Pada dini hari yang sepi, Rabi’ah bangun. Hatinya gundah gulana. Ia segera bangkit, mengambil air wudhu dan bermunajat:
Rabi’ah tiap malam “munajat” kepada Allah, sambil menangis, dan tersedu-sedu.
Dalam munajat itu ia mengatakan:
“Tuhanku. Aku perempuan yatim piatu yang menderita dalam belenggu perbudakan oleh manusia. Aku rela menanggung sakit dengan seluruh kesabaran yang aku miliki. Biarlah. Derita ini tak seberapa berat dibanding dengan derita yang akan aku alami di akhirat kelak yang akan membakar ruhku dan melepaskan kesabaranku?. Wahai Tuhan. Kerelaan-Mu lah satu-satunya harapanku, Anugerahi aku rasa cinta kepada-Mu dan pengetahuan tentang-Mu. Wahai Tuhanku. Itulah puncak cita-citaku“.
Begitulah Rabi’ah bermunajat setiap malam. Hatinya selalu dilanda gelisah. Ia menjadi jarang tidur.
Suatu malam, manakala Rabi’ah tengah khusyu’ bermunajat, kamar Rabi’ah berpendar cahaya. Lampu di atas kepalanya berputar-putar mengelilingi kepalanya. Tuan rumah melihat cahaya itu, dan ia terperangah dalam kekaguman yang luruh.
Esok harinya, Rabi’ah dibebaskan dan menjadi orang merdeka. Majikan itu merendahkan diri di hadapannya sambil memohon maaf atas perlakuannya kepada Rabi’ah selama ini.
Rabi’ah selanjutnya menempuh hidup sebagai “abidah”, pengabdi Tuhan seperti biarawati dalam dunia Kristen. Ia menyusuri jalan cahaya, mengunjungi pengajian para sufi, di kota itu. Rabi’ah antara lain mengunjungi Hasan al-Basri, pemimpin para sufi terkemuka di zaman itu yang kepadanya hampir semua sufi sesudahnya berguru.
Banyak teman mengolok-olok sikap hidupnya itu. Mereka seperti tak setuju dengan jalan hidup barunya. Rabi’ah mengatakan: “O. Tuhan, mereka mencemoohku, lantaran aku mengabdi hanya kepada-Mu. Demi Kemuliaan dan Keagungan-Mu aku akan mengabdi kepada-Mu dengan seluruh darah dan nafasku”.
Ia menggubah puisi indah:
Duhai Yang berjanji menyambut dengan riang kekasih-Nya
Duhai, Kau yang tak ada yang lain yang aku harapkan.