Judul               : WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia):

Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang

Penulis             : Trias Kuncahyono dan Paulus Sulasdi

Penerbit           : Kompas

Cetak               : Pertama, 2020

Tebal               : xvi+208 halaman

ISBN               : 978-623-241-193-7

 

Siti Sundari, kekasih dan kelak menjadi istri M.Yamin, di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 mewakili Keputrian Indonesia Muda sekaligus menandai komitmen penggunaan bahasa Indonesia menginduk pada bahasa Melayu.

Di Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928, propaganda penggunaan bahasa Indonesia yang masih amat belia berlanjut (Tempo, 16-24 Agustus 2014). Sebagai perempuan modern di masa-masa bergairah dengan pergerakan politik nasional, bahasa Belanda begitu kuat menandai intelektualitas.

Bahasa ibu atau Jawa inggil menunjukkan bakti kepada keluarga dan identitas. Tapi di momen historis itu, bahasa Indonesia harus diutamakan untuk mengangkat harga diri bangsa.

Perempuan menggerakkan sejarah dalam kemajemukan keluarga, latar pendidikan, bahasa, dan agama. Buku WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia): Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut ke Belakang (2020) adalah dokumentasi sosok dan pikiran, terutama menokohkan pendiri Poesara Wanita Katholiek (1924) yang kelak berganti nama dengan Wanita Katolik Republik Indonesia (1950). Pergantian nama menandai ciri kedaerahan yang mulai ditinggalkan seturut panggilan memajukan (perempuan) dalam konteks kemerdekaan.

Penulis membabarkan, “Pada hari itu, 26 Juni 1924, di hadapan 120 perempuan—ibu-ibu dan gadis para mantan siswi Sekolah Mendut—di salah satu ruangan biara para Suster Ordo St.Fransiskus, Ray. Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat Darmasepoetra mengumumkan didirikannya organisasi wanita” (hlm. 95).

Soelastri, pendiri Poesara Wanita Katholiek, anak kesembilan dari KPH. Sasraningrat dan BRAy. Sasraningrat. Pangeran Sasraningrat adalah putra Sri Paku Alam III. Dari pihak ibu, Soelastri masih cicit Pangeran Diponegoro. Sedang kakak perempuan Soelastri adalah Sutartinah atau Nyi Hadjar Dewantara yang merintis perguruan Taman Siswa sekaligus mendirikan Wanita Taman Siswa.

Kenyataan persamaan darah dalam perbedaan aliran iman justru mengukuhkan kesadaran mendasar berupa kontribusi kebangsaan. Meski penulis tidak membahas secara detail pola asuh atau secara khusus jalinan persaudaraan antara Soelastri dan Sutartinah, Sasraningrat pastilah seorang bangsawan modernis sekaligus egaliter.

Atas rekomendasi Romo van Lith, Soelastri dikirim bersekolah untuk anak-anak perempuan Eropa, Europeese Meisjesschool, di bawah naungan Ordo Suster Fransiskanes Kidul Lojo Mataram, Yogyakarta. Selain itu, adik Soelastri yang bernama Catharina Soekirin Sasraningrat diizinkan ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan sebagai suster pada 1929.

Pada awal abad ke-20, geliat kebangsaan memang tampak dari kemunculan pelbagai organisasi perempuan dengan satu tujuan fundamental memuliakan kedudukan perempuan melalui pendidikan dan pelatihan.

Saudari Kartini—Roekmini, Kartinah, dan Soemantrie—mendirikan Poetri Mardika (1912) di Jakarta. Di perlbagai wilayah Nusantara tersebar pelbagai organisasi perempuan, di antaranya KAS (Kerajinan Amai Setia, 1914) di Padang, Wanita Aisyiyah (1917) di Yogyakarta, Wanito Rukun Santoso (1919), Putri Budi Sejati (1919) di Surabaya, PIKAT (1917) di Manado.

Yang tercatat dari perhelatan Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928 di pendopo Dalem Jayadipuran, Yogyakarta, jelas keragaman perempuan dari pelbagai organisasi demi merepresentasikan partisipasi politik di Indonesia.

Diberitakan oleh harian Istri ekitar 600 perempuan hadir mewakili 30 organisasi perempuan, seperti Aisyiyah, Nahdatoel Fataat, Jong Islamieten Bond, Wanita Katholik, Wanita Taman Siswa, Boedi Rini, Jong Java, Karti Wara, Poetri Boedi Soedjati.

Dalam kemajemukan sekaligus momentum koletif inilah, mereka membahas pendidikan bagi kaum perempuan, nasib ibu tunggal, reformasi UU perkawinan, masalah poligami dan kawin paksa.

Secara personal, Soelastri pernah mendapat tawaran dari Katholieke Vrouwen Bond (Organisasi Perempuan Katolik) yang berbasis di Belanda untuk mendirikan perkumpulan wanita Katolik Jawa, Javaanse Katholieke Vrouwen Bond.

Namun, Soelastri menolak karena tawaran mensyaratkan para anggotanya harus bisa berbahasa Belanda. Bagi Soelastri, syarat terkesan diskriminatif dan menampik kenyataan sebagian besar perempuan di Hindia Belanda saat itu jelas tidak menikmati kebangsawanan intelektual seperti dirinya.

Penolakan semacam meneguhkan kesadaran bertumbuh sejak belia, “Sedari kanak-kanak hingga remaja, Soelastri begitu tertarik mempelajari budaya bangsa lain, termasuk di antaranya budaya Barat. Keinginan telah mendorongnya untuk belajar dan mempelajari banyak hal. Salah satu pertanyaan, “mengapa Tanah Air dikuasai oleh bangsa Barat?” sangat kuat mengusiknya” (hlm. 14).

Program kerja bersifat keperempuanan seturut dengan ajaran sosial disemai oleh gereja. Poesara Wanita Katholiek melakukan kerja-kerja, di antaranya kursus pemberantasan buta aksara, kursus menjahit dan merajut, perawatan bayi dan orang sakit terutama di kampung-kampung.

Namun, yang agenda pertama berlatar masa kolonial yang diskriminatif adalah mendesak pemilik pabrik cerutu Negresco dan pabrik gula agar bersikap adil soal upah. Apalagi, sebagian besar buruh di pabrik cerutu memang perempuan.

Ajaran sosial Poesara Wanita Katholiek atau WKRI seperti juga pelbagai organisasi bertumbuh pada zamannya memang bersifat keperempuanan-keibuan. Keterlibatan perempuan dalam politik kebangsaan tetap terikat pada nuansa rumah.

Ini menyepakati apa yang dipikirkan oleh pemikir feminis kontemporer, Betty Friedan. Bahwa pencapaian identitas diri, kesetaran, dan kedudukan politik bukan berarti menghentikan kebutuhan berumah tangga dan hidup dikelilingi oleh anak-anak (Rosemarie Putnam Tong, 2010). Perempuan dan kerumahtanggaan perlu diselesaikan secara efisien, bukan disingkirkan, demi merengkuh kehidupan sosial.

Membaca perjalanan WKRI berarti membaca perjalanan (perempuan) Indonesia yang majemuk. Indonesia tidak berdiri di bawah kelompok tunggal. Pilihan dan perbedaan pikiran, latar pendidikan, dan iman justru menegasakan kesamaan mendasar—bakti kepada rakyat dan bangsa.

Leave a Response