Judul buku : Plato Memotong-motong Keju
Penulis : Ani Mardatila, dkk
Penerbit : Buletin Sastra Pawon
Cetakan : I, 2019
Tebal buku : 88 halaman, 13 x 19 cm
ISBN : 9786237258209
Puisi bisa jadi jalan guna mengekalkan ingatan. Pergulatan dan permenungan hidup tak ingin dibiarkan sia-sia dan terlewat begitu saja. Aneka pengalaman dan cerita tercurah lewat bait-bait puisi. Puisi juga mampu menjadi medium penyampaian gagasan ataupun ide-ide untuk meresapi pahit-manis realitas kehidupan.
Semesta puisi adalah semesta ingatan. Ada semacam kerja-kerja intelektual demi menyanggupi ingatan dan mengembalikan masa lalu. Penjelajahan di masa terdahulu dihidangkan sebagai sebuah penghargaan dan penghormatan. Pelbagai imajinasi coba dihadirkan kembali lewat sebuah puisi. Mengacu pada eksperimen dan pengalaman masa silam.
Demikian pula puisi-puisi yang terhimpun pada buku Plato Memotong-motong Keju (2019). Puisi-puisi dikarang oleh beberapa pegiat literasi di kota Solo. Seperti Ani Mardatila, Astuti Parengkuh, Bandung Mawardi, Brehita Wijaya, Fanny Chotimah, Liswindio Apendicaesar, M. Izzat Abidi, Nurina Susanti, Puitri Hati Ningsih, Riska Nur Laily Muallifa, dan Seruni Unie. Nama-nama tak asing sebagai pegiat literasi dari Solo. Kini berkolaborasi lalu menerbitkan (buku) puisi.
Tema-tema sosial, masa kecil, dan lingkungan disuguhkan kepada sidang pembaca dan penikmat puisi. Kisah-kisah di masa bocah mengajak pembaca bernostalgia. Puisi berjudul ”Rumah di kepalaku” karangan Brehita Wijaya memberi pancingan untuk kembali membuka memori imajinasi di kala bocah. Masa di mana pengembaraan imajinasi masih begitu kuat dan hebat.
Simaklah: ia datang padaku pagi ini/ berhenti bermain-main dengan tanda/ tidak semua orang paham/ juga ibu yang selalu menjewer telingaku/ jika aku menggambar rumah di dinding kamar. Kelakuan saat bocah menjadi abadi lewat puisi. jejak ingatan semasa kecil jadi bekal referensi dalam proses penciptaan puisi.
Laku bocah digerakkan oleh kuasa imajinasi. Alam pikiran bocah hanya mampu dimaknai oleh para bocah itu sendiri. Kekuatan khayalan sering kali harus berbenturan dengan teguran ataupun realitas dari orang dewasa. Puisi berlanjut, dinding kamar sudah membeku terlalu lama/ jangan kau ukir lagi/ ia akan runtuh/ sebelum kamu menyelesaikannya/ aku mematuhi apa yang dikatakan ibu/ sambil diam-diam menggambar rumah di kepalaku. (hlm.29).
Kebiasaan corat-coret dinding rumah sewaktu kecil mampu mengakar hingga dewasa, lalu mengarah ke perbuatan semacam vandalisme. Perbuatan berbumbu seni semestinya berada pada tempat yang layak dan tak mengganggu pemandangan umum. Puisi memberi jawaban sekaligus ajakan untuk introspeksi bahwa masih ada jalan lain dalam mengaktualisasikan imajinasi. Laku budi pekerti terselip dalam bait puisi.
Latar belakang puisi tak melulu soal romantisme. Di sisi lain, puisi juga mampu menyeret para pembaca untuk merenung. Melakoni permenungan demi sebuah solusi konkrit ataupun pemikiran baru yang revolusioner. Puisi memang begitu dekat dengan cinta sebagaimana lazimnya, namun puisi juga bisa mewakili perasaan, persoalan, hingga khalayak umum. Bicara isu-isu yang meresahkan publik misalnya.
Di puisi berjudul ”Laut Kami” garapan M. Izzat Abidi, pembaca diajak melihat realita yang terjadi di samudra Indonesia. Laut kami tertanam terumbu karang/ menjadi rumah bagi beragam ikan dan hewan laut lainnya/ bisa menghibur hati kami/ laut kami begitu indah Kau ciptakan/ hingga ada yang mudah bersyukur/ Ada pula yang berpikir tamak/ Ingin menguasai seluruh laut dan merusak. Puisi mengawali pembaca untuk kagum dan bersyukur, namun berlalu dengan perasaan miris.
Jagat maritim Indonesia memang kaya raya. Sumber Daya Alam (SDA) begitu melimpah-ruah. Laut itu ladang bisnis yang menjajikan. Namun ironisnya, laut selalu menjadi korban rayahan para mafia. Potensi dan kekayaan alam laut dikeruk demi kepentingan pragmatis. Orang-orang tak peduli pada alam samudra. Sekalipun peduli malah mencuri kesempatan demi meraup keuntungan pribadi ataupun kelompok.
Puisi M. Izzat Abidi kiranya berpihak pada alam. Suara liris dari laut diusung jadi dukungan keberpihakan puisi, bukan pada orang-orang yang serakah memerlakukan laut. Pada akhir puisi, M. Izzat Abidi menutup dengan memberikan penegasan berupa satu baris kalimat bertanda seru. Tanda pentung menandaskan bahwa puisi bernada gelisah dan amarah. Kamu tak hanya akan memancing ikan di laut kami!. Puisi menarasikan kesedihan yang menimpa laut. Khalayak diajak merenungi nasib laut di Indonesia supaya turut serta menjaga ekosistem laut.
Tak hanya berhenti di situ. Di puisi berjudul “Kadal dan Batang Pisang”, kita juga akan melihat keresahan yang kembali diangkat menjadi puisi. Puisi digarap oleh Rizka Nur Laily Muallifa. Mari kita simak, tapi kita rupa-rupa asap kendaraan yang pekat/ membumbung ke udara/ di sana, Tuhan tak sengaja cedera. (hlm.75) Anugerah dan karunia Tuhan menjelma keindahan dunia. Tapi manusia malah keterlaluan mengeksplorasi alam. Suara rintihan alam jadi tambah lantang dalam bait puisi. Puisi Rizka seolah berbisik lirih untuk tak lagi boros menghasilkan gas emisi, baik lewat asap transportasi, Air Conditioner (AC), atau yang sering disebut efek rumah kaca.
Puisi jadi jalan mengabarkan keadaan-keadaan genting. Bunga rampai puisi ini pun kentara menyuarakan kritik, ingatan, sindiran, dan isu-isu publik bertolak dari hal-hal kecil. Mengajak pembaca untuk kembali merawat (alam) Indonesia.