Pesan Gus Baha untuk Orang yang Suka Kritik ke Sesama Muslim, Tapi Tidak Berani ke Orang Kafir
Dalam suatu pengajian bersama santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Kabupaten Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau yang dikenal dengan Gus Baha menerangkan kisah sikap seseorang yang cenderung galak terhadap sesama Muslim, namun baik terhadap non muslim. Seperti apa penjelasannya?
Berikut ini paparan dari Gus Baha:
Kadang kala orang Khawarij itu ngawur. Apabila disebut iman syaratnya harus ideal. Ini yang repot ketika maksiat tidak jadi iman, maksiat tidak jadi iman.
Sejelek-jeleknya umat kanjeng Nabi adalah orang Khawarij. Salah satu hadis Nabi yang shahih dan saya ingat adalah:
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ مُرُوْقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّة
“Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya.”
Kemudian Nabi mensifati mereka dengan:
يُقاَتِلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَم ولاَ يُقاَتِلُوْنَ أَهْلْ اْلأَوْثَانِ
Ciri utama orang Khawarij atau orang yang berlebihan sunnah Rasul adalah senang mengkritik kiai dan sesama orang Islam, tetapi tidak mengkritik orang kafir.
Jadi, ketika diutak-utek yang disalahkan tetaplah orang yang sama Islamnya, tetapi tidak pernah menyalahkan orang non Muslim.
Saya mengenang, kiai saya di Sarang (salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang) yang terkenal pribadi pendiam. Ketika Gus Dur terkenal kontroversi, ada seorang kiai yang anti Gus Dur.
Kiai tersebut menjelek-jelekkan Gus Dur hingga hampir satu jam. Kiai saya hanya mendengarkan saja. Ketika didengarkan oleh kiai saya, kiai yang menjelekkan Gus Dur tersebut merasa bahwa pendapatnya disetujui oleh kiai saya.
Jawaban Kiai saya:
“Pun nggeh gentosan, Jenengan niku wau kan pun ngenyek kiai seng namine Abdurrahman Wahid. Kulo entosi Jenengan nggeh ngenyek pendeta nggeh sak jam” (Sudah ya, gantian. Dari tadi Anda menjelek-jelekkan kiai bernama Abdurrahman Wahid. Saya tunggu Anda menjelek-jelekkan pendeta satu jam).
“Mboten saget, lah kulo urusane nopo?” (Tidak bisa, saya ada urusan apa?)
“Berarti Jenengan luweh semangat ngenyek wong Islam daripada wong kafir” (Berarti Anda lebih semangat menjelekkan orang Islam daripada orang kafir).
Mendengarkan jawaban kiai saya, kiai yang menjelekkan Gus Dur itu menangis. Menangis bukan karena perkara taubat, tapi dia sadar logika yang dibangun itu salah.
Saya itu mengapa menjadi kiai tertutup. Saya tidak suka ada masukan misalnya, “Musthofa itu khusuk Gus, tapi goblok sak rezekine” (Rukhin itu cerdas Gus tapi tidak sukses dalam berkeluarga).
Kamu juga komentator, misalnya tidak sukses jadi reformis. Bisa identifikasi orang, tetapi tidak pernah bisa memperbaiki orang.
Kalau ada orang Islam yang tidak sesuai sunnah Rasul, kalau bisa diingatkan. Tetapi kalau tidak bisa, maka diam saja. Karena kita tidak selalu memiliki semangat yang sama untuk mengomentari orang-orang non Muslim.
Guru-guru saya termasuk Bapak saya, ketika kiai-kiai sekarang memiliki mobil-mobil bagus dan banyak. Saya heran dengan orang-orang sholeh di desa, apabila ada Cina yang mobilnya lima tidak digunjing, tetapi ketika kiai memiliki dua mobil, dianggap kedunyan (cinta dunia).
“Ini hasud (dengki) apa goblok?”
Lucu bukan? Kaji-kaji (haji) dan kiai-kiai di desa ‘kan sama-sama paham apabila Cina-Cina punya mobil tidak dirasani, tapi kalau ada kiai-kiai punya dunia (harta benda) sedikit, “Kiai kok kedunyan.”
Jadi, saya minta kita-kita apapun bedanya disatukan oleh firman Allah:
مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ
“(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim…”
(Hafidhoh Ma’rufah)
Sumber Pengajian klik di sini.