Pesantren dan pertanian memiliki kaitan sangat erat terutama karena tiga hal. Pertama, lokasi pesantren. Kedua, profesi kiai. Ketiga, latar belakang para wali santri.
Banyak lokasi pesantren, sebagaimana dapat kita saksikan sampai hari ini, terletak di desa-desa yang jauh dari keramaian kota. Bahkan tidak jarang pesantren berada di pucuk gunung atau pedalaman yang sulit dijangkau kendaraan. Ia berdampingan secara langsung dengan lahan-lahan pertanian masyarakat.
Hebatnya, meski dibangun di area-area pesawahan, tidak ada konflik horisontal antara pesantren dengan masyarakat sekitar pemilik lahan. Ini berbeda dengan pembangunan pabrik-pabrik yang setiap kali dibangun di pedesaan nyaris selalu menyulut api konflik. Artinya, keberadaan pesantren di desa-desa yang berdampingan dengan lahan-lahan pertanian bukanlah suatu problem.
Memang, kalau kita tilik dari sisi historis, pemilihan desa-desa terpencil sebagai lokasi pesantren tidak bisa dilepaskan dari keberadaan penjajah. Sikap mereka terhadap para kiai, terutama pasca Perang Jawa (1825-1830), menjadi sedemikian agresif. Ini buntut dari keterlibatan para kiai dalam perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro itu.
Para kiai jejaring Diponegoro itu kemudian “bersembunyi” di pelosok-pelosok desa dan mendirikan pesantren. Mereka biasanya mengidentifikasi diri sebagai anggota jejaring Diponegoro dengan menanam dua pohon sawo di depan rumah mereka. Ada alasan kenapa pohon sowo: mengambil falsafah anjuran menjelang shalat berjamaah (sawwu shufufakum: rapatkanlah barisan kalian).
Pesantren Girikusumo Mranggen Demak Jawa Tengah adalah contoh pesantren yang dibangun di pelosok desa. Keadaan sekitar pesantren yang didirikan oleh Kiai Muhammad Hadi, seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dan kawan dekat Kiai Sholeh Darat ini seluruhnya adalah lahan pertanian dan perkebunan. Kini Pesantren Girikusmo menjadi “destinasi ruhani” yang ramai dikunjungi warga Kota Semarang dan sekitarnya, terutama setiap Kiai Munif, sang pengasuh pesantren, menggelar pengajian.
Dengan lokasi yang berhimpitan dengan lahan pertanian, adalah fakta bahwa tidak sedikit kiai pendiri pesantren yang juga seorang petani. Ia biasanya memiliki sejumlah lahan yang ditanami komoditas tertentu seperti padi, jagung, dan lain-lain. Tentu bukan hal yang aneh apabila sehari-hari sang kiai beraktivitas sebagaimana petani pada umumnya.
Bahkan tidak jarang, para santri turut bekerja menggarap lahan pertanian milik kiai. “Upah” keterlibatan santri dalam menggarap lahan pertanian milik kiai kemudian menjadi bekal makan sehari-hari mereka di pesantren. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan semacam ini ditemukan di banyak pesantren tradisional di masa-masa awal.
Adalah Kiai Subchi atau yang dikenal dengan “Kiai Bambu Runcing”, figur kiai yang sekaligus seorang petani. Ia, sebagaimana dituliskan Kiai Saifuddin Zuhri (Berangkat dari Pesantren, 2013: 350), menanam tembakau, jagung, dan kentang dalam lahannya yang tidak begitu luas. Fakta bahwa banyak kiai yang juga seorang petani menjadikan pesantren dan pertanian terjalin begitu erat.
Keterkaitan itu kemudian makin erat karena banyak santri yang mukim di pesantren merupakan anak-anak petani. Meski pendidikan formal telah merambah ke pelosok-pelosk desa, di banyak pesantren tradisional, sampai dengan saat ini, banyak dari para santri, kalau tidak menyebutnya mayoritas, adalah anak petani. Tak perlu jauh-jauh, di desa tempat saya tinggal, di Gantungan Jatinegara Tegal, yang mayoritas berprofesi petani, banyak yang mendidik putra-putrinya di Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang.
Selain terbukti berhasil membekali santrinya akhlakul karimah, salah satu alasan yang cukup pasti mengapa para petani memilih pesantren salaf sebagai tempat pendidikan anak-anaknya adalah biaya yang murah. Akan tetapi lepas dari alasan para petani mendidik putra-putrinya di pesantren, hal ini menjadikan pesantren dan pertanian makin dekat. Bisa dikatakan, pesantren adalah kawan dekat pertanian dan kiai adalah sahabat petani.
Kepedulian seorang kiai terhadap permasalahan yang dialami para petani tercermin dalam sepenggal kisah dalam kehidupan Kiai Muslih. Nama yang terakhir disebut adalah seorang kiai dari Mranggen Demak Jawa Tengah yang memiliki ribuan santri, baik yang mukim di Pesantren Futuhiyyah, maupun yang pulang-pergi (santri kalong). Tidak sulit untuk menduga bahwa banyak santri Kiai Muslih yang berprofesi sebagai petani.
Pada saat banyak petani mengalami kerugian akibat hama tikus yang menyerang tanaman mereka, Kiai Muslih memberi ijazah “tolak tikus”. Doa tolak tikus Kiai Muslih itu unik karena ia merupakan kombinasi bahasa Jawa dan kalimat tauhid. Bunyi ijazah itu, sebagaiman tertulis dalam selembar kertas yang dibagikan oleh Kiai Shodiq Hamzah, murid Kiai Muslih, adalah sebagai berikut:
“Tremur tikus baliha nang gunung merapi biyang timur tikus baliha nang gunung kemukus kreh nyengkreh kir nyingkir saking kersane Allah Lailaha Illallah 3x bibi lebar bibi buyar lebar buyar saking kersane Allah.”
Kiai Muslih kemudian memberikan panduan dan tata cara pengamalan doa tersebut secara lengkap.
Apa yang dilakukan Kiai Muslih ini menjadi satu khazanah yang menarik bagaimana kiai yang tinggal di pesantren turut berupaya menyelesaikan problem pertanian masyarakat. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa pesantren dan pertanian adalah dua entitas yang bersahabat erat sejak lama.
Dengan keterkaitan yang sangat erat sebagaimana saya tuliskan di atas, tidak sedikit pesantren yang kemudian melangkah sedemikian progresif dengan menjadikan pesantren sebagai sarana untuk belajar bertani. Apalagi, sebagaimana dinyatakan UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren, pesantren tidak sekadar menjalankan fungsi pendidikan dan dakwah saja, melainkan juga pemberdayaan masyarakat.
Pesantren Al-ittifaq di Bandung Jawa Barat adalah contoh bagaimana pesantren mengelola pertanian dengan sangat baik. Pesantren yang didirikan 1934 ini masyhur sebagai pesantren yang mengembangkan agribisnis terutama sejak 1970-an, di era kepengasuhan Kiai Fuad Affandi. Al-Ittifaq kini memiliki luas lahan pertanian sekitar 11 hektar yang sebagian besar berada di sekitaran pondok pesantren.
Kegiatan para santri tidak hanya belajar di bangku sekolah. Akan tetapi ada yang bertugas di wilayah perkebunan untuk menanam, merawat hingga memanen hasil pertanian. Ada santri yang bertugas mengolah pasca panen yang meliputi pengemasan hingga mengurus rantai distribusi. Ada pula santri yang bertugas mengurus ternak.
Al-Ittifaq bisa dibilang menjadi role model pesantren yang mandiri di sektor pangan. Untuk menghidupi santri sebanyak kurang lebih 550 orang, mereka mengandalkan hasil pertanian dan peternakan. (suarajabar.id)
Produksi pertanian mereka didistribusikan ke supermarket, pasar tradisional, dan sisanya dikonsumsi para santri. Al-Ittifaq juga sudah mengadopsi cara-cara modern di dalam mengelola pertanian mereka. Tak heran, belum lama ini, Wakil Presiden Maruf Amin menahbiskan pesantren ini sebagai percontohan digitalisasi pertanian di lingkungan pesantren.