Kabar tentang ceramah salah satu penceramah kondang, Ustaz Abdul Samad (UAS), diduga melakukan penistaan agama telah beredar luas dengan sangat cepat, lewat bantuan media sosial. Layanan jejaring sosial kembali mengambil peran vital dalam menyebarkan informasi hingga menyedot perhatian publik.

Walaupun telah diklarifikasi oleh UAS sampai dua kali, terakhir di kantor MUI kemarin, UAS masih menegaskan beberapa poin. Di antara poin penting, video tersebut adalah hasil rekaman ceramah di salah satu Masjid di Pekanbaru, ceramah tersebut dilakukan di ruangan tertutup dan khusus untuk kalangan muslim, dan konteks potongan video tersebut adalah menjawab dari pertanyaan jemaah soal Yesus dan patung. Sehingga, UAS dalam akhir klarifikasinya tidak meminta maaf karena tidak merasa melakukan kesalahan.

Dalam klarifikasi UAS tersebut, diselipkan persepsi bahwa dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepadanya terdapat kesalahan di dalamnya. Padahal, klarifikasi UAS tersebut jika ditelisik lebih dalam, terdapat dua kesalahpahaman utama dalam memahami perubahan makna “ruang” dan keadilan dalam memahami informasi di media sosial. Sehingga, dalam dua klarifikasi tersebut UAS masih tidak terlihat memahami mengapa ceramah tersebut bisa dianggap sebagai penistaan agama.

Saat dugaan penistaan agama “Ahok” telah dikonsumsi publik dan terus membesar hingga berubah menjadi gerakan massa, media sosial memiliki peran paling besar. Pasca kasus “Ahok” dan “Bun Yani”, pengguna media sosial seharusnya bisa memahami ada perubahan mendasar dalam persoalan ruang privat dan publik di dunia maya.

Dalam masyarakat yang serba terhubung, media sosial adalah salah satu alat paling populer. Masyarakat tidak lagi dihambat dengan batas atau sekat ruang fisik karena terhubung lewat dunia maya atau lebih khususnya, media sosial. Kultur dan lanskap kehidupan saling terhubung lewat media sosial, mau tidak mau, membuat persoalan UAS tidak akan cukup jika hanya dipandang dari isi ceramah yang mengandung unsur penistaan atau tidak. Sebab, jika terjebak hanya pada permasalahan tersebut maka kasus atau dugaan penistaan agama atau pencemaran nama baik rentan sekali terjadi dan akan dihadapi dengan emosi.

Lema networked publics (masyarakat terhubung) dalam kajian media sosial dipakai untuk menjelaskan tentang komunal baru yang terbentuk atas kehadiran layanan jejaring sosial di tengah masyarakat. Diksi tersebut bisa dimaknai sebagai masyarakat terhubung, untuk menyebutkan ada konektivitas antar manusia yang lebih kompleks ketimbang struktur hubungan sosial selama ini. Selain memiliki kesamaan dengan struktur sosial sebelumnya, konsep masyarakat terhubung memiliki titik tekan yang menjadi brandmark dari media sosial yaitu “keterjangkauan”.

Makna publik di dunia media sosial tidak lagi sama dengan defenisi yang selama ini ada dalam pikiran kita semua. Sebab, informasi dan keterjangkauan adalah fondasi paling utama dalam kehidupan dunia maya. Lema “publik” di media sosial tergeser menjadi “penyimak” atau lebih familiar disebut dengan “followers/pengikut”, di saat yang bersamaan kata ini merujuk pola arus informasi, di mana publik disebut dengan prosumer. Yaitu, publik adalah pihak yang memiliki kemampuan produksi sebuah isu/ informasi sekaligus juga menjadi pihak yang mengkonsumsi.

Di sisi lain, publik di media sosial juga bisa dimaknai sebagai bentuk komunal yang terhubung dengan berbagai alasan kesamaan, seperti umur, sekolah, kampus, hobi hingga agama, dalam bingkai berbagi teks atau informasi. Jejaring inilah yang cukup sering diabaikan jika muncul permasalahan yang diawali lewat media sosial.

Kasus “Ahok” dan “Meliana” adalah fakta paling jelas atas ketidakpahaman kita tentang lema publik dalam media sosial. Kelindan antara struktur sosial tanpa batas dan keterjangkauan informasi yang semakin luas, membuat informasi bisa dinikmati siapa saja tanpa sulit dihentikan dan disensor.

Informasi yang muncul di media sosial mungkin masih bisa dilacak dari siapa pertama kali yang menyebarkan, dengan bantuan teknologi canggih. Namun, tersebarnya informasi tersebut lewat media sosial misalnya lewat fasilitas like dan share atau memang sengaja disebar oleh akun-akun yang memiliki followers yang banyak.

Kembali ke UAS, klarifikasi dia atas dugaan penistaan agama dengan memberikan alasan ceramah tersebut disampaikan di ruang tertutup dan hanya kalangan tertentu yang menghadiri adalah sebuah kesalahan. Sebab, UAS tidak menyadari bahwa makna publik yang dipahaminya sudah berubah di saat video ceramah tersebut disebarkan di media sosial.

Permasalahan ruang dan waktu yang dipersoalkan UAS dengan cukup tegas dalam klarifikasinya sebenarnya sudah terbantahkan dengan sendirinya. Sebab, video tersebut memiliki konteks sendiri-sendiri setiap dibagikan sehingga menjadi sebuah informasi baru yang muncul. Kalau ditelisik lebih dalam informasi soal video kemarin, tidak semua yang menyebarkan video tersebut adalah kelompok yang mendukung pernyataan UAS karena tidak sedikit yang membagikannya karena ketidaksetujuannya dan rasa penasaran yang mendasarinya.

Titik ketidaksetujuan terhadap isu atau informasi bisa memancing reaksi yang cukup massif di dunia nyata, adalah fakta yang seharusnya dipahami oleh seluruh pengguna layanan jejaring sosial. kasus Ahok yang menghasilkan Aksi yang berjilid-jilid atau Meliana yang membuat beberapa vihara dibakar oleh massa yang sedang marah atau tersulut emosinya karena informasi yang dikonsumsi lewat media sosial.

Di kasus UAS ini, kita juga kembali melihat bagaimana konstruksi pengetahuan warganet soal agama yang masih didominasi pemahaman segregasi yang kental dengan diksi ‘kita’ dan ‘mereka’. Di saat video ceramah UAS mendapatkan protes yang cukup massif, maka dalam waktu yang tidak begitu lama tersebar juga beberapa video tandingan bahwa kelompok lain juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh UAS.

Akhirnya, video beberapa ceramah yang menghujat agama orang lain menjadi viral, dan terus disebarkan untuk melegitimasi kata-kata yang bisa dianggap menghina agama orang lain. Berbagai alasan teologis dikedepankan juga untuk mendukung apa yang telah dilakukan untuk menganggap hina agama orang lain. Padahal, jika kita mau berkaca pada kalimat fenomenal dari sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer soal keadilan, maka melegitimasi perilaku penistaan atau penghinaan terhadap agama lain adalah termasuk kesalahan.

“Seorang yang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan,” begitu Pram mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi menganggap biasa sebuah perbuatan salah karena alasan orang lain juga melakukan hal yang sama pada kita.

Maka, yang muncul adalah lingkaran setan kebencian yang sulit diputus kecuali ada pihak yang mau legowo mengakui bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan.

Leave a Response