Kabut kepedihan menyelimuti batin Siti Aisyah r.a. Sehari, dua hari, hingga hari-hari berganti minggu, kondisi tak kunjung membaik. Sikap Rasulullah saw. pun lambat laun berubah, wajahnya dingin, tak banyak bicara. Sementara  di luar sana, penduduk Madinah gempar dengan berita miring yang bersumber dari orang-orang munafik.

Kejadian ini bermula tatkala melihat Aisyah pulang bersama seorang lelaki sahabat Rasulullah; Shafwan bin Mu’aththal selepas peperangan usai. Kepulangan keduanya disambut dengan desas-desus tak benar yang kelak menimpa dirinya dan Shafwan. Tuduhan tanpa bukti ini akhirnya kian hari kian meluas kabarnya, tak terhindarkan lagi hingga sampai ke telinga Rasulullah saw.

Aisyah r.a. tahu bahwa Rasulullah saw. pun tak begitu saja lekas memercayai tuduhan itu—tuduhan yang dialamatkan kepada Aisyah yang kala itu tertinggal dari rombongan (perang) karena harus mencari kalungnya yang hilang. Kisah tentang fitnah besar (ifk) yang menimpa Aisyah r.a. ini sempat membuat Aisyah jatuh sakit dan meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk sejenak pulang ke rumah orangtuanya; Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.

Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. dan istrinya juga tak mampu berbuat banyak. Mereka hanya menyampaikan pelan-pelan kepada putrinya jika memang ia telah melakukan suatu kekhilafan, maka segeralah bertaubat dan pulanglah kepada Rasulullah saw. Mendapati respon ayahnya yang seolah memojokkan dirinya, Aisyah r.a. pun menjawab, “Aku tidak akan mengakui kesalahan yang aku tidak perbuat. Biarlah Allah menjadi saksi atas semua ini,” jawab Aisyah.

Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. pun terdiam, ia berusaha memahami hati puterinya ini. Ia pun sebenarnya yakin bahwa  tak  mungkin putrinya berselingkuh dengan Shafwan. Namun, tuduhan ini betul-betul menyita dan menyiksa. Sepanjang sakit, Aisyah r.a. hanya sesekali dikunjungi oleh Rasulullah dengan percakapan dingin, “Bagaimana keadaanmu?” hanya itu. Batin Aisyah terasa teriris melihat sikap Rasulullah saw. yang tak seperti biasanya itu. Aisyah r.a. pun tak menyangka bahwa Rasulullah saw. akan termakan kabar miring ini. Siang-malam Aisyah tak henti-hentinya memohon pada Allah agar Allah membuka tabir kebenaran. Membuka hal yang sebenarnya terjadi dan membebaskan dirinya dari tuduhan itu.

Dua hari berikutnya, kabar besar yang dinanti Rasulullah saw. dan Aisyah ra. pun muncul. Jibril datang menyampaikan wahyu bahwa apa yang dituduhkan orang-orang itu tidak benar adanya. Allah menurunkan ayat khusus untuk membebaskan Aisyah r.a. dari segala tuduhan yang diabadikan dalam QS. an-Nur/24: 11. Rasulullah saw. lantas bergegas mendatangi  Aisyah r.a. di kediaman ayahnya menyampaikan berita bahagia ini. Sesampainya di sana, Aisyah r.a tak henti-hentinya bersujud. Ia bersyukur, lega dan tenang karena akhirnya kebenaran pun akhirnya terungkap.

Setidaknya, ada beberapa ‘ibrah yang bisa kita renungkan dalam kisah fitnah menyejarah yang menimpa Aisyah r.a. ini. Jika dulu saat masa-masa Alquran turun sangat mungkin diluruskan kabar yang sesungguhnya oleh Alquran, bagaimana zaman sekarang ketika masa-masa turunnya Alquran telah usai?

Sesunggunya, Alquran diturunkan dengan ajarannya yang selalu bersesuaian dengan zaman; mengikuti kondisi dan situasi. Maka, ketika ada kondisi yang tidak sejalan dengan kondisi yang sebenarnya dan masih perlu diluruskan, jalan terbaik  yang sesuai dengan tuntunan Alquran ialah dengan bertabayyun. Tabayyun berasal dari kata bayyana- yubayyinu yang artinya upaya dengan sungguh-sungguh untuk membuka, mencari penjelasan hingga tak ada kesamaran di dalam sesuatu.

Dengan demikian, tabayyun bukan  hanya usaha untuk menyingkap sesuatu yang masih diragukan kebenarannya, namun juga upaya preventif (pencegahan) untuk tidak mudah menaruh prasangka kepada orang lain. Dengan demikian, tabayyun berlaku di semua lapisan masyarakat. Orangtua kepada anaknya, anak kepada orangtua, guru pada muridnya, murid pada gurunya; termasuk juga para pemangku kebijakan kepada rakyat yang aspirasinya harus sedapat mungkin didengar dan dipertimbangkan. Sebab pada akhirnya, masing-masing dari kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak; sehingga, jangan sampai apa yang dilakukan selama di dunia ini hanya berdasar dari prasangka, sebab prasangka hanya akan berakhir petaka.

 

Leave a Response