Salah satu ulama Nusantara yang hidup pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah bernama Sayyid Utsman Betawi. Ia lahir di Pekojan, 17 Rabiul Awal 1238 H atau 1 Desember 1822, dan wafat pada tahun 1332 H/1914 M. Angka ini merujuk dari konversi Nico J.C. Kaptein, sarjanawan Belanda yang menulis biografinya.
Sebagai seorang keturunan Nabi yang diberkahi umur panjang, kiprah keulamaannya berpengaruh di Nusantara. Azra menilainya sebagai ulama terkemuka di masa kehidupannya. Oleh pihak kolonial, Sayyid Utsman bahkan didaulat sebagai mufti Batavia era keberadaan Snouck Hurgronje; orientalis yang sangat populer di Indonesia.
Banyak penilaian atasnya. Terlepas dari itu, artikel ini ingin merefleksikan tren ngaji online, sebagaimana ramai saat ini, dari karya Sayyid Utsman berjudul Adab al-Insan. Di bagian latar belakang, tercantum keterangan menarik berbunyi:
“Di zaman sekarang ini, banyak orang yang tiada pegang aturan orang-orang baik dan banyak yang tiada kenal adat kelakuan yang baik… sebabnya dari karena tiada dapat ajaran yang baik. Adapun ketidakadaan ajaran itu sebabnya dari karena kurang ongkos atau dari karena tiada sempat atau dari karena tiada ada tempat pelajaran.” (hlm. 2)
Keterangan tersebut menegaskan hal yang sama dengan pandangan para kiai, gus, atau ustadz yang terjun ke dunia maya, yaitu karena perhatian mereka akan pentingnya pendidikan umat.
Sejarah sosial memang menarasikan bahwa era kehidupan tokoh yang dibahas ini merupakan era susahnya penyelenggaraan pendidikan Islam secara bebas. Kebijakan-kebijakan kolonial (ordonantie) ditetapkan kala itu. Padahal, masyarakat butuh bimbingan dan arahan.
Dalam karyanya yang lain berjudul Taftīh al-Muqlatain wa Tabyīn al-Mafsadatain, Sayyid Utsman berujar, “… ketika aku lihat di Jawa tidak banyak bahkan tidak ada orang yang memberikan fatwa atau bimbingan, maka serta merta aku berlari mendatangi orang-orang pincang yang sedang berjalan ke arahku.”
Maka, Sayyid Utsman melakukan adaptasi dalam mendidik umat. Katanya melanjutkan latar belakang penulisan kitab Adab al-Insan:
“… Maka, dari sebab itu, dikarang ini kitab yang ringan harganya dan kecil bukunya supaya ringkas ditaruk di saku baju akan dibawa ke mana-mana tempat kesenangan atau tempat pekerjaan buat dibaca di waktu-waktu berhenti kerja dibuat ganti dari omong yang tiada berguna dan juga ini kitab dengan bahasa melayu rendah supaya dipahami sembarang orang. Maka, diharap tiap-tiap orang yang mendapat ini kitab serta membaca padanya atau mendengar padanya boleh ia masuk pada bilangan orang-orang baik adanya.” (h.2)
Coba kita cermati bagaimana kecerdikan ulama dalam mendidik umat. Mereka menyebut “mengarang kitab yang kecil sehingga dapat dibawa ke mana-mana”. Pada konteks kekinian bisa jadi maksudnya adalah berbentuk “aplikasi” yang ada di dunia maya; yang dapat dibawa ke mana-mana dan tersimpan di handphone setiap orang.
Mereka melakukan itu untuk “dibuat ganti dari omong yang tiada berguna” layaknya ditemukan banyaknya generasi muda menggunakan teknologi digital untuk hiburan semata atau nge-game tanpa jeda.
“Juga ini kitab dengan bahasa melayu rendah supaya dipahami sembarang orang”. Hal ini juga dilakukan oleh para kiai, gus, ustadz yang menyesuaikan pendidikan zaman sekarang dengan kondisi sosial yang ada.
Menariknya adalah pengajaran lewat buku menjadi ciri yang membuat sosok Sayyid Utsman istimewa dibanding ulama-ulama sezamannya. Dalam catatan Rakhmad Zailani Kiki, penulis buku Geneologi Intelektual Ulama Betawi dan Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre, Sayyid Utsman meninggalkan 116 jumlah karya (dalam versi lain 114).
Snouck Hurgronje bahkan melaporkan dalam Kumpulan Karangan-nya bahwa ulama ini mempunyai alat percetakan sendiri yang memudahkannya memproduksi buku. Di samping itu, ditemukan catatan anak Sayyid Utsman; Abdullah berjudul Suluh Zaman yang mengabarkan bahwa ayahnya melakukan pengajaran di Mesjid Pekojan dan Mesjid Pasar Senen kala hidupnya.
Refleksi ringkas ini pada akhirnya akan berkembang. Hemat penulis, kecakapan tokoh-tokoh agama kita dalam mendidik umat hanya menunggu waktu. Permasalahan minimnya penikmat tren ngaji online kiranya jangan sama dengan minimnya perhatian pada naskah-naskah peninggalan ulama Nusantara masa lalu. Hal ini sebagaimana dikumpulkan oleh kolektor-kolektor luar Negeri, disimpan di perpustakaan mereka tanpa sadar bahwa semua itu khazanah dari bumi Nusantara.
Satu lagi kiranya naskah Sayyid Utsman yang perlu dikaitkan dengan refleksi tulisan ini, yaitu Risalah Dua Ilmu. Karya yang sangat kental dengan pemikiran Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengenai dua macam ulama ini patut dicermati, bahwa ada ulama dunia dan ada ulama akhirat. Keterangan Sayyid Utsman berbunyi demikian:
“…barang siapa qashadnya dengan amal-amalnya sama saja amalnya itu menuntut ilmu atau lain-lain amal karena mendapat pahala akhirat maka dapatlah olehnya akan pahalanya dengan berganda-ganda tambahan pengasi daripada Allah ta’ala. Dan barangsiapa qashadnya dengan menuntut ilmu atau lain-lain amalan karena mendapat harta atau mendapat pangkat atau dapat dipuji atau sebagainya maka niscaya dapatlah olehnya akan maksudnya itu saja di dunia maka tiadalah itu ia dapat pahala di akhirat malah-malah dapat murka dari pada Allah ta’ala dan dapat siksa masuk di api neraka.”
Demikian sejarah singkat dan kiprah Sayyid Utsman Betawi, seorang mufti yang cakap dalam mendidikan umat. Keulamaan tokoh-tokoh agama tentu tidak dapat dinilai hanya dari jumlah subscriber, penonton, atau yang meminati ngaji online-nya. Kharisma mereka akan terus tersemat pada diri mereka sendiri. Wallahu a’lam. (mzn)