Sejarah Sufisme di Dunia Islam – Sufisme baru atau neo-sufisme merupakan istilah yang kali pertama dicanangkan oleh Fazlur Rahman (w. 1988 M). Ia merupakan seorang sarjanawan par excellent yang pernah dimiliki Islam. Fazlur Rahman menggaungkan istilah neo-sufisme dengan merujuk tasawuf yang diusung oleh Ibnu Taimiyah (w. 1328 M). Menurut Ibnu Taimiyah, tasawuf pada masa itu telah terjadi banyak penyelewangan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Arberry, bahwa dalam sejarah sufisme di dunia Islam, masa tasawuf telah berjaya dan mapan oleh gagasan-gagasan Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dan Jalaluddin Rumi (w. 1270 M). Lalu disusul oleh keruntuhannya melalui praktik-praktik terselubung pseudo-tarekat (tarekat palsu).
Dalam hal ini, tarekat menjadi sebuah kedok untuk melejitkan citra diri. Banyak khurafat, bidah, takhayul, klenik, dan hal-ihwal yang tidak senonoh di dalamnya.
Pseudo-tarekat memanfaatkan masyarakat awam untuk diperdaya secara irasional dan memikat mereka dengan menampilkan karamah-karamah, azimat, ramuan gaib, dan semisalnya. Kesemua dalih tersebut demi mendapat pengultusan dari massa.
Bagi Fazlur Rahman, Ibnu Taimiyah merupakan pionir neo-sufisme. Maksudnya, adanya upaya mendekonstruksi citra kelam tasawuf dan mengembalikannya pada citra Alquran dan hadis.
Pertama, Ibnu Taimiyah mengkritik upaya uzlah dan khalwat berlebihan sehingga melalaikan amanah khalifah fi al-ardh untuk menebarkan rahmatan lil-‘alamin di ruang sosial. Jadi, aspek horizontal (habl min al-nas) dan vertikal (habl min Allah) harus seimbang dan setara.
Kedua, penolakan terhadap pengulutusan seorang tokoh sufi dan mengeramatkan tempat.
Ketiga, mengenai zuhud yang berlebihan dan menolak rasionalitas. Akibatnya seringkali terjadi taklid buta terhadap guru yang dianutnya. Hal ini bisa berisiko pada penyimpangan atas syariat Islam dikarenakan taklid buta tanpa pertimbangan nas dan akal waras.
Sejarah ajaran sufisme di dunia Islam terus berkembang. Sebelum Fazlur Rahman, sebenarnya Hamka (w. 1981 M) telah mencetuskan lebih dahulu tentang sufisme baru. Akan tetapi, ia tidak menggunakan istilah neo-sufisme, melainkan Tasawuf Modern, seperti judul bukunya. Secara prinsipil memang sama apa yang dimaksudkan oleh istilah neo-sufisme dan tasawuf modern.
Hamka menganggap bahwa tasawuf memiliki sisi positif dan sisi negatif. Maksudnya, sisi positif yang ada dalam tasawuf adalah sesuai dengan Alquran dan hadis; yakni merajut penghambaan kepada Allah dan menebar kebaikan kepada manusia dan semesta.
Dalam hal ini, tasawuf bukan berarti melalaikan amanah khalifah fi al-ardh untuk menebarkan rahmatan lil-‘alamin di ruang sosial. Dengan cara seperti itu, tasawuf tidak lagi identik dengan kemiskinan karena meninggalkan semangat mencari nafkah dan menggembala dunia.
Aspek meninggalkan dunia sepenuhnya dengan cara khalwat dan malas bekerja itu menurut Hamka tidak sesuai dengan yang diajarkan Islam, yaitu optimisme berjuang dan menggeluti apa-apa yang memang dihalalkan oleh Allah.
Hamka memandang tasawuf sebagai hal yang progresif. Berbeda dengan sufisme lama yang terkesan pasif dan pasrah, sufisme baru memberikan motivasi tawakal yang aktif karena memang dunia merupakan ladang akhirat; menanam kebaikan di dunia dan memetik buah di akhirat.
Selain itu, dalam keilmuan, Hamka menempatkan posisi tasawuf sebagai epistemologi memerangi hawa nafsu, membersihkan jiwa dari kerakusan, serta meninggikan budi pekerti. Oleh karena itu, Hamka sendiri menolak tasawuf organisatoris seperti terwujud dalam ordo-sufi (tarekat).
Menurutnya, tasawuf dalam bentuk ordo-sufi dapat menyeru seseorang untuk mengultuskan dan mengeramatkan figur tertentu. Sehingga hal-ihwal itu menghambat dinamika keilmuan personal seseorang. Hal ini karena di dalamnya sarat dengan kultur taklid yang amat paternalistis dan melestarikan kejumudan dalam berpikir otonom. Akibatnya, umat Islam mengalami keterbelakangan.
Tasawuf modern Hamka memang menjadi solusi alternatif bagi kebutuhan rohani manusia modern yang didera oleh sekularisme yang gersang dan rasionalisme rigid yang kering. Dari konsep yang disuguhkan oleh Hamka, tampaklah bahwa tasawuf mesti berpegang erat pada nas Islam dan menghindari ekses-ekses ritual yang ternyata—menurut Hamka—tidak diajarkan oleh Islam.
Kezuhudan adalah perlu, tetapi kezuhudan yang tetap berpijak pada semangat dalam mencari rezeki yang halal dan peka terhadap ruang sosial yang ada. Seorang muslim tentunya tidak boleh lari atau eskapisme dari realitas yang ada, melainkan mesti mengatasi dan mujahadah di dalamnya.
Tasawuf semacam itu tentu lebih mengedepankan aspek moralitas, bukan aspek ekstase dan pelenyapan diri (fana’). Pada intinya, tasawuf modern ala Hamka menawarkan spiritualitas yang tidak mengabaikan realitas sosial yang ada.
Jadi, tasawuf di era kontemporer ini memiliki tanggung jawab besar untuk merestorasi kepeningan zaman dan memulihkan kembali kemanusiaan yang asri. Modernitas yang banal telah menyeret manusia di ambang pemikiran yang linglung dan tanpa tujuan. Untuk mengonfrontasinya, peran sufisme baru erat-kaitannya untuk mencerahkan kelinglungan dan kegamangan umat dalam menghadapi kebobrokan zaman.
Tasawuf secara spiritual, memiliki andil primer dalam mengatasi krisis psikologis. Fungsinya antara lain menyadarkan kembali fitrah manusia yang bergantung kelindan dengan Allah.
Hal ini amat relevan dengan aspek moral yang ada, yang kian hari semakin degradatif. Tasawuf sebagai silabus etis dapat diharapkan menjadi guyuran katarsis bagi perilaku-perilaku korup dan destruktif manusia modern.
Implikasi etis ini akan menunjang kepekaan sosial, karena sebagai manusia yang waras, tanggung jawab sosial merupakan kewajiban nurani masing-masing. Dengan hal-ihwal itulah, ruang sosial bukan menjadi ruang konflik, melainkan ruang yang bertebaran kedamaian karena dibingkai oleh jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah).