Nazirah Zainuddin. Ia juga perempuan ulama sekaligus aktivis. Nazirah bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas dan terdiskriminasi. Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan yang seakan-akan hanya menjadi milik para laki-laki, dan tidak milik perempuan.
Bagi Nazirah perempuan adalah manusia dengan seluruh potensi kemanusiaannya, baik dalam dimensi akal budi (intelektual), spiritual, dan energi tubuh. Oleh karena itu, menurutnya, perempuan mempunyai hak untuk menjadi penafsir teks-teks suci, baik Alquran maupun hadits Nabi:
أجل إنه كما كان للمرأة أن تشترك في الحكم الشرعي، إن لها الحق الصريح أن تشترك في الاجتهاد الشرعي تفسيرا وتأويلا. بل إنها أولى من الرجل بتفسير الآيات القائم فيها واجبها وحقها، لأن صاحب الحق والواجب أهدى إليهما من غيره سبيلا
“Tentu, jika perempuan punya hak untuk terlibat dalam hukum-hukum agama, dia juga berhak dalam berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (pemahaman esoterik). Bahkan perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”. (Nazzhirah, Al-Fatat wa al-Syuyukh, hlm. 179).
Pandangan tersebut tampaknya mendapat inspirasi dari pandangan seorang filsuf muslim besar, Ibnu Rusyd, Ia mengatakan:
طَالَمَا أَنَّ بَعْضَ النِّسَاءِ يَنْشَأْنَ وَهُنَّ عَلَى جَانِبٍ كَبِيْرٍ مِنَ الْفِطْنَةِ وَالْعَقْلِ فَإِنَّهُ غُيْرُ مُحَالٍ أَنْ نَجِدَ بَيْنَهُنَّ حَكِيْمَاتٍ وَحَاكِمَاتٍ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ. وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مَنْ يَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا النَّوْعَ مِنَ النِّسَاءِ نَادِرَ الْحُصُوْلِ لَا سِيَّمَا وَأَنَّ بَعْضَ الشَّرَائِعِ تَرْفُضُ أَنْ تُقِرَّ لِلنِّسَاءِ بِالْإِمَامَةِ أَيْ اْلإِمَامَةِ الْعُظْمَى، بَيْنَمَا نَجِدُ شَرَائِعَ أُخْرَى عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ مَا دَامَ وُجُوْدُ مِثْلِ هَؤُلَاءِ النِّسْوَةِ بَيْنَهُمْ أَمْرًا لَيْسَ بِمُحَالٍ
“Sepanjang para perempuan tumbuh dan besar dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual yang cukup, maka tidaklah mustahil kita akan menemukan di antara mereka para filosof dan para pemimpin publik dan semacamnya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa perempuan seperti itu jarang ada, apalagi ada hukum-hukum agama yang tidak mengakui kepemimpinan politik perempuan, meski sebenarnya ada juga hukum agama yang membolehkannya. Akan tetapi sepanjang perempuan-perempuan di atas ada, maka itu berarti kepemimpinan perempuan bukanlah hal yang tidak mungkin”. (Talkhish al-Siyasah li Aflathon, h. 125)
Pandangan Ibn Rusyd ini berbeda dari para filsuf pendahulunya, termasuk Aristo atau Al-Farabi dan lain-lain, yang menempatkan perempuan sebagai makhluk manusia subordinat.