Socrates, Filsuf Yunani  pernah mengatakan: “Dengan segala cara menikahlah. Jika mendapatkan istri yang baik, anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan istri yang buruk, Anda akan menjadi seorang filsuf”. Bagi saya, ungkapan Socrates bukanlah dorongan untuk cepat menikah, namun sebaliknya motivasi agar menunda sampai saat yang tepat. Ini penting karena berkeluarga memiliki dimensi yang sangat kompleks. Kita tak bisa hanya mengandalkan nasip pada kemujuran.

Pernikahan yang terlalu muda timbulkan banyak implikasi seperti ketidakharmonisan rumah tangga bahkan perceraian. Bila sampai terjadi kehamilan ada banyak resiko bagi ibu yang terlalu muda dan anaknya. Kurang gizi, stunting dan bahkan kematian ibu dan anak.

Dari sisi kedua pasangan, menikah muda pada faktanya berarti menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Pendidikan rendah berhubungan secara fungsional dengan nikah muda. Rendahnya tingkat pendidikan pada akhirnya berpengaruh pada penyediaan tenaga kerja terampil. Pada tahun 2025 Indonesia akan menghadapi apa yang disebut Bonus Demografi. Besarnya jumlah penduduk usia produktif hanya akan menjadi berkah bagi bangsa apabila mayoritas penduduk produktif nya berpendidikan dan berketerampilan yang dibutuhkan.

Kabupaten Situbondo berdasarkan data SUSENAS 2013 masih memiliki jumlah perempuan menikah muda (dibawah 17 tahun) cukup tinggi, yakni 51,54 %. Angka ini sedikit lebih rendah di bawah Bondowoso 53,26 % namun lebih rendah dibandingkan dengan Probolinggo dengan prosentase 48,09 %. Semua elemen nampaknya harus bekerja keras untuk berpartisipasi atasi masalah ini. Ya, sebelumnya juga harus bisa memahaminya secara sadar bahwa pendewasaan usia perkawinan adalah hal yang bersifat dloruri.

Pondok pesantren adalah salah satu institusi tradisional yang memiliki akar di masyarakat Situbondo yang memiliki kontribusi yang sangat besar untuk hal ini. Ambil contoh salah satu pondok di Sumberanyar, yaitu Pondok Pesantren Assalam yang berada di sebelah timur Pondok Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo secara cukup meyakinkan telah bisa menciptakan tren baru di kalangan anak muda Sumberanyar untuk tidak menikah muda.

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang hanya lulusan SD atau paling tinggi SMP kelas 2. Anak-anak Di Sumberanyar sekarang nampak lebih bergairah untuk sekolah sampai tingkat SLTA. Yang menggembirakan adalah semangat orang tua mereka yang tidak lagi mau menikahkah anaknya terlalu muda. Revitalisasi pondok pesantren nampaknya bisa dijadikan solusi yang tepat untuk Situbondo mengatasi masalah pernikahan muda.

Selain itu Gerakan Ayo Mondok sebaiknya lebih ditingkatkan lagi.Dua hal diatas mungkin menjadi pintu masuk yang secara sosio-kultural paling mungkin dilakukan di Situbondo untuk ciptakan generasi yang tangguh. Sabda Nabi, “..sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari Muslim).

 

 

Leave a Response