Popularitas Abdullah Gymnastiar atau yang biasa dipanggil Aa Gym mengalami pasang surut, jatuh bangun. Sempat berjaya sebagai penceramah kondang pada awal tahun 2000. Lalu anjlok, turun ke dasar popularitas, setelah ia memutuskan poligami pada tahun 2006. Menduakan Teh Ninih Muthmainnah sebagai istri pertamanya, dan menikah lagi dengan Rini Eridani.
Sebagaimana diketahui publik secara luas, Aa Gym telah menarik hati orang-orang Indonesia. Ia menyampaikan pesan-pesan keislaman tentang manajemen qolbu (MQ) melalui buku, ceramah yang disiarkan berbagai stasiun televisi, dan seminar.
James B. Hoesterey (2008) mengilustrasikan puncak popularitas Aa Gym bersamaan dengan kejayaan bisnis perusahaanya. “Lebih dari sekadar penceramah, Aa Gym telah menjadi guru self-help (bagaimana menolong diri sendiri). MQ telah menjadi ramuan kebajikan Islam. Hingga 2002, jutaan orang Indonesia menyaksikan acara-acara televisinya. Ratusan ribu orang mengunjungi pesantrennya. Para politisi berbaris untuk berfoto dengannya di masa kampanye. Perusahaan multi level marketing-nya, MQ Barokah, menjual soda Qolbu, mie Qolbu, dan shampoo Qolbu. Aa Gym telah sukses mengubah dirinya menjadi ikon kebajikan Islam. Surbannya menjadi merek dagang dan MQ menjadi brand nasional”, tulis James.
Aa Gym pada masa kejayaan popularitasnya telah menjelma sebagai idola semua lapisan masyarakat. Semua media, baik cetak, online, maupun elektronik berlomba paling update memberitakan apa saja tentang Aa Gym. Ia, merepresentasikan sebuah fenomena pendakwa televisi, yang dalam istilah Barat disebut “televangelist”.
James sependapat dengan Julia Day Howell (2008), yang menganggap istilah “televangelist” bermasalah untuk konteks tradisi Islam. Sebab, istilah ini mengandung gambaran dan asumsi pendakwah televisi Protestan Amerika tahun 1980-an. James kemudian mengajukan istilah lain, “tele-dai”. Untuk menempatkan tren ini dalam konteks Islam dan menghindarinya dilihat semata-mata perpanjangan dari fenomena Kristen.
Salah satu aspek menarik dari gaya berceramah Aa Gym adalah caranya menggunakan cerita-cerita hidupnya untuk menyediakan pelajaran moral. Otobiografinya, yang ia sebut sebagai qolbugrafi, memberikan petunjuk mengenai daya tarik kepribadiannya.
Dalam buku yang diberi judul Aa Gym, Apa Adanya: Sebuah Qolbugrafi (2003), Aa Gym mengisahkan perjalanan hidupnya yang menggetarkan. Tentang pengalaman-pengalaman spiritual dramatis yang telah menolongnya mendapat inspirasi dan legitimasi sebagai seorang dai. Peristiwa spiritual apa gerangan?
Rupanya, saat masih muda, Aa Gym mengaku pernah bermimpi ketemu Nabi Muhammad saw. Dalam mimpi itu, ia dicari-cari oleh Kanjeng Nabi, diminta bergabung dalam doa bersama sahabat-sahabat beliau: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Lalu, untuk menangani hasrat spiritual sesudah peristiwa ini, Aa Gym muda mencari seorang ulama agar memberi pandangan terhadap apa yang dialaminya.
Akhirnya, Aa Gym ditakdirkan bertemu dengan seorang ulama bernama KH. Khoer Affandi. Ulama sufi ini mengenali bahwa Aa Gym telah menerima hadiah yang disebut tanazul, sebuah pengalaman yang memang lazim dikenal dalam tradisi sufi sebagai seorang salik, pendaki rohani. Tanazul, artinya Tuhan membuka hati seseorang kepada ilmu yang langsung dari-Nya tanpa perlu waktu lama mempelajari; ada yang menyebutnya sebagai ilmu laduni atau ilmu khuduri atau ilmu asrar.
Pengalaman-pengalaman spiritual ajaib Aa Gym tersebut menghubungkannya dengan dunia sufi dan menjadi dasar yang kokoh sebagai seorang “tele-dai”. Aa Gym mengubah sejarah hidupnya menjadi kisah moral nasional. Dia, meminjam istilah James, sebagai tokoh protagonis, teladan moral, dan perwujudan kebajikan Islam.
Namun demikian, Aa Gym tidaklah bebas kritik. Ia justru, atas pengalaman sufistiknya itu, dihantam kritik keras oleh, misalnya, Al-Mukaff dalam buku berjudul Rapor Merah Aa Gym, MQ di Penjara Tasawuf (2003). Al-Mukaff menuduh Aa Gym telah mempromosikan tasawuf yang dilabelinya sebagai sesat, bid’ah, dan khurafat. Al-Mukaff bahkan dengan nada mencela, kalau MQ lebih pas disebut Majelis Qurafat. Inilah babak pertama saat Aa Gym dihajar oleh serangan yang meragukan otoritas keilmuannya.
Babak lain yang membuat popularitas Aa Gym redup tentu pada implemantasi jargon yang ia ciptakan, “Tidak ada kesuksesan tanpa keberanian”. Ya, keberanian yang dimaksudnya termasuk keputusan poligami.
Akhirnya, memang semua berubah. Sampai-sampai, James, berdasarkan penelitian hampir 2 tahun di pesantren Darut Tauhid (DT), menulis begini: “Merasa patah hati dan dikhianati, para pengikut perempuannya meninggalkannya. Perkawinan poligaminya menjadi skandal nasional. Acara-acara infotainment dan majalah gosip menyebarkan cerita tentang para mantan pengagum yang merobek foto-fotonya, memboikot acara televisinya, dan membatalkan kunjungan akhir pekan ke DT. Di bawah tekanan protes dari publik, Presiden SBY memerintahkan untuk memeriksa ulang Undang-Undang Perkawinan Nasional. Dalam semalam, Aa Gym menjadi titik lemah politik dan perusahaannya. Dia kehilangan kontrak-kontrak televisi yang ditangguhkan, kerjaan bisnisnya mulai runtuh, dan DT seolah menjadi kota hantu”.
Situasi ini membuat “harga diri” Aa Gym remuk redam. Sejak tahun 2006, Aa Gym jarang tampil di muka umum. Seolah fobia dengan media yang pernah menjadi corong popularitasnya. Ia enggan diwawancarai. Meski demikian, seiring waktu, setelah beberapa tahun, ia kembali bangkit, menyapa pendukungnya, baik langsung maupun tidak, via media sosial.
Tahun 2007, Aa Gym berbicara di rapat umum yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Kehadirannya, meski tidak menunjukkan sikap politik sebagai pendukung negara Islam, tapi menampilkan kesan, kalau ia sebenarnya memiliki otoritas keagamaan yang layak diperhitungkan.
Berikutnya, Aa Gym kembali bersuara. Ia memperoleh dukungan massa di tengah gejolak politik menyikapi kontroversi Ahok dan dukungannya kepada Anies Baswedan. Situasi ini terus berlanjut pada momen-momen tertentu, termasuk di masa pandemi covid-19. Aa terlihat aktif mengedukasi masyarakat, menyerukan jaga kebersihan, dan stay at home. Saat Ramadhan, ia sepertinya sudah mulai “diterima” lagi oleh stasiun televisi, ia pun menghiasi layar kaca lewat program kultum.
Ke depan, jika Aa Gym mampu mengelola simpati massa—terlepas kita setuju atau tidak dengan nasehat-nasehat manisnya—maka tidaklah mustahil ia akan kembali meraih kejayaan.