Dalam terjemahan Al-Qur’an, kata shaum dan shiyam biasanya dimaknai dengan makna yang sama yakni berpuasa. Tetapi, kalau kita merujuk pada teori kebahasaan dalam tafsir maka kita akan mengenal istilah anti-sinonimitas yang meyakini setiap kata di dalam Al-Qur’an memiliki perbedaan.
Hal ini didukung oleh pendapat Imam Abu Hilal Al-Askari dalam kitabnya Furuq al-Lughawiyah. Lalu apa perbedaan antara kedua kata tersebut?
Untuk menemukan perbedaan makna dari kata shaum dan shiyam kita dapat menggunakan metode semantik. Seperti yang ditawarkan oleh Tosihiko Izutsu dalam buku Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an.
Tosihiko Izutsu mengklasifikasikan kata-kata tersebut menggunakan dua makna, yakni makna relasional dan makna dasar. Makna dasar adalah makna sebuah kata yang bisa kita dapat melalui mu’jam atau kamus-kamus Bahasa Arab. Sedangkan makna relasional bisa kita dapat melalui dua analisis yakni analisis sintagmatik dan pragmatik.
Analisis sintagmatik adalah sebuah kajian dengan meneliti kata-kata yang membarengi kata yang ingin kita analisis, baik kata-kata yang letaknya di depan ataupun di belakang.
Selanjutnya adalah analisis pragmatik, yakni analisis yang mengkomparasikan kata atau konsep tertentu dengan kata atau konsep lain yang mirip atau bertentangan.
Kata Shaum dan Shiyam
Menurut Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi’ dalam magnum opusnya yakni Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim menyebutkan bahwa kata shaum di dalam Al-Qur’an hanya disebutkan satu kali. Berbeda dengan kata Shiyam yang disebutkan sebanyak delapan kali.
Sebagaimana dalam kamus Al-Munawwir, kata shaum dalam Al-Qur’an, memiliki makna dasar yakni menahan diri, mengekang, diam dan berpuasa. Sedangkan merujuk pada makna relasionalnya, kata shaum memiliki arti menahan diri dari berbicara.
Hal ini sebagaimana yang kita temui di dalam Surat Maryam ayat 26. Pada konteks ayat tersebut Maryam, ibunda Nabi Isa, bernazar untuk tidak berbicara kepada seorang pun.
Hal ini pula disampaikan oleh para mufassir, seperti Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Mar’ah Labid, kemudian Al-Baqa’i dalam kitab tafsirnya Nazmu al-Durar, ketika memaknai kata shaum pada ayat tersebut dengan arti al-shamt atau diam dari berbicara.
Penjelasan demikian ini diperkuat pula dengan kata setelahnya yakni fa lan ukallima al-yauma insiyya yang artinya, “Aku tidak akan berbicara kepada seorang pun”.
Sedangkan kata shiyam memiliki makna dasar menahan, mengekang, berpuasa dari makan dan minum, dan sebagainya. Sedangkan makna relasionalnya dapat kita klasifikasikan dengan makna menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa secara fikih.
Hal ini sebagaimana pendapat Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya yang menjelaskan kata shiyam dalam Al-Baqarah ayat 183. Ia menafsirkan dengan “menahan diri dari yang sesuatu yang membatalkan puasa di siang hari”.
Selanjutnya adalah makna relasional lain dari lafal shiyam adalah menahan diri atau nafsu dari makan, minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Termasuk juga menahan diri dari sesuatu yang menimbulkan syahwat, seperti menggauli Istri ketika berniat i’tikaf di malam hari bulan Ramadhan.
Penjelasan ini sebagaimana menurut Prof. Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan lafal shiyam yang terdapat pada Al-Baqarah ayat 187.
Derivasi makna relasional dari kata shiyam juga beragam, terkadang shiyam dihubungkan dengan kewajiban membayar diyat, fidyah, maupun kafarat. Hal ini mengindikasikan bahwa shiyam lebih berat ketimbang shaum dalam pengaplikasiannya.
Makna shiyam sebagai berpuasa di bulan Ramadhan hanya digunakan dalam dua ayat sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, yakni Al-Baqarah ayat 183 dan ayat 187.
Berdasar penjelasan distingsi dari dua kata di atas, maka kita bisa tarik kesimpulan bahwa makna kata shaum lebih khusus ketimbang lafal shiyam.
Jika shaum hanya dikhususkan untuk menahan diri dari berbicara, maka kata shiyam bermakna menahan diri dari segala hal, baik makan dan minum, dan juga menahan diri dari sesuatu yang menimbulkan syahwat, termasuk menggauli istri di siang hari bulan Ramadhan.
Kalaupun kedua kata tersebut berbeda secara relasional atau penggunannya, setidaknya kita bisa menarik benang merahnya. Caranya yakni dengan melihat kembali makna dasar dari kedua kata tersebut yakni sama-sama menahan.
Artinya kedua kata tersebut sejatinya bisa dikompromikan tanpa membedakan satu sama lainnya. Hal ini karena di beberapa redaksi hadis pun Rasulullah terkadang menggunakan kata shiyam dan terkadang pula menggunakan kata shaum.