Potret Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Timur
Balai Litbang Agama Kementerian Agama Makassar merasa penting untuk mengangkat kembali realitas kerukunan umat beragama di masyarakat yang masih berjalan sangat baik dan tulus. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa sejatinya, dalam masyarakat Indonesia masih banyak komunitas yang mempraktikkan kerukunan beragama secara tulus.
Komunitas-komunitas yang disebut melakukan Kerukunan Beragama secara tulus itu, kendati masih ada beberapa persoalan, diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi komunitas lainnya dalam menjalankan praktik kerukunan beragama tersebut.
Praktik kerukunan yang tulus ini tidak akan mudah goyah dengan kemunculan kelompok-kelompok yang intoleran. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif menemukan beberapa komunitas masyarakat yang masih menjalan kerukunan beragama secara baik dan tulus, yang kemudian disebut dengan Best Practices Kerukunan Umat Beragama.
Temuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019 di beberapa komunitas di Indonesia Timur, yakni Komunitas Lempake dan Pampang di Samarinda, komunitas Kokoda dan Jalur Bali di Sorong, komunitas Ohodertawun-Kei-Maluku Tenggara, Komunitas Lembang Kaduaja-Toraja dan komunitas Palopo serta komunitas Pasalae di Gorontalo. Di semua komunitas yang diteliti tersebut terdapat umat beragama dari dua agama atau lebih. Di tempat tertentu, misalnya Lempake, Palopo dan Pasalae, umat Islam yang mayoritas.
Sementara di Pampang, Lembang Kaduaja dan Kokoda yang dominan adalah umat Kristen. Adapun di Komunitas Jalur Bali-Aimas kendati jumlah umat Islam tetap lebih banyak, tetapi perbandingannya dengan Kristen hampir seimbang. Hal ini sama dengan komunitas Oherdetawun.
Dari komposisi penganut agama di masing-masing komunitas menunjukkan bahwa praktik kerukunan yang tulus bisa terjadi di masyarakat mana pun; bisa pada masyarakat mayoritas Islam, mayoritas Kristen atau mayoritas Katolik, Hindu dan Budha dan bisa pula pada masyarakat yang komposisi jumlah penganut agamanya nyaris sama. Hal ini menepis asumsi bahwa di tempat yang komposisi penganut agamanya seimbang atau mayoritas umat Islam, kerukunan umat beragama tidak berjalan dengan baik.
Dari beberapa komunitas yang diteliti, jelas terlihat kerukunan beragama berlangsung dengan sangat baik dan tulus. Para penganut agama tertentu tidak sekedar menoleransi keberadaan penganut agama lain, tetapi juga berinteraksi secara aktif satu sama lain. Mereka saling mengunjungi- termasuk saat hari raya, bekerja sama dan tolong-menolong dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan keagamaan.
Demikian pula keberadaan rumah ibadah agama lain dalam lingkungan agama berbeda tidak dipermasalahkan, bahkan dibantu pendiriannya. Jika terjadi konflik, maka komunitas tersebut memiliki mekanisme lokal untuk menyelesaikannya yang biasanya bersumber dari hukum adat.
Di beberapa komunitas tersebut di atas, faktor yang menjadi basis kerukunan beragama antara lain adalah kearifan lokal dan adat. Hal ini terlihat pada komunitas Pampang-Samarinda, di mana tradisi Dayak, khususnya kesenian Dayak menjadi alat pemersatu antara Kristen-Dayak dan Islam Bugis-Banjar.
Demikian juga terlihat pada komunitas Oherdetawun-Maluku Tenggara, basis kerukunannya pada aturan adat Lurvul Ngabal dan falsafah Ken ain ni ain (kita semua satu), selain ikatan kekerabatan yang kuat. Hal ini juga terlihat pada komunitas Lembang Kaduaja-Tator, mereka memiliki adat tokonan yang menjadi pengikat kekerabatan tanpa memandang agama yang berbeda.
Begitu pun di Palopo basis kerukunannya adalah kearifan lokal di antaranya mesa kada diputuo pantang kada dipumate (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Sementara di komunitas Kokoda-Sorong, kerukunan beragama ditopang oleh pengetahuan akan sejarah masa lalu.
Komunitas ini memiliki sejarah tentang toleransi yang diperankan oleh Sultan Tidore ketika pertama kali memperkenalkan Islam di komunitas ini. Ingatan tentang sejarah ini terus dijaga hingga kini untuk merawat kerukunan beragama tersebut. Di komunitas Pasalae-Gorontalo, lain lagi, kerukunan tersebut ternyata ditopang oleh faktor ekonomi, secara khusus hal ini terlihat pada masyarakat nelayan.
Melalui itu, masyarakat bisa berinteraksi dengan baik tanpa memandang agama. Apalagi ada tradisi untuk membagikan ikan, dari hasil tangkapan nelayan, tanpa melihat agamanya. Sementara di komunitas Lempake-Samarinda kerukunan beragama ditunjang oleh kepentingan dan cita yang sama dalam membangun kampung dan juga adanya kesetaraan dalam penguasaan ekonomi. Di samping juga adanya kearifan lokal yang terkait dengan gotong royong.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Antara