Refleksi Hari Santri – Dalam belantika sejarah Nusantara, pondok pesantren selalu mendapat tempat tersediri dalam diskursusnya. Tak heran apabila banyak versi yang menyebutkan awal mula pondok pesantren lahir di Indonesia.
Versi pertama menyatakan pesantren lahir dari Sunan Ampel yang medirikan padepokan di sekitar kediamanya. Dari padepokan itu Sunan Ampel memiliki banyak santri yang mempelajari ilmu Agama Islam.
Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, Kaliber Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Raden Patah (Raja Pertama Kesultanan Demak), Sunan Gunungjati. Sisa sejarah Sunan Ampel ini sampai sekarang masih bisa ditemukan di sekitar Komplek Masjid Ampel Denta sana.
Versi kedua, menyatakan pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini bermula dari pengambil alihan sistem pesantren yang sudah dahulu diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berangkat dari sebuah fakta jauh sebelum islam datang ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini sebagai tempat mengajarkan agama hindu dan tempat pembinaan kader.
Hal ini diperkuat juga dengan pendapat C. C Berg bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.
Dari dua versi di atas, sangat disayangkan masyarakat awam lebih mempercayai versi kedua. Faktornya adalah buku-buku pelajaran sekolah banyak menuliskan asal mula pondok pesantren itu dari versi kedua di atas, sedangkan versi kedua yang menyatakan pondok pesantren itu peninggalan Hindu penulisnya sendiri dari sejarawan Belanda, bukan sejarawan dalam negeri.
Maka, masyarakat awam yang berpegang teguh “onone kui, yo percoyo kui” (adanya itu ya percaya itu) enggan cross check dengan menelaah sumber-sumber sejarah yang lain. Buku materi yang dipelajari sedari Sekolah Dasar sudah kadung menancap di dalam dada masyarakat awam bahwa awal mula pesantren berasal dari sistem Hindu.
Ada beberapa landasan mengapa sejarawan Belanda itu menuliskan pesantren awal mulanya dari Hindu dan mengesampingkan versi nomor pertama. Hal ini karena sebagai upaya mereka untuk mengucilkan eksistensi Islam zaman dulu.
Di samping juga agar masyarakat tidak sadar akan kebesaran Islam yang memiliki peran sejarah dalam peradaban negara. Dan dengan sendirinya masyarakat sadar, Islam tidak memiliki apa-apa.
Jika kita mau menelaah sejarah, sistem pesantren itu malah asli dari Islam itu sendiri. Dalam refleksi Hari Santri ini, ada beberapa landasan penguat mengapa pondok pesantren di Indonesia bukan dari Hindu melainkan dari peradaban Islam.
Pertama, pada era Rasulullah Saw. masih hidup, para sahabat yang mengaji pada beliau tidak hanya dari tetangga sekitar saja, namun dari berbagai kabilah yang berada di Madinah. Tentu jaraknya sangat jauh dari kediaman Rasulullah. Maka dari itu sahabat-sahabat yang datang dari jauh tadi diberi sebuah penginapan.
KH Maimoen dalam buku Sejarah Pesantren Lirboyo menyatakan, sahabat yang jauh dari rumah Nabi Saw. dan belajar kepada beliau tadi disebut Ashabus Shufah. Makna Shufah sendiri berarti sebuah emperan yang dibuat sebagai tempat hunian para santri Nabi Saw. dari Madinah.
Shufah ini menempel dengan kediaman Sayyidah Aisyah. Mbah Moen lebih lanjut menyebut yang menjadi ‘pengasuh pondok’ tak lain adalah Nabi Saw. Sendiri, sedangkan yang menjadi Ibu Nyai adalah Sayyidah Aisyah.
Hal demikian sangat mirip dengan sejarah keberadan pondok pesantren di Nusantara. Kita tahu, bahwa santri-santri datang dari berbagai penjuru negeri, kemudian shuffah tadi berupa gubug-gubug dari anyaman bambu yang letaknya tak jauh dari kediaman kiai.
Bisa diartikan pondok pesantren pertama dalam sejarah Islam adalah pondoknya Nabi Muhammad Saw. itu sendiri. Sedangkan Sunan Ampel dan kiai-kiai pendiri pesantren masa kini meniru sistem Nabi, bukan meniru Hindu.
Kedua, tentu kita tidak asing dengan nama Raden Kian Santang yang sering ditampilkan di layar televisi. Ia adalah putra Prabu Siliwangi Raja Agung tataran Passundan. Raden Kian Santang digambarkan sebagai Pangeran yang gigih menyebarkan agama Islam.
Penggambaran itu sangat wajar sekali, karena dalam buku Atlas Wali Songo Kiai Agus Sunyoto memaparkan bahwa Ibunda Raden Kian Santang yaitu Nyi Subang Larang adalah salah satu santri dari Syekh Hasanudin Quro Karawang, sang penyebar agama Islam tertua di Jawa Barat.
Nah, Syekh Hasanuddin atau akrab dengan panggilan Syekh Quro ini dulu sempat mendirikan sebuah pesantren di Tanjung Pura termasuk wilayah Karawang pada tahun 1418 M. Sebelum pada akhirya Pesantren itu diberhentikan dan beliau diusir ke Malaka oleh Raja Padjadjara kala itu, yaitu Prabu Anggalarang.
Selama di Malaka, Ibunda Kian Santang ikut dan nyantri kepada Syekh Quro. Setelah itu guru dan murid ini kembali lagi ke Padjajaran, Prabu Siliwangi terpesona dengan keindahan suara bacaan Al-Qur’an Nyi Subanglarang.
Kemudian ia dipersunting oleh Prabu Siliwangi dan lahirlah penerus hebat kaliber Raden Walang Sungsang, Putri Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kisah kehebatan ketiganya ini berlalulalang di Televisi. Jika diturut lagi ke bawah, keturunan Putri Rara Santang sampai ke Sunan Gunung Jati Cirebon.
Dari sini jelas, Syekh Quro telah berhasil melanjutkan titah dakwahnya, melalui keturunan santrinya yang bernama Subang Larang ini. Kemudian pesantren yang pernah ditolak Radja Padjajaran bertumbuh pesat melahirkan pesantren-pesantren besar di Jawa Barat. Sebutlah Pesantren Buntet, Kempek, Babakan, Gedongan, dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, jelas sekali pondok pesantren ini bukanlah meniru Hindu, tetapi meneruskan titah sang pendahulu.
Ketiga, versi kedua sebagaimana penjelasan di atas menyebutkan kalau pesantren itu meniru Hindu. Hal itu ditolak oleh Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah tidak setuju jika sistem pendidikan pesantren itu meniru Hindu.
Alasannya karena dalam kenyataanya di Bali yang notabene daerah mayoritas Hindu tidak terdapat pesantren model Hindu. Lebih lanjut Mansur Suryanegara mengarahkan kalau pesantren di Indonesia dewasa ini merupakan pengaruh dari kejayaan Islam pada masa Imperium Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah dahulu.
Tiga alasan di atas setidaknya sudah menjadi bukti kuat bahwa pesantren otentik dari Islam itu sendiri, bukan dari Hindu. Oleh karenanya, dalam momentum refleksi Hari Santri ini, masyarakat awam harus sadar dengan fakta-fakta ini supaya tidak terbelenggu dengan distorsi (penyelewengan) sejarah yang dilakukan bangsa kolonial. Karena kolonial paham, salah satu cara untuk merusak bangsa adalah dengan merusak kesadaran sejarah para penerus pemuda bangsa ini.
Ketika generasi penerus sadar dengan sejarah kebesaran Nusantara, maka akan memiliki rasa cinta tanah air dan kebanggaan kepada negeri sendiri. Sehingga bukan terus-terusan mengiblat degan budaya Barat yang kurang mengedepankan akhlak.
Selain itu, fakta ini menunjukan bahwa pondok pesantren itu adalah local wisdom NKRI yang patut dibanggakan dan dilestarikan. Demikian refleksi Hari Santri tentang renungan pesantren sebagai warisan peradaban Islam. Selamat Hari Santri… Bangga menjadi santri, dari santri untuk negeri.