Kajian pada sebelas tradisi (Bubur Suro, Ngarot, Nyuguh, Cikahuripan dan Kawin Cai, Hajat Sasih, Pongokan, Tutup Taun dan Ngemban Taun, Haolan, Bebasa, Cacah Jiwa dan Ngembang) berupaya tidak hanya mengungkap praktek ritual lama yang dikenal dalam masyarakat, tetapi juga mendorong adanya upaya transmisi nilai tradisi lama sebagai modal sosial dalam membangun jati diri dan karakter bangsa.
Transmisi nilai ini diharapkan menjadi strategi sosial yang dapat dilakukan pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Menko Polhukam, Kepolisian RI) dan para pemangku kebijakan terkait yang memiliki tujuan membangun jati diri dan karakter bangsa.
Metodologi penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan Balai Litbang Agama Kementerian Agama Jakarta ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan fokllor. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan kepada pelaku tradisi, budayawan, aparat desa, dan warga setempat.
Temuan Penelitian
Tradisi dan upaya pemajuannya
Praktek Bubur Suro, Ngarot, Cikahuripan Kawin Cai, Tutup Taun Ngemban Taun, Hajat Sasih, Nyuguh, Haolan, Pongokan, Bebasa, Cacah Jiwa dan Ngembang dalam masyarakat Sunda mempunyai sejarah yang cukup panjang. Kesebelas tradisi ini menjadi cerminan interaksi keberagamaan masyarakat Islam dengan budaya lokal.
Hal ini menunjukkan sebuah gambaran tentang cara bagaimana masyarakat “memahami kehidupan di dunia ini”. Secara konteks keagamaan kesebelas tradisi ini merupakan manifestasi dari corak keagamaan yang berorientasi sufistik, sebagaimana nuansa pedesaan pada umumnya. Corak keagamaan sufistik merupakan corak keagamaan yang bersifat substitute (pengganti) bagi corak keagamaan yang legal formal (fiqh oriented).
Bubur Suro, Pongokan, Tutup Taun dan Ngeban Taun, Cikahurpan dan Kawin Cai dalam prakteknya, mentransmisikan nilai nilai lama dalam bentuk kegiatan yang dilakukan secara bersama sama oleh warga. Kegiatan yang dilakukan berdasarkan perhitungan kalender yang menjadi konvensi kesepakatan bersama. Nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri kampong ini masih bertahan hingga saat ini.
Begitu pula halnya dengan Hajat Sasih, Nyuguh, Bebasa, Cacah Jiwa, Ngembang yang terus mentransmisikan penghargaan terhadap alam lingkungan yang memberi nilai tambah dalam kehidupan masyarakat setempat. Adapun haolan mbah sholeh memberikan pengajaran untuk mengenang dan menghargai atas segala jasa dan peran pendiri kampong dan pesantren.
Melalui Tradisi lisan membangun karakter bangsa
Resistensi kelompok puritan terhadap eksistensi tradisi di satu sisi dimengerti sebagai sebuah kesadaran beragama. Namun, menjaga eksistensi dan memajukan tradisi, bahkan mengkapitalisasi nilai nilai tradisi dan prakteknya menjadi arus utama (mainstreaming) transformasi sosial menuju masyarakat yang harmoni, toleran, moderat dan tidak radikal adalah sebuah kebutuhan dari kebijakan bernegara dan praktek umum pelaku komunitas.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Phinemo