Judul Buku : Menjadi Manusia Rohani
Penulis : Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : Alifbook & el-Bukhori Institute
Cetakan : 1, Januari 2019
Tebal : 292 halaman
ISBN : 978-602-53634-2-9
Kita harus mengikuti laju zaman yang ramai. Zaman yang menghilangkan waktu-waktu untuk merenung dan diam. Tetapi, kita tak bisa menghindar dari keramaian, justru kita dipaksa menunaikan segala urusan dalam keramaian, terutama untuk mengingat Tuhan.
Itulah yang di ajarkan Ibnu Atha’illah dalam kitab al-Hikam yang di syarahi Ulil Absar Abdallah, menjadi buku Menjadi Manusia Rohani (2019). Melakukan meditasi di keramaian lantas memberikan nilai besar. Karena ia harus melewati ujian yang berat, yaitu macam godaan dunia yang menakjubkan.
Godaan untuk bersikap curang, korupsi, lalai, atau gangguan “agyaar” (sesuatu yang bisa mengganggu pikiran dan rohani seseorang) lupa terhadap kehidupan spritualnya kepada sumber segala hakikat, Tuhan.
Kita kadang benar-benar lupa karena terjepit kehidupan. Hingga akhirnya menunda karena tak menemukan cara menyiasati agar tetap mengingat Tuhan di banyak urusan. Lantas Ulil menuliskan, “Sebaiknya kita tak perlu menunggu situasi untuk tenang terlebih dahulu untuk mengingat Sumber Kehidupan. Sebab, sikap “menunda” semacam itu justru membuat kita lengah.
Justru dalam keadaan sibuk dengan hal-hal yang sifatnya duniawi kita harus tetap ingat akan Dia, tetap waspada terhadap hakikat hidup, tetap berjaga-jaga supaya tak terjatuh dan terpeleset. Mengingat Tuhan dalam keadaan tak sibuk bukanlah hal istimewa.
Tetapi mengingat Tuhan pada saat kita tenggelam dalam keadaan duniawi, itulah keistimewaan yang patut dipujikan… Sikap muraaqabah, selalu berjaga-jaga, waspada, mengingat esensi kehidupan justru dibutuhkan pada saat seseorang tenggelam dalam kehidupan yang sarat/penuh dengan “agyaar” di keramaian.”
Ulil, bahkan menyebut kenaikan maqam spiritual adalah bertandanya seseorang tetap eling lan waspada kepada Tuhan, di saat momem-momen ketika kita rentan untuk lengah karena sibuk dengan senjakala godaan kehidupan dunia: dunia fisik.
Ia menulis, “Hidup bersama agyaar di dunia ini adalah ujian bagi seorang salik, pelaku perjalan spiritual. Jika dia sungguh-sungguh bisa melakukan muraaqabah, menjaga dirinya untut tak lengah, dunia fisik itu justru menjadi sarana peningkatan maqam spiritual dia… Sikap sufistik, sikap terus awas dan ingat yang Hakiki, justru dibutuhkan dalam keadaan kita hidup di tengah orang ramai.”
Kini, keramaian tak lagi sekadar galamur di dunia nyata, tetapi bertambah melalui jelmaan dunia maya. Dunia yang bukan lagi ditentukan oleh data yang obyektif, tetapi oleh keyakinan. Dunia yang membuat orang bingung, rabun, terombang-ambing oleh ribuan berita tak jelas, yang menghilangkan akal sehat dan kebenaran.
Situasi yang disebut Tom Nichols sebagai zaman matinya kepakaran. Fakta yang jelas-jelas nirkebanaran diterima dan bagikan sebagai kebeneran karena keyakinan. Keadaan itu relevan dengan renungan Ibnu ‘Athailla.
Syarah Ulil, “Mencari kejelasan di tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan sorang sufi yang mencari kebenaran di tengah-tengah realitas yang maya yang sering berubah-ubah… Seseorang, jika masih dalam keadaan terhijab, terhalang, sehingga tak bisa melihat dan menjumpai Tuhan, dia mempunyai sangkaan dan asumsi bahwa wujud dirinya sebagai makhluk/manusia adalah wujud yang dlaruuriy, wujud yang niscaya, wujud yang riil dan nyata…
Tetapi jika seseorang hamba pelan-pelan dan secara konsiten melakukan perjalan dan meningkatkan maqamnya lebih tinggi, yaitu maqam memahami kebenaran ketuhanan, dan lebur di dalamnya, dia akan mengalami situasi spritual dan eksistensial yang sama sekali berbeda. Dia akan menganggap bahwa yang konseptual dan teoritis adalah wujudnya sendiri. Sementara yang ada secara dlaruuriy, secara sungguh-sungguh, adalah Tuhan… Tuhan adalah kekuatan yang membuat segala sesuatu bisa tampak ke permukaan”.
Kita sadar, ajaran rohani bermisi menanggulangi pesimisme dan kerapuhan batin di zaman ramai. Sebab, rohani ejawantah kebatinan yang memberi suluh dalam melakoni hidup dengan ajaran olah rasa, sabar, mawas diri, yang mengandung refleksi berkaitan dengan tubuh, waktu, ruang, alam, benda, dan peristiwa.
Rohani situasi batin yang terjelmakan dalam ketubuhan. Ia dapat menenangkan, membersihkan, dan membeningkan. Rohani itu ejawantah kebeneran yang berkaitan dengan sifat keilahian.
Tugas rohanian adalah menepis informasi tak jelas, sehingga bisa mengatahui duduk masalah yang sebenar-benarnya, tidak di ombang-ambingkan oleh rumor dan opini yang saling bertabrakan. Menjadi rohani adalah menyingkap ketersembunyian dan mencari kebenaran Tuhan, dunia nyata, dan maya. Hingga, yang tersembunyi atau maya pudar dengan sendirinya dan kalah dengan kebenaran yang sifatnya abadi.
Kita sadar, untuk sementara waktu, kadang-kadang memang usaha menutupi kebenaran dengan mememoles kekeliruan atau rekayasa, bisa menang bahkan menguasai opini publik. Tetapi pelan-pelan, pada akhirnya, sesuatu yang sifatnya tipuan, superfisial akan pudar. Dan tak ada yang bisa menghalangi kebenaran untuk muncul kepermukaan. Sebab, sifat abadi adalah kebenaran dan fana adalah kebohongan.
Tetapi yang fana itu sering dipeluk banyak orang. Ulil menuliskan, “Dalam pandangan sufisme Islam, wujud yang riil dan sebanar-benarnya wujud hanyalah Tuhan. Yang lain hanyalah wujud yang maya; wujud yang sifatnya derivatif: wujud yang bersumber dari wujudnya Tuhan.
…Jika yang abadi bersanding dan berada secara berdampingan dengan yang relatif, sudah tentu yang abadi akan menenggelamkan wujud yang relatif itu. Jika Tuhan bersandingan dengan manusia, maka manusia akan tenggelam dalam wujud Tuhan…
Di balik setiap kebenaran ada Tuhan Yang Maha Benar. Dan wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki; ia tidak bisa ditenggelamkan oleh wujud-wujud lain yang sifatnya maya dan relatif.”
Buku ini telah mengingatkan pembaca tentang aforisme sufistik abad-13, yang memuat ajakan menempuh jalan-jalan sunyi mencari kebenaran dan menjunjung kejujuran. Kita ragu, buku ini tak dibaca para politisi zaman ramai kini.