Bagaimana cara tawakal kepada Allah saat wabah Corona melanda? Demikian pertanyaan yang sering muncul ketika hari ini hampir setiap orang hidup dalam ketakutan. Mereka dihantui dengan bayang-bayang kematian akibat virus corona (covid-19) yang mematikan.

Bahkan, bayangan kekhawatiran itu meluas menjadi ketakutan akan kelaparan dan kerusuhan massal disebabkan stabilitas ekonomi dan sosial yang juga terdampak karenanya.

Selain ikhtiar menaati protokol kesehatan, umat Islam beramai-ramai mencoba untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dilakukan untuk tawakal menghadapi ujian sekaligus memohon perlindungan dan keselamatan dari Dzat yang Maha Kuasa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 2).

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali kisah-kisah yang menceritakan bagaimana para nabi, orang-orang saleh, dan orang-orang beriman diuji Allah dengan ujian (dalam kacamata awam) sangatlah berat.

Misalnya, bagaimana Al-Qur’an menceritakan kisah Nabi Nuh dan banjir yang memporak porandakan apa pun yang ada pada saat itu. Kisah Nabi Yunus yang harus mendekam dalam perut ikan paus dalam tempo yang cukup lama.

Lalu Nabi Musa yang harus menghadapi kejaran pasukan Firaun dan harus melalui lautan yang ganas. Dan tentu Nabi Muhammad ﷺ yang diburu dan dilempari kotoran manusia oleh kafir Quraisy.

Kisah-kisah di atas adalah kisah masa lalu yang terjadi sebelum kita. Kita mungkin berpikir bahwa peristiwa-peristiwa tersebut tidak akan terjadi di masa kita ini.

Meski demikian, setiap orang atau umat diuji oleh Allah sesuai kemampuannya dan kadar masing-masing. Bahkan banyak dari kita diuji oleh Allah dengan cara yang tidak terduga, menakutkan, dan bahkan menghinakan.

Sebagai muslim, meski ketakutan itu nyata adanya, kita tidak boleh terjebak pada ketakutan yang membuat kita jauh dari Allah. Kita harus meletakkan segala ketakutan itu di bawah kemahakuasaan Allah. Perasaan yang demikianlah yang mesti kita perjuangkan untuk membuat hati kita tenang dan pikiran kita rileks. Allah berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).

Yang demikian itu dalam Islam kita sebut sebagai “tawakal”. Yakni ketergantungan mutlak dan tak tergoyahkan kepada Allah bahwa betapapun musibah dan ujian ini terjadi dan bagaimanapun hasilnya, kita yakin bahwa Allah akan menolong dan membantu kita.

Berikut ini ada beberapa cara tawakal kepada Allah saat terjadi wabah corona dengan yakin tanpa keraguan sedikitpun pada pertolongan-Nya:

Bersyukur adalah sebuah tindakan yang berlawanan dengan perasaan dan emosi kita. Ini cara kita menunjukkan sikap terima kasih kepada Allah terhadap apa yang telah terjadi. Apa pun yang terjadi saat ini di dunia, itu bisa saja adalah peristiwa yang amat buruk yang sedang kita alami.

Kendati demikian, Allah dengan keagungan-Nya, bisa saja menimpakan bencana seketika itu pula sebagaimana yang diberikan kepada kaum Luth. Hanya saja, Allah tidak melakukannya.

Apa pun caranya, Allah telah memberikan kesempatan (pada saat ini ditimpa musibah dan bencana pandemi virus Covid-19) untuk merenung, bertobat dan kembali kepada-Nya.

Allah memberikan kita kesempatan untuk menyiapkan diri dan keluarga kita untuk menghadapi segala ketidakpastian yang ada di depan. Ini adalah satu alasan kenapa kita harus selalu bersyukur pada Allah atas segala kebijaksanaan-Nya. Allah berfirman:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Bisa jadi kita sedang ditimpa musibah seperti terinfeksi virus, kehilangan uang, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan harta selama wabah penyakit ini berlangsung. Kita bisa saja tidak mau mendengar kabar “buruk” itu secara langsung, namun kita harus tetap bersyukur pada Allah.

Jika Allah berkenan, musibah ini akan menjadi “penebusan” atas dosa kepada siapa saja yang sabar menanggung cobaan ini. Dengan demikian, meski kita merasa buntu dan tidak menemukan hikmah apa pun dalam situasi ini, ingatlah bahkan musibah itu sendiri adalah hikmah jika kita memilih untuk melihatnya demikian.

Nabi Musa memiliki banyak alasan untuk takut dan menyerah tatkala ia harus berhadapan dengan lautan ganas dan kejaran para tentara Firaun yang akan menangkap dan membunuhnya. Tapi hal itu tidak dipilihnya sebagai sebuah pilihan sikap dan keyakinan.

Kita tahu bahwa tanpa mukjizat Allah, tidak ada satupun orang bahkan Nabi Musa sekalipun dapat menyeberangi lautan dan terhindar dari kejaran tentara Firaun. Namun, Nabi Musa memiliki pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah akan menolongnya.

Allah adalah Tuhan dari mukjizat itu sendiri. Ia mampu mengadakan sesuatu yang sebelumnya tiada. Dialah Allah yang menciptakan segalanya menjadi mungkin untuk mengada.

Pengetahuan yang demikian itulah yang menjadi sandaran Nabi Musa yang membuatnya yakin dan kokoh atas pertolongan Allah baginya. Inilah yang disebut tawakal. Mendekatkan diri pada keyakinan-keyakinan akan kemahakuasaan Allah dan menjaga jarak dengan segala ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan pada-Nya. Wallahu a’lam. (mzn)

Leave a Response