Sejak awal abad 20 sampai hari ini kita menyaksikan upaya-upaya baru yang menggugat diskriminasi dan keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan.
Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Tahthawi menuliskan gagasan dan kritik-kritik ini dalam bukunya yang terkenal; “Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris” dan “al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”.
Tokoh inilah yang kemudian memengaruhi pikiran para cendikiawan muslim progresif sesudahnya, antara lain Muhammad Abduh, seorang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pembaharu abad 20. Abduh lahir di delta Nil Mesir, tahun 1849. Keluarganya terkenal fanatik dalam ilmu dan agama.
Abduh berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk Tuhan yang memiliki hak, kebebasan beraktivitas, perasaan, dan akal yang sama. Menurut Abduh, jika perempuan mempunya kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi.
Tetapi tokoh paling menonjol dan kontroversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin. Tahun 1899, ia menulis bukunya yang terkenal; “Tahrir al-Mar’ah” (pembebasan perempuan), Qasim Amin merupakan tokoh pembaharu muslim dari Mesir, yang lain. Ia dilahirkan di Thurah, wilayah pinggiran kota Kairo, tahun 1277 H/1863 M. Ia bertemu Mohammad Abduh di Perancis.
Gagasan Qasim Amin tentang kesetaraan gender banyak mendapat kritik tajam bahkan kecaman dari kalangan ulama Islam tradisional Mesir, dan beberapa tokoh Nasional Mesir. Tetapi ia juga disambut dengan apresiasi tinggi dari kaum perempuan dan para intelektual. Qasim merespon kritik-kritik ulama melalui bukunya yang juga populer : “al-Mar’ah al-Jadiddah” (Perempuan Baru).