idul Fitri”. Lebaran merupakan sebuah bagian dari frame tradisi yang hidup di masyarakat. Dalam konteks ini setiap orang dapat merayakan dan melaksanakannya, baik tua maupun muda tanpa melihat kepada status sosialnya. Hanya saja, tidak setiap orang dapat merayakan yang namanya Idul Fitri.
Misalnya seorang muslim yang menunaikan puasa Ramadhan maupun yang tidak menunaikannya. Tentu mereka yang beribadah dengan sungguh-sungguh maupun yang tidak beribadah semua dapat dan boleh melaksanakan lebaran. Sehingga tidak ada pihak manapun yang melarangnya, tapi tidak berarti merayakan Idul Fitri.
Kenapa dikatakan tidak merayakan Idul Fitri? Hal ini karena pada hakikatnya selalu cost yang harus dikeluarkan dari seluruh bentuk perbuatan yang telah kita lakukan. Mau seorang muslim yang berbuat baik ataupun tidak berbuat baik, mau menjadi pahlawan ataupun penjahat kelas kakap pastinya selalu terdapat ganjaran atas apa saja yang telah dilakukannya.
Dalam frame agama, Idul Fitri “kembali kepada kesucian” tentu memiliki makna yang lebih dalam ketimbang lebaran, karenanya untuk mencapai kepadanya diperlukan tata cara sebagaimana disebutkan pada Surat Al-Baqarah ayat 185:
…وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “….Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Berangkat dari ayat di atas, ada empat (4) makna yang bisa dipetik dari Idul Fitri.
Pertama, menyempurnakan bilangan puasa dan semangat Ramadhan. Untuk kembali kepada kesucian, hendaklah seorang muslim melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dalam ini menyempurnakan bilangan ibadah puasanya.
Kalimat bilangan dalam hal ini sering terjadi ikhtilaf. Ada yang berpendapat 29 hari dan ada pula yang berpendapat 30 hari. Namun, sebaiknya mengikuti ketentuan yang telah disepakati oleh pemerintah melalui Kementerian Agama dan mayoritas ulama.
Penting untuk dicatat, nampaknya kata menyempurnakan di sini tidak hanya dalam bilangan hari melaksanakan ibadah puasa Ramadhan saja, tetapi juga termasuk menyempurnakan semangat Ramadhan di bulan-bulan lainnya. Jika hal ini diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari, insya allah kita akan memperoleh rahmat dan ridha’ Allah SWT.
Kedua, mengumandangkan nama Allah SWT (bertakbir). Ketahuilah berperang melawan musuh yang tidak kasat mata (hawa nafsu) itu lebih berat ketimbang berperang dengan mengangkat senjata. Berkat kemuliaan dan kebesaran Allah SWT kepada para hambanya sehingga kita mampu melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
Berpuasa tidak berarti mengkebiri, namun lebih kepada mengontrol hawa nafsu guna mengarahkan ke dalam koridornya sesuai dengan norma-norma yang digariskan agama. Karenanya, setelah menyempurnakan ibadah puasa Ramadhan kita diperintahkan untuk mengumandangkan takbir. Demikian ini sebagai bentuk rasa syukur atas segala anugerah yang telah dilimpahkan-Nya.
Ketiga, bertakbir atas hidayah yang diberikan oleh Allah SWT. Sudah menjadi sebuah kebenaran yang mutlak bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Allah. Tidak terdapat sedikit pun ruang bagi manusia maupun makhluk lainnya atas hak tersebut, kecuali memberikan kabar, peringatan dan menyeru kepada kebaikan.
Sebagai manusia beriman tentunya menjadi suatu keharusan bagi kita untuk bersyukur, karena memperoleh hidayah Allah. Hal itu sebab tidak semua manusia yang dilahirkan ke persada bumi ini mereka memperoleh hidayah, walaupun dia masih keluarga dengan manusia-manusia pilihan Allah
Contohnya seperti Kan’an putera nabi Nuh AS, Azar paman nabi Ibrahim AS dan Abu Jahal paman Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan niat yang ikhlas secara otomatis mengindikasikan diri kita memperoleh hidayah Allah SWT, dan keharusan untuk mensyukurinya.
Keempat, bersyukur kepada Allah. Dengan bersyukur tentunya makna Idul Fitri dapat meresap di dalam diri kita seperti halnya bayi yang baru dilahirkan, karena dosa-dosa telah diampuni Allah SWT. Namun, kita hidup di dunia ini dengan dua aspek vertikal “hablum min allah” (hubungan dengan Allah) dan horizontal “hablum min an-nas” (hubungan dengan sesama manusia).
Pada aspek vertikal, kita sebagai manusia secara fitrah meyakini, mempercayai dan menyerahkan diri dengan totalitas kepada Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia tidak akan bisa melawan fithrah yang terdapat di dalam dirinya untuk bersikap kufur kepada-Nya. Melawan fithrah berarti sama saja artinya melawan Allah sebagai Dzat Mahakuasa.
Pada aspek horizontal, tidak dapat dipungkiri manusia secara fithrahnya merupakan makhluk social. Antara satu dengan yang lain saling membutuhkan dan melengkapi. Manusia yang bersikap sombong dan angkuh mengindikasikan bahwa dirinya telah melawan fitrahnya sebagai manusia “al-Insan Madaniyyun bi al-Thab’i” (manusia secara alami merupakan makhluk sosial dan berperadaban).
Demikian perbedaan makna Lebaran dan Idul Fitri. Semoga kita semua dapat kembali kepada fitrah sebagai manusia yang senantiasa berbuat kebaikan guna memakmurkan kehidupan di alam bumi ini. Wallahu A’lam.