Bagi umat Islam, Ramadhan menjadi salah satu bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Pada bulan Ramadhan, Umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama 29 hari atau 30 hari lamanya. Di sisi lain ada pula amalan-amalan lain yang hanya dikerjakan pada bulan ini. Bahkan, Ramadhan menjadi bulan mulia karena Alquran diturunkan pada bulan ini. Akan tetapi, mungkin sedikit berbeda pada Ramadhan tahun ini. Tidak hanya muslim di Indonesia, melainkan bagi muslim di seluruh penjuru dunia. Biasanya, Ramadhan menjadi momentum untuk tadarus bersama, sholat tarawih berjamaah, hingga mengikuti pesantren kilat.

Ramadhan tahun ini, bersamaan pula dengan adanya Pandemi Covid-19, di mana pada akhir tahun lalu, mulai menyerang daerah Wuhan, China dan hingga kini, virus ini telah menyebar di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Dilansir dari Kompas.com (12/05/20), kasus Covid-19 di Indonesia sendiri mencapai 14.749 orang. Selain itu, di Indonesia sendiri merebaknya covid-19 ini, menyebabkan perekonomian di Indonesia mulau menurun. Bahkan beberapa perusahaan, memberhentikan karyawan. Akses transportasi pun dibatasi, terlebih lagi beberapa daerah yang menerapkan PSBB. Tentu ini menjadi hal berat. Belum lagi, dampak dalam hal lain. Seperti pendidikan yang menjadi tidak efektif karena keterbatas fasilitas. Serta bidang bidang lainnya.

Namun, sebenarnya meskipun Ramadhan kali ini bersamaan dengan adanya covid-19. Nilai nilai bulan Ramadhan tidaklah luntur. Yaitu, Ramadhan tetap sebagai momentum untuk memperkuat pembangunan ruang sosial terhadap sesama manusia. Karena, di tengah covid-19 ini, tentu banyak yang membutuhkan kepedulian antar sesama. Tidak hanya kepedulian secara materiil tetapi juga moril.

Berbicara mengenai puasa, ia menjadi kewajiban bagi umat Islam ketika Ramadhan, dengan tujuan agar menjadikan umat Islam sebagai orang yang bertaqwa agar terhindar dari keburukan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Sebab itu puasa tidak hanya sekedar menahan makan atau minum dari waktu imsak hingga maghrib, melainkan juga melatih kesabaran manusia, serta menahan hawa nafsu duniawi. Termasuk dalam hal ini ialah nafsu kita  mengelola harta benda, apalagi harta tersebut untuk tujuan memenuhi kebutuhan pangan.

Pada Surat Al-Baqoroh ayat 188 yang berbunyi, “Janganlah Kamu memakan harta kamu, antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Dalam Tafsir Al-Misbah ayat tersebut juga bisa bermakna bahwa janganlah sebagian kamu mengambil harta orang lain dan menguasainya tanpa hak, dan jangan pula menyerahkan urusan harta kepada hakim yang berwenang memutuskan perkara bukan untuk tujuan memperoleh hak kalian, tetapi untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa, dan dalam keadaan mengetahui bahwa kalian sebenarnya tidak berhak.

Selain itu, Quraish Shihab, dalam Tafsir Al Misbah tersebut menjelaskan bahwa harta seharusnya memiliki fungsi sosial. Pengembangan harta terjadi ketika terdapat interaksi antar manusia, dalam bentuk pertukaran dan bantu membantu. Dengan begitu, sebagian harta yang kita miliki, bisa dimiliki pula oleh orang lain melalui bentuk sedekah, zakat, dan lain sebaginya. Sebab itu, ayat ini mengingatkan kita di tengah pandemi seperti ini untuk saling berbagi, karena tidak mungkin kita mengetahui orang kelaparan lalu kita membiarkan. Tentunya, dengan membantu harta kita akan berkembang.

Lantas apakah mudah bagi manusia begitu saja, untuk mengamalkan ayat tersebut. Di mana sebagian masing-maisng dari manusia sama-sama merasa membutuhkan. Bagaimana tidak, ketika usaha mengalami kerugian, diberhentikan dari pekerjaan, maka orang-orang merasa saling merasa membutuhkan. Tentunya manusia membutuhkan kesadaran lebih untuk bisa membangun jiwa sosial di tengah pandemi seperti ini.

Membangun Ruang Sosial, di tengah pandemi nampaknya agak membuat pesimis. Seperti yang sudah penulis katakan sebelumnya bahwa masing-masing orang sekarang sedang “merasa” membutuhkan karena berbagai faktor. Manusia, yang sejatinya makhluk sosial tidak bisa menolak bahwa ia saling ketergantungan antar manusia satu dengan manusia yang lainnya. Apalagi sebagai umat beragama, misalnya saja sekarang Umat Islam yang sama-sama sedang memenuhi kewajibannya untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa, dikatakan memiliki solidaritas mekanik. Menurut Emile Durkheim, solidaritas mekanik merupakan rasa solidaritas yang didasarkan pada suatu kesadaran kolektif yang menunjuk pada totalitas kepercayaan yang ada pada masyarakat yang sama. Seperti halnya, umat Islam yang sedang berpuasa, karena ia memiliki tujuan yang sama, mereka beribadah bukan karena kebutuhan ekonomi, untuk mencari imbalan uang dan sejenisnya.

Sebab itu, untuk membangun ruang sosial di tengah pandemi seperti ini, masyarakat memerlukan suatu kesadaran kolektif agar dapat menciptakan perilaku-perilaku yang diinginkan bersama, misalnya perilaku saling berbagi, saling memberi kepada yang membutuhkan. Apalagi kita sama-sama sebagai umat Islam diajarkan untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan.

Jika melihat ajaran Islam sendiri, sebenarnya kita sebagai muslim sudah berada dalam wadah yang menggiring kita untuk memiliki kesadaran kolektif, di mana nilai-nilai yang dibangun sama yaitu Alquran dan hadis, serta tidak memandang suku, agama, ras, dan lain sebagainya. Lantas mengapa kita masih sulit untuk membangun ruang sosial di tengah pandemi seperti ini, bahkan kita rela menimbun makanan, hingga merebut hak orang, padahal kita sama-sama muslim sekaligus warga Indonesia? Mari kita pikirkan bersama.

 

 

v

Leave a Response