Belakangan ini, malas rasanya untuk menengok platform media sosial. Enggan pula ingin berkomentar dan berkoar. Tapi apalah daya. Saya terlanjur geram dengan beberapa postingan media yang mentah, hoax, dan penuh pembodohan. Apakah mereka salah kaprah dalam menanggapi isu corona?
Tentu. Virus Corona semarak. Media berlomba-lomba mengejar informasi terbaru. Beberapa orang mulai melakukan antisipasi meski dari pemerintah sendiri belum mengeluarkan ketetapan yang menenangkan kepala.
Organisasi masyarakat dan tokoh keagamaan sudah mengeluarkan Fatwa untuk tidak mewajibkan sholat Jumat di masjid. Menganjurkan untuk sholat di rumah agar terhindar dari segala kemungkinan yang terjadi. Seperti kontak tangan yang tidak disengaja, penyebaran cairan tubuh saat berdekatan (bersin) hingga transfer virus antar beda.
Tapi sangat disayangkan ketika beberapa orang yang ‘ditokohkan’ malah memberikam informasi yang sedikit menyesatkan dan membingungkan. Menggaungkan untuk meramaikan masjid di saat wabah virus Corona (COVID-19) semakin meningkat. Dengan korban jiwa yang terus berjatuhan setiap harinya, apa yang disampaikan sangatlah tidak bijaksana.
Benar, berdoa memang menjadi salah satu upaya paling penting pada setiap umat beragama. Begitu pula dengan Islam. Tapi, Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar (berusaha sekuat mungkin) untuk terhindar dari penyakit. Ibarat ingin mendapatkan nilai yang terbaik di kelas, apa bisa langsung didapat jika hanya berdoa? Tentu saja tidak. Anda harus belajar (ikhtiar) terlebih dahulu.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S Ar-Ra’du ayat 11).
Ingat sekali saya dengan petuah guru ngaji dan fiqih waktu masih di sekolah Aliyah. Ikhtiar, berdoa dan berprasangka baik pada Allah. Ibarat memang diberi takdir terkena sakit, itu mungkin qadarullah. Tapi bukan dengan berpasrah dan menyerahkan diri begitu saja tanpa melakukan pencegahan.
Iming-iming mati syahid jika berada di dalam masjid atau masuk surga secara instan memang terlihat menggiurkan. Tapi tolonglah. Apakah segampang itu kawan-kawan terbuai? Jika surga adalah balasan dari umat yang beriman, beribadah, berbuat baik dan mematuhi syariat. Defenisi syahid ternyata sudah seelastis karet gelang.
Bicara soal bagaimana hukum seorang muslim yang meninggalkan masjid karena ada suatu hal, pada zaman kekhalifahan sebenarnya telah terjadi.
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
“Apabila kalian mendengar wabah penyakit di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut. Dan apabila wabah itu berjangkit di tempat kamu berada, jangan pula kau lari padanya ” (HR. Al-Bukhari dari Usamah bin Zaid).
Itu juga bisa diterapkan pada saat sekarang ini. Dengan membandingkan keadaan saat ini, hadist di atas sangat relevan. Islam sesungguh telah mengatur sedemikian rupa seluruh tata cara penghidupan manusia. Dari hadis di atas, sudah jelas bukan apa yang seharusnya kita lakukan?
Hujan deras saja dapat menggugurkan kewajiban sholat Jumat dan menggantinya dengan sholat Zuhur di rumah.
Dalam Sirah Nabawiyah tidak ditemukan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggalkan shalat Jum’at karena kondisi alam seperti hujan atau salju. Beliau pernah meninggalkan shalat Jum’at saat bersafar. Sedangkan meninggalkan shalat Jum’at karena hujan deras, badai, atau musim salju yang sangat dingin yang membahayakan kaum muslimin.
Saat sakit, orang tidak dianjurkan untuk sholat Jumat. Apa lagi dengan Penyakit yang bersifat pendemik seperti ini?
“Jumat adalah wajib bagi setiap Muslim kecuali empat orang. Hamba sahaya yang diperlukan, perempuan, anak kecil, dan orang sakit, ”(HR Abu Daud dengan sanad sesuai standar persyaratan Bukhari dan Muslim).