Kemerdekaan sejatinya tidak dibagikan. Tetapi lahir dari semangat perjuangan. Tentu ini melibatkan banyak pihak. Utamanya peran kyai dan santri yang sangat memiliki daya konstruksi keislaman yang kuat. Mereaktualisasikan nilai-nilai keislaman sebagai the powwer of revolutions, mengarah kepada semangat pembebasan hak hidup yang layak di tengah kejamnya penjajah pada saat itu. Dari sini kita paham betul bahwa realitas masa-lalu (Santri) memiliki peran penting bagi kemerdekaan kita.
Berbagai laskar perjuangan, seperti Hizbullah, Hizbul Wathan dan Sabilillah adalah organisasi santri militan yang ikut berperang melawan Belanda. Dan yang menjadi komandannya adalah para kyai, sebutlah Kyai Masykur, Kyai Wahab Hasbullah, atau Kyai Zaenul Arifin.
Dalam asuhan para kyai, laskar pejuang yang terdiri dari santri tersebut berulang kali mengalahkan dan menggagalkan rencana Belanda. Puncaknya, ketika terjadi agresi militer Belanda dua di Surabaya yang diboncengi tentara sekutu (Inggris), mereka melebur dengan masyarakat dan melakukan perang terbuka. Tentara Belanda dan Inggris banyak yang tewas, bahkan jendral Inggris (AWS Mallaby) pun ikut tewas. Dan perang inilah yang manjadi cikal bakal peringatan hari pahlawan pada 10 November.
Pemaknaan nilai-nilai Islam yang khas oleh para kyai, terlebih KH Hasyim Ay’ari, sangatlah tepat dengan sosial kultural bangsa Indonesia. Sebuah fatwa hubbul wathan minal iman (cinta negara sebagian dari iman) dari beliau, menjadi penyemangat dan jargon yang dibangga-banggakan oleh para santri dalam menjaga kedaulatan negara.
Secara tak langsung, makna jargon tersebut menjadikan negara sebagai tameng dan pelindung bangsa Indonesia dalam menjalankan ajaran agama. Maksudnya, dengan memperoleh kemerdekaan, maka umat beragama di Indonesia bisa leluasa mengamalkan ajaran agamanya.
Dan itulah spirit yang terkandung dalam nilai sila pertama. Bagaimana para kyai dan santri yang kala itu mempunyai andil besar dalam kemerdekaan Indonesia, tetap mengalah dan menerima bunyi sila pertama dengan menghilangkan kata ‘Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam artian bahwa sila pertama yang telah final itu bisa diterima oleh semua kalangan agama, bukan hanya Islam.
Santri adalah budaya asli bangsa Indonesia. Tiada ditemukan santri dan pondok pesantren di negara lain. Model pembelajaran yang mengajarkan nilai-nilai agama dan keluhuran bangsa menjadi ciri khasnya. Maka, tak heran jika mereka sangat tegas menolak jika ada propaganda yang ingin menghancurkan kedaulatan negara seperti yang dilakukan PKI atau HTI.
Di era sekarang, santri harus mengejar keterlambatan dalam bidang teknologi. Dulu Islam punya banyak ulama seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang keilmuannya mendunia. Kemudian hari, Barat-lah yang menggantikannya. Dan inilah tantangannya, bagaimana agar umat Islam berjaya kembali. Bisa dibayangkan, ada ahli fisika yang paham fiqh, ada ahli robot yang hafal al-Qur’an, maka Islam tidak akan mudah diremehkan dan ditaklukan.
Santri zaman ini, perlulah mencontoh Gus Dur, Prof. Azyumardi Azra, Gus Nadhir, Gus Ulil, atau Buya Syafi’i Ma’arif. Beliau semua adalah santri, tapi mampu keluar dari zona nyaman dan mengarungi samudera ilmu di berbagai benua. Tak hanya ajaran Islam, mereka juga menguasai ilmu umum sehingga bisa menggabungkan antara Islam, ilmu pengetahuan, dan juga nilai luhur bangsa. Inilah komposisi yang sangat ideal bagi seorang santri.
Pendidikan yang berbasis asrama, mendidik santri agar bisa kerja sama dengan orang lain, saling tolong menolong, dan melatih kejujuran. Saya kira, hal itu adalah sesuatu yang sangat urgen bagi para pencari ilmu. Ilmu akan manfaat, bila dilengkapi akhlak-akhak terpuji seperti di atas.
Di tengah arus globalisasi yang cenderung kuat dan cepat ini, membuat anak muda zaman sekarang terlalu berbudaya kebarat-baratan. Lalu, dimanakah letak jati diri bangsa jika generasi penerusnya malah meniru budaya bangsa lain? Santri adalah penjaga jati diri bangsa. Seperti sopan santun, tata krama, ataupun cara bergaul diajarkan kepada santri yang tetap berkiblat pada nilai luhur bangsa.
Dan yang lebih penting, di era digital yang serba canggih ini, santri harus turut aktif. Kuasai-kuasai media sosial. Jangan biarkan media sosial hanya diisi oleh para penebar hoaks dan pemecah bangsa, santri harus turut aktif membuat konten yang mengedukasi masyarakat agar mereka tidak termakan hoaks dan saling pecah belah.
Direktorat Pondok Pesantren Kementrian Agama mengatakan bahwa saat ini kurang lebih ada 3.962.700 santri di seluruh Indonesia. Dengan jumlah yang begitu besar, Kementrian Agama misalnya juga telah menyiapkan beasiswa bagi mereka yang berprestasi sejak 2005, yang sebagian besar diarahkan untuk pendidikan ilmu pengetahuan umum. Dengan itu, santri bisa mengejar ketertinggalan ilmu-ilmu pengetahuan.
Walau kiranya setinggi apa pun pendidikan santri, seberapa banyak harta yang dimiliki, hingga setinggi apa pun jabatannya, mereka haruslah tetap tunduk pada kyai dan orang berilmu. Tiada berguna ilmu yang banyak, harta melimpah, atau jabatan tinggi jika tidak memiliki akhlak. Islam turun ke dunia tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Pada akhirnya, merekalah para santri yang akan mengangkat dan melanjutkan obor kemajuan Islam yang rahmatal lil ‘alamin untuk kebaikan dan ketentraman Indonesia dan dunia pada umumnya.