Mukernas Ulama Al-Qur’an yang diselenggarakan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an sebanyak 9 kali, dari tahun 1974 s.d. 1983 lebih memilih mushaf tahun 60-an yang merupakan mushaf cetakan Bombay, India ketimbang mushaf jenis lainnya. Perlu diketahui, bahwa pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, mushaf Al-Qur’an yang beredar di Nusantara buka hanya mushaf cetakan Bombay, India tapi juga mushaf cetakan negara lain, sepeti Turki dan Mesir.

Mushaf cetakan negara-negara luar ini bahkan masih cukup banyak dijumpai pada sejumlah tempat seperti museum, masjid kuno bersejarah, hingga kolektor perorangan di berbagai wilayah Indonesia. Meskipun jumlahnya tidak banyak, namun mushaf-mushaf yang berasal dari negara-negara tersebut cukup mewarnai persebaran mushaf di Indonesia pada kurun waktu tersebut.

Penelitian yang dilakukan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Kementerian Agama ini mengkaji jejak sejarah mushaf cetak Al-Qur’an di Indonesia. Aspek yang ingin dikaji adalah bagaimana tahun-tahun awal penerbitan mushaf Al-Qur’an dilakukan di Indonesia dan seperti apa profil penerbit dan pencetak mushaf generasi awal. Tulisan ini juga akan menggambarkan penerbit mushaf Indonesia generasi awal dan jaringan yang terbentuk sesama mereka.

Melalui kajian lapangan dan pustaka ditemukan bahwa pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19 berbagai mushaf dari luar negeri seperti Bombay, Singapura, Turki dan Mesir mulai beredar di masyarakat dengan berbagai cara. Yang menarik, para penerbit generasi awal lebih memilih mushaf Bombay India ketimbang mushaf lain untuk diterbitkan di Indonesia, sehingga Forum Mukernas Ulama Al-Qur’an tahun 1974-1983 lebih memilih mushaf jenis Bombay sebagai acuan utama dalam merumuskan mushaf Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.

Pendekatan dan Metode

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara dokumentasi dan inventarisasi mushaf Al-Qur’an cetak lama yang berada di berbagai tempat, seperti masjid tua bersejarah, museum, tokoh ulama setempat, perpustakaan, hingga koleksi pribadi masyarakat.

Dokumentasi dan inventarisasi ini dilakukan pada tempat atau wilayah yang pada masa lalu menjadi tempat penerbitan dan pencetakan mushaf seperti Cirebon, Surabaya, Bukit Tinggi, Bandung, Semarang, Kudus dan lainnya. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan pada tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan Islam pada masa lalu, seperti di Aceh, Kepulauan Riau hingga Jogjakarta.

Untuk mempertajam, penelitian ini juga dilengkapi dengan wawancara terhadap sejumlah pihak yang memiliki pengetahuan tentang mushaf cetak masa lalu. Informasi yang didapat, baik dari fisik mushaf yang diteliti, wawancara yang dilakukan serta penelusuran informasi dan pustaka yang mendukung penelitian dan kajian ini.

Kesimpulan

Mushaf Al-Qur’an di Indonesai memiliki sejarah yang panjang, tak terkecuali mushaf cetak. Sejarah ini juga yang mengkondisikan lahirnya mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi penerbitan dan pencetakan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Sejarah tersebut dimulai dari hadirnya manuskrip-manuskrip Al-Qur’an hingga akhir abad ke-19 yang disalin oleh kalangan profesional maupun kalangan masyarakat biasa yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Sejarah penyalinan mushaf berlanjut pada mushaf dalam bentuk cetak batu, litograf yang berada di Palembang dan Singapura. Mushaf litograf, terutama cetakan Singapura cukup banyak ditemukan di sejumlah wilayah di Indonesia.

Beririsan dengan hadirnya mushaf litograf, mushaf cetak pada masa itu mulai hadir dan tersebar di Nusantara. Mushaf versi cetak ini berasal dari berbagai negara, seperti India, Turki, Singapura, dan Mesir. Pada perkembangan selanjutnya, para penerbit generasi awal seperti Abdullah Afif Cirebon, Salim Nabhan Surabaya, dan Matbaah Bukit Tinggi lebih memilih model cetakan Bombay, India, ketimbang yang lain. Fakta menarik lainnya adalah, bahwa hampir semu pencetak mushaf Al-Qur’an generasi awal merupakan pendatang Arab, terutama dari Hadrami.

Model Al-Qur’an Bombay ini tidak hanya diterbitkan oleh generasi pertama, tapi juga generasi-generasi selanjutnya, seperti Al-Maarif Bandung, Menara Kudus, Toha putra Semarang, hingga CV. Tinta Mas Jakarta, dan faktanya mushaf inilah yang paling akrab dan banyak digunakan masyarakat. Bisa dipahami jika kemudian para ulama dalam forum Mukernas Ulama Al-Qur’an menjadikan Al-Qur’an model Bombay menjadi acuan utama dalam merumuskan mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Hasil penelitian selengkapnya klik di sini

Leave a Response