Di era modern, seiring perkembangan zaman, tidak jarang ditemui seorang perempuan yang menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. Mereka ada yang berprofesi sebagai pekerja kantor, dosen, guru, politikus, bahkan ada yang bekerja  sebagai pekerja kasar seperti buruh pabrik, kuli bangunan, dan lain sebagainya.

Seiring dengan pesatnya gerakan feminisme yang mengusung perjuangan kesetaraan gender, profesi-profesi tersebut menjadi sesuatu yang lumrah. Tidak perlu terlalu dipermasalahkan.

Lantas bagaimana pandangan Islam menyikapi fenomena seperti di atas? Bolehkah seorang perempuan bekerja di luar rumah? Mengingat, ada yang mengatakan bahwa perempuan adalah aurat. Sedangkan aurat, secara bahasa diartikan sebagai sesuatu yang harus ditutupi.

Orang yang mengatakan perempuan adalah aurat pasti melarangnya bekerja dan beraktivitas di luar rumah. Karena sebagai aurat, ia merupakan sesuatu yang mau tidak mau harus ditutupi. Tetapi benarkah Islam melarang seorang perempuan bekerja dan beraktivitas di luar rumah?

Sebenarnya jika kita mau mempelajari dan menelaah sejarah Nabi Saw, kita akan menemukan fakta menarik. Bahwa di zaman Nabi Saw terdapat beberapa perempuan yang bekerja dan beraktivitas di luar rumah.

Di antara perempuan-perempuan itu adalah Ummu Mubasyir Al Anshariyah. Sebuah hadits riwayat Imam Muslim mengisahkan bahwa pada suatu hari Rasulullah pernah menemui Ummu Mubasyir Al Anshariyah. Di kebun kurma miliknya.

Lantas Nabi Saw bertanya kepadanya, “Siapakah yang menanam pohon kurma ini? Apakah ia seorang muslim atau kafir?” Dia menjawab, “Seorang Muslim.”

Nabi bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau tanaman lalu dimakan manusia, binatang melata, atau sesuatu lain, kecuali itu bernilai sedekah untuknya.”

Selain berisi anjuran untuk menjaga lingkungan hidup (go green), hadits ini sekaligus menunjukkan bahwa Ummu Mubasyir Al Anshariyah melakukan aktivitas di luar rumah. Yakni di kebun kurma yang ia miliki. Sebab bisa jadi saat itu ia sedang merawat kebun kurma yang ia miliki.

Dalam Shahih Bukhari dikisahkan bahwa budak wanita Ka’ab bin Malik sedang mengembalakan kambing di daerah Sal’, lalu salah satu kambingnya sakit hingga ia pun menyembelihnya dengan batu.

Ketika Nabi Saw ditanya tentang hukum (daging sembelihannya), beliau menjawab, “Makanlah (daging tersebut)!” Hadits ini menunjukkan bahwa seorang perempuan di zaman Nabi Saw melakukan pekerjaan yang lazimnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Yaitu menggembala kambing.

Selanjutnya, masih dalam Shahih Bukhari, Sayyidah ‘Aisah ra mengisahkan bahwa pada hari peperangan Khandaq, Sa’ad terluka parah di bagian lengannya. Nabi Saw kemudian mendirikan tenda untuk menjenguk Sa’ad dari dekat, sementara di masjid banyak juga tenda milik Bani Ghifar.

Banyak darah mengalir ke arah mereka (orang-orang Bani Ghifar). Maka mereka pun berkata, “Wahai penghuni tenda, cairan apa yang mengenai kami ini? Ia muncul dari arah kalian.” Ternyata cairan itu adalah darah Sa’ad yang keluar sehingga ia pun meninggal.

Ibnu Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Al Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathul Bari, menuturkan bahwa tenda itu milik Rafidah Al Islamiyah. Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi Saw, kaum perempuan juga turut berperan dalam peperangan, yakni bertugas merawat para tentara yang terluka di dalam tenda.

Dari beberapa fakta sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa Islam tidak pernah melarang seorang perempuan untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah. Meski demikian, perempuan yang hendak memulai karir di luar rumah hendaknya ia memenuhi ketentuan-ketentuan dan etika yang telah ditetapkan dan diterapkan oleh Islam.

Hal ini bukan pula berarti Islam membatasi ruang gerak kaum perempuan, melainkan untuk menjaga harkat dan martabat mereka. Melidungi mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Islam mengatur semua hal, bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Lebih-lebih masalah yang berkaitan dengan harkat dan martabat seorang perempuan. Sebagaimana kita tahu, jauh di masa Jahiliyah dulu, perempuan dipandang sebagai makhluk yang rendah.

Mereka diperlakukan dengan semena-mena, dan dipandang sebagai manusia yang tidak memiliki nilai. Ia hanya dianggap sebagai makhluk yang menyusahkan dan membawa sial. Hingga kemudian Islam datang memusnahkan segala kemungkaran, ketidakadilan, kezaliman, kesewenang-wenangan, dan kegelapan yang menimpa kaum perempuan.

Sejak saat itu pula, harkat, derajat, dan martabat seorang perempuan terangkat, karena Islam menempatkan kedudukan perempuan pada posisi yang layak dengan memberikan hak-haknya secara sempurna, tanpa menguranginya sedikitpun.

Titik puncaknya, Islam sangat memuliakan perempuan ketika perempuan tersebut telah menjadi seorang ibu. Sebagai bukti, saat ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dan menanyakan kepada siapakah ia harus lebih berbakt, Nabi Saw menyebut ibu hingga tiga kali baru kemudian ‘Ayah’.

Adapun beberapa ketentuan dan etika yang harus dipenuhi bagi seorang perempuan yang ingin berkarir dan beraktivitas di luar rumah adalah: (1) Pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang mubah (halal), (2) merupakan kebutuhan, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat luas, (3) Mendapat izin suami.

Berikutnya, (4) Tidak mengabaikan hak-hak suami dan anak-anaknya, (5) Sesuai dengan karakter perempuan (tidak menyalahi kodratnya), (6) Memakai pakaian yang menutup aurat, (7) Tidak menggunakan parfum, make up atau perhiasan secara berlebihan.

Lalu (8) Sopan santun dalam perilaku, (9) Aman dari fitnah, dan (10) Tidak khalwat (berdua-duaan di tempat sepi) dengan laki-laki lain (ajanabi).

Dari semua ketentuan dan etika yang telah dipaparkan, syarat keempat adalah syarat yang paling ditekankan. Tidak mengabaikan hak suami dan anak-anaknya. Sebab pada hakikatnya, tugas utama seorang perempuan adalah memenuhi kewajibannya kepada suami dan anak-anaknya, dengan menjadi istri dan ibu yang baik.

Terlebih peranan ibu bersifat sangat penting bagi tumbuh kembang dan pendidikan anak-anaknya. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Leave a Response