Muhammadiyah hadir di Kabupaten Bireuen, termasuk Desa Sangso sudah sejak 1930-an. Keberadaan Muhammadiyah secara nyata terlihat sejak 1950-an, ketika masyarakat Muhammadiyah mendirikan sebuah masjid tanpa lebel Muhammadiyah yang sekarang menjadi masjid Jamik Samalanga.
Di masjid Jamik Samalanga, telah berdiri TK Aisyiah sejak 1980-an, sebagai tanda masjid itu diurus orang- orang Muhammadiyah. Tidak jauh dari lokasi masjid Jamik terdapat SMP dan SMA Muhammadiyah Samalanga juga dikendalikan dari masjid Jamik. Paska konflik Aceh 2000- an, ketika imam dari Muhammadiyah meninggal, orang- orang yang
belakangan disebut Aswaja terpilih sebagai Imam masjid, tetapi kemudian menyingkirkan semua aktivis Muhammadiyah dari kepengurusan masjid Jamik.
Tata cara peribadatan di masjid-pun diubah menjadi seperti kebiasaan orang-orang Aswaja (NU kultural). Orang-orang Muhammadiyah awalnya mengikuti saja demi kebaikan. Tetapi khutbahnya mulai sering menyerang dalam bentuk narasi sindiran terhadap ajaran Muhammadiyah. Orang-orang Muhammadiyah lama-lama tidak tahan dengan perlakuan seperti
ini. Mereka mulai menyebar pindah ke masjid desa tetangga yang dikelola oleh orang-orang Muhammadiyah yang lokasinya lebih jauh ketika shalat Jum’at.
Studi Puslitbang Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini menyoroti faktor penyebab terjadi konflik pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah Sangso Kecamatan Samalanga; dan upaya yang dilakukan masing-masing pihak maupun Pemda Bireuen. Kajian ini sangat berguna bagi masyarakat, khususnya Pemkab Bireun maupun lainnya, ataupun lembaga yang terkait guna menentukan kebijakan yang tepat menghadapi kemungkinan aktualisasi konflik.
Metode Penelitian
Metodenya kualitatif dengan pendekatan fenomenologis naturalistik. Pemilihan pendekatan atas pertimbangan menggambarkan sebab musabab terjadinya konflik pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah Sangso. Berdasarkan proyeksi BPS 2017 Kabupaten Bireuen berpenduduk 453.224 jiwa terdiri 221.798 jiwa laki-laki dan 231.426 jiwa perempuan.
Agama Islam mayoritas di 17 kecamatan, dengan penganut 434.366 jiwa (95,84%) keseluruhan penduduk Kab. Bireuen. Buddha terbesar kedua, penganut 554 jiwa (0,12%) memiliki populasi signifikan di kota Juang dan Peusangan. Kristen terbesar ketiga, penganut 322 jiwa (0,07%) persentase tertinggi di Kota Juang dan Juli. Hindu pendatang dari Bali, penganut 35 (0,01%) sebagian besar bermukim di Kota Juang. Katolik dianut 23 jiwa (0,01%) sebagian besar bermukim di
Kota Juang, Juli, dan Peudada.
Temuan Lapangan
Pengaturan pendirian rumah ibadat, pemerintah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri no. 9 dan 8 tahun 2006. Aturan kekhususan internal muslim diatur dalam Qanun Aceh no 4 tahun 2016, tanggal 28 Juli 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah, salah satu isinya meniadakan syarat-rekomendasi pendirian masjid di seluruh Aceh dan memberlakukan syarat tersebut untuk rumah ibadah selain masjid.
Ada yang menyebut pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah di Sangso untuk melawan/menyaingi masjid jami’/masjid raya Samalanga yang ada di desa Keude Aceh. Padahal niat membangun masjid dimusyawarahkan bersama pihak Muhammadiyah setelah peristiwa perebutan masjid raya Banda Aceh pada April 2015 oleh kalangan Taliban alumni dan santri mudi mesra samalanga.
Beberapa waktu lalu sekumpulan orang melakukan aksi demonstrasi damai di Kantor Camat Samalanga. Kedatangan mereka dalam rangka menolak pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah. Aksi “pengadangan” berlanjut diletakkan batu berukuran besar di jalan menuju area Masjid Taqwa Muhammadiyah di Sangso, guna menghalangi akses material ke lokasi masjid.
Ketua Muhammadiyah Bireuen mengaku pemerintah dan aparat penegak hukum tidak tegas menyikapi aksi tersebut. Menyesalkan sikap penegak hukum terkesan “membiarkan” para oknum pelaku yang “mengganggu” pembangunan masjid tanpa ada upaya penegakkan hukum. Pemkab tidak berupaya menyelesaikan konflik sosial ini, padahal Muhammadiyah sudah mendapatkan IMB No. 63 Tahun 2017, justru meminta pembangunan ditunda.
Faktor Penyebab Terjadi Konflik
Alasan Abu Mudi (Hasanoeh Bashry), Waled NU (Nuruzzahri) penolakan pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah: Pertama, menimbulkan perpecahan karena masjid kelompok; Kedua, melanggar wilayah kemasjidan (taslim) dekat dengan masjid jami’/masjid raya Samalanga. Dalam prinsip mereka kearifan lokal di Aceh umumnya masjid kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan kelompok.
Upaya yang Dilakukan
Abu Mudi Hasanoeh Bashry dan Waled NU Nuruzzahri tokoh agama yang sangat berpengaruh dan dihormati, masing-masing memiliki dayah (pesantren) yang besar mengeluarkan statement; Menghimbau pihak panitia pembangunan masjid di Sangso tidak melanjutkan dan diharapkan masyarakat menahan diri sampai adanya penyelesaian pihak pemerintah; Menghimbau kepada Pemkab Bireuen segera menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga tidak berlarut- larut; Pihak merasa keberatan dipersilahkan menempuh jalur hukum.
Respons pihak Muhammadiyah menganalisis alasan pertama, lebih dibuat buat dan bersifat asumtif. Warga Muhammadiyah bukanlah pendatang, selama ini berinteraksi dengan baik secara keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Kedua, alasan melanggar wilayah kemasjidan.
Jarak masjid jami’/masjid raya Samalanga dengan masjid Taqwa Muhammadiyah di desa Sangso kurang lebih 1 km. Ada masjid di desa kandang masuk wilayah kemasjidan jaraknya kurang lebih 1km tapi tidak tidak dipersoalkan.
Perkembangan tindak lanjut serta situasi terakhir polemik pembangunan masjid ini selalu terekam dan terdokumentasikan oleh pihak Kasat Intel Polres Bireuen baik melalui; Rapat terbatas, kesepakatan bersama, musyawarah Forkopimda, rapat lanjutan tomas, toda dan toga, rapat pertemuan penyelesaian masalah, surat panitia pembangunan masjid, rapat mediasi terkait penolakan, melakukan monitoring/ pemantauan, Bupati Bireuen meminta pertimbangan MPU, saran MPU Kab. Bireuen, dan lain sebagainya.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Kompas