Pada akhir Juni lalu, saya mengikuti salah satu acara bedah buku yang ditayangkan secara langsung di Youtube, bersamaan dengan ini peserta lain juga bisa mengakses diskusi melalui kanal Zoom.
Ada yang menarik dan patut kita refleksikan terkait buku yang dikarang oleh orangtua kita ini (Pdt. Dr. Albertus Patty). Saya mengenal beliau sebagai orang yang ramah dan humoris.
Beberapa tahun silam sebelum pandemi, saya dan kawan-kawan dari Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) berkesempatan menghadiri kebaktian Natal di salah satu gereja di Kota Bandung. Suatu kehormatan bagi kami karena diundang langsung oleh Pak Berty.
Saya terasa betul perayaan Natal sama seperti saat kita berlebaran: hangat dan penuh sukacita. Menghadirkan Wawan Gunawan dan Pdt. Santy Manurung selaku pembedah, diskusi berlangsung dengan penuh kegembiraan.
Dalam acara Bedah Buku tersebut, Pak Berty, sapaan akrabnya, mengaku bahwa buku ini ia tulis sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sesama, terkhusus saat negeri ini dilanda wabah.
Ia mengajak siapapun untuk kembali kepada Allah, kepada sang pencipta dengan cara-cara yang asik. Mendekati Tuhan sejainya tidak harus selalu dengan tangis penuh penyesalan tetapi dengan penuh kedekatan dan keakraban.
Saking akrabnya Tuhan sampai diajak “ngopi”. Buku yang ditulis Pak Berty ini memang merangkum banyak narasi dan perspektif dari berbagai agama. Menarik ya teman-teman.
Mengundang Pdt Santy Manurung dari GKI Merpati Emas dan Wawan Gunawan, diskusi terasa semakin hangat dan penuh dengan kerianggembiraan. Pdt Santy mengomentari bahwa buku ini kental akan Stoicisme, salah satu pandangan filsafat yang berfokus pada pengendalian diri, kedamaian dan hidup selaras dengan alam.
Ajarannya yang paling populer adalah sikap mengontrol diri dari emosi negatif. Atau singkatnya hidup dengan emosi negatif yang terpelihara, bebas dari nafsu, dari ketakutan dan dari segala amarah.
Baginya, Pak Berty telah berhasil menarasikan pandangan keagamaan yang santai, namun tetap tidak melupakan esensi. Buku ini mengajarkan kita untuk terus berusaha tapi tidak sambil memaksakan kehendak.
Beruntunglah saya yang pada saat mengikuti acara ini baru selesai membaca buku Filosofi Teras, salah satu buku yang menjadi gerbang perjumpaan saya dengan Stoicisme.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Wawan Gunawan pun memberi komentar. Kali ini ia me-review lebih detail karena menyajikan diskusi sambil menandai hal-hal menarik dalam setiap halaman buku.
Pada awal diskui, ia buka dengan kalimat, “Semoga pada pertemuan ini kita tidak hanya menjadi Kronos melainkan Kairos”. Kalimat ini ia kutip dari kalimat pembuka yang Pak Berty Tulis.
Pendek kata, Kronos adalah waktu terjadi hari apa kita bertemu. Sedangkan Kairos adalah momentum sangat bahagia dalam setiap peristiwa artinya pertemuan berkualitas yang terasa dekat dan mendalam.
Selanjutnya, pria yang akrab disapa kang Wawan ini menambahkan ada dua cara mendekati Tuhan salah satunya dengan melihat Tuhan dari dimensi Jalaliyah (kemahakuasaan). Nah, pandangan ini kalau dalam Islam, muncul dalam teks-teks hukum atau yang seringkali diutarakan para filsuf.
Dalam hal ini berarti muncul dari pandangan yang dilahirkan oleh para ulama fikih. Pandangan ini kemudian melihat bahwa Tuhan begitu Agung begitu kuasa begitu Perkasa hingga melihat bahwa Tuhan sangat Maha Besar kita begitu kecil di alam semesta ini. Sehingga Tuhan kerap kali dianggap jauh saking bedanya kita sama Dia.
Sementara cara lain yang bisa ditempuh untuk bisa dekat dengan Tuhan adalah memandangnya dari dimensi Jamaliyah (keindahan). Pandangan ini melihat Tuhan dari segi kelembutan, kasih sayang, pengasuhan, pengampunan.
Saking dekatnya Tuhan kemudian dipandang sebagai Dzat yang dekat, mudah diakrabi, dijadikan teman, dan diajak curhat. Dalam hal ini Pak Berty justu malah sambil diajak ngopi.
Pandangan ini dipraktekkan oleh para sufi di mana melihat Tuhan sebagai bagian yang amat dekat dan tak bisa dipisahkan dalam kehidupan kita. Konsep ini sama seperti yang diajarkan Rumi bahwa “Tuhan adalah kekasih sejati”.
Selain buku Filosofi Teras, pada bagian ini saya kembali dibuat ingat dengan salah satu buku berjudul The Tao of Islam yang dikarang Sachiko Murata.
Pada momen tersebut, Kang Wawan kemudian menerangkan tentang dua hal yang selalu orang lakukan ketika menjalani kehidupan, yakni dengan cara yang optimis dan pesimis.
Orang bisa begitu sangat yakin berambisi dan ragu dengan kepasrahan dan keputusasaan. Oleh karenanya, buku ini mengajarkan kita untuk senantiasa realistis memandang segala sesuatu bisa kita dapatkan selama usaha terus dijalankan.
Artinya, kita berharap dengan kesadaran dan terukur apa yang telah dikerjakan tidak serta mengharap tapi tidak melakukan apa-apa.
Hal menarik yang saya tandai ada di halaman 59, di sini Pak Berty menuliskan bahwa agama lahir untuk pembebasan. Sama seperti pandangan ulama moderat bahwa agama lahir untuk dijadikan inspirasi bukan sebagai aspirasi.
Dalam agama, selain harus bersandar pada Tuhan, ia juga berbanding lurus dengan kemanusiaan, karena selain harus baik hubungan dengan Tuhan orang beragama meyakini bahwa memberi kebaikan pada sesama adalah sebuah keharusan”. Begitulah beliau menutup diskusi dengan kalimat pamungkasnya.