Pada tulisan sebelumnya, Bikhu Parekh membagi sekularisme dengan makna secara umum. Meski begitu, pandangannya mengacu pada sekularisme Amerika, Inggris, Prancis yang ia bagi menjadi dua versi; ‘yang lemah’ dan ‘yang kuat’. Maka seiring berjalannya waktu, sekularisme di Prancis mengalami perkembangan dalam aspek konstitusi-konstitusinya.
Dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan oleh CokroTV, Prof. Ayang Utriza menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, sekuralisme Prancis setidaknya memiliki 7 prototipe yang sedikit berbeda, tetapi masih berkaitan satu sama lain.
Pertama, sekularisme yang antiagama. Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, bahwa pada periode awal, sekularisme di Prancis cenderung menganggap seluruh agama sebagai ‘musuh terselubung’.
Hal ini bisa untuk ‘dimaklumi’, karena pada saat itu, konflik antara otoritas negara (new regime) dan gereja (old regime) sedang memanas. Dan dari sini kemudian melahirkan kebencian terhadap simbol-simbol yang ‘berbau’ agamis.
Kedua, sekularisme yang ingin memisahkan Prancis dari keterikatan gereja-gereja Katolik di Roma. Ini yang kemudian menyebabkan ketegangan Prancis dan Roma demikian memanas seperti ulasan dalam tulisan sebelumnya. Implikasi dari sekularisme ini adalah bahwa otoritas agama berada di bawah otoritas negara.
Ketiga, sekularisme separatis individual yang sangat ketat. Sekularisme ini yang kemudian memberikan kebebasan beragama terhadap individu, ia beragama atau tidak itu tidak ada kaitannya dengan masyarakat atau kelompok tertentu.
Keempat, sekularisme inklusif. Varian ini memisahkan antara agama dan negara, tetapi masih melihat kolektivitas. Dengan kata lain, negara memberikan kebebasan terhadap tempat-tempat peribadatan.
Kelima, sekularisme eksklusif. Sekularisme ini hadir sebagai respons atas sekularisme inklusif. Dalam konsepnya, ia tidak jauh beda dengan sekularisme sebelumnya, ‘yang inklusif’. Bedanya, pada sekularisme ini negara lebih mengakui keberagamaan secara kolektif. Dalam artian, negara bersedia menyumbangkan bantuan kepada lembaga-lembaga keagamaan.
Keenam, sekularisme identitas. Artinya, negara Prancis adalah negara yang menganut sekularisme, tetapi sekularisme yang dimaksud adalah sekularisme dengan identitas ‘kenegaraan Prancis’ dan ‘keagaman Katolik’. Dan yang terakhir, sekularisme sebagai sebuah sistem yang di negara Prancis, tetapi dengan mengecualikan beberapa wilayah tertentu.
Lalu, di mana posisi kebebasan berekspresi dalam konstitusi negara Prancis? Kebebasan berkespresi—Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad At-Thayib, dalam pidatonya, mengistilahkan dengan hurriyah at-ta’bîr—di Prancis merupakan salah satu ‘buah’ yang lahir dari konsep sejarah sekularisme yang berkepanjangan itu.
Pada tahun 1789, revolusi Prancis menemukan momentumnya. Salah satu ‘poin penting’ yang lahir dari revolusi tersebut adalah diputuskannya deklarasi “Hak Asasi Manusia” dan hak-hak kewarganegaraan.
Dari sini kemudian kebebasan berekspresi lahir sebagai sebuah landasan negara Prancis dalam konsepnya yang sekular. Ini termaktub dalam undang-undang pasal 11 yang menyatakan bahwa setiap warga negara bebas untuk mengeluarkan pendapatnya.
Kemudian, undang-undang ini diperkuat lagi dengan kebebasan pers di tahun 1881. Dan pada puncaknya, di tahun 1985, undang-undang ini kembali diperkuat sekaligus dikembangkan yang, kurang lebih, menyatakan bahwa semua media bebas untuk memberitakan dan menginformasikan segala sesuatu, termasuk di dalamnya adalah pembuatan karikatur atau kartun apapun.
Poin kedua yang lahir dari revolusi Prancis dan juga tidak kalah pentingnya adalah diperbolehkannya melakukan kritik-kritik keras terhadap agama sendiri ataupun agama orang lain.
Tentu, dalam hal ini menuntut diperbolehkannya ‘penistaan-penistaan’ terhadap umat beragama, dan bukan hanya kepada Islam saja. Termasuk dalam hal ini adalah hadirnya karikatur Nabi Muhammad Saw. tersebut.
Pastinya, hal ini tidak sesederhana seperti dalam tulisan ini. Sejarah panjang tentang ‘pahit-manis’ yang dialami Prancis dengan gereja sangat-sangat kompleks, banyak faktor-faktor yang melatarbelakaninya.
Apalagi jika di tambah dengan perang Salib yang hampir satu abad tak kunjung usai. Termasuk juga ‘ancaman’ bagi negara Prancis dengan semakin bertambahnya imigran muslim. Semua persoalan ini memiliki peranannya masing-masing.
Seperti yang telah disebutkan Prof. Ayang dengan mengutip pendapat salah seorang peneliti asal Prancis, Oliver Roy, peran umat Islam di Prancis setidaknya memiliki tiga (3) tipologi.
Pertama, ada golongan yang menuntut agar hak-hak keislamannya diakui oleh negara Prancis. Kedua, ada golongan muslim yang ingin memutus hubungan antara kehidupan di Prancis yang serba modern dengan nilai-nilai keislaman. Ketiga, ada golongan kaum muslim populer yang hidup damai. Mereka tidak mempermasalahkan apapun.
Tentunya, masing-masing tipologi dari umat Islam tersebut memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap sekularisasi-sekularisasi di negara Prancis dan ‘responnya’ terhadap Muslim.
Lantas, apakah Macron sepenuhnya salah ketika menolak penghapusan karikatur Nabi?
Hemat penulis, pada titik ini, dengan mengacu kepada sejarah lahirnya kebebasan berekspresi di atas, yang seharusnya ‘dikoreksi’ adalah konstitusi Prancis terkait kebebasan berekspresi. Dalam hal ini, perlu dicatat, bahwa Grand Syekh Al-Azhar juga ‘menyayangkan’ hal ini dalam pidato Macron. Sehingga Grand Syekh bukan langsung menjadikan Macron sebagai ‘kambing hitam’.
Akan tetapi, ada sisi lain yang penulis sayangkan pada titik ini. Dalam sebuah klarifikasi Macron di Al-Jazeera, ia ‘berapologi’ dengan mengatakan bahwa penerbitan karikatur-karikatur Nabi di majalah Charlie Hebdo itu sama sekali tidak ada kitannya dengan pemerintahan. Menurutnya, Pemerintah tidak memiliki otoritas atau hak untuk menghapus atau melarang hal itu.
Padahal sudah jelas, bahwa dalam perkara ini, di satu sisi ia menolak penghapusan karikatur Nabi tersebut dengan berdalihkan kebebasan berekspresi sebagai landasan negaranya. Tetapi di sisi lain, ia mengingkari adanya ‘campur tangan’ pemerintah atas apa yang terjadi dalam karikatur tersebut.
Tidakkah hal ini terlihat kontradiktif? Bukankah adanya kebebasan berekspresi sebagai landasan negara secara afirmatif menunjukkan adanya ‘campur tangan’ pemerintah Prancis dalam segala implikasi yang dihasilkan dari kebebasan berekspresi itu?
Memang, terkadang perkataan seorang politikus bisa berkali-kali lipat ‘sulit dipahami’ daripada perkataan seorang filsuf besar.
Dengan tanpa mengurangi rasa empati atas sejarah Pancis yang penuh dengan ‘kenangan-kenangan pahit’ bersama otoritas gereja. Dan dengan tanpa mengurangi rasa hormat atas sistem sekularisme dan kebebasan berekspresi sebagai sebuah landasan negaranya, semoga Presiden Macron sebagai sesosok yang memiliki otoritas penuh di Prancis turut mempertimbangkan kembali ‘suara’ Grand Syekh dan umat Islam di seluruh dunia.
Dalam pidatonya, Grand Syekh menyayangkan kebebasan berekspresi itu yang tidak memiliki batasan-batasan tertentu. Dan pastinya, mengkritik dan menghina bukanlah hal yang sama, dua hal yang ‘seharusnya’ secara tegas dibedakan.
Tidak lupa juga, Grand Syekh mengumumkan peluncuran Al-Azhar atas platform internasional yang mengenalkan kerahmatan Nabi Muhammad Saw. sebagai rasul kemanusiaan (rasûl al-insâniyyah) untuk memberantas aksi-aksi ekstremisme. Selain itu juga akan diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.
Grand Syekh berpesan kepada kita agar menanggapi fenomena ini dengan ‘jalan’ yang benar. Tentu saja, dengan tidak tersulut arus provokatif dan bermain hakim sendiri.
Grand Syekh juga mengingatkan sikap Nabi Saw. ketika menghadapi hinaan dan cercaan kaum kafir Quraisy dengan mendoakan mereka, Allahummahdî qaumî faînnahum lâ yâ’lamûn, “Duhai Allah, ampunilah kaumku (atas apa yang mereka lakukan) sebab sungguh mereka tidak mengetahui”.