“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik” dalam QS. An-Nahl : 72
“Kaum wanita itu adalah pakaian bagimu sebagaimana kamu adalah pakaian bagi mereka”. Pakaian merupakan alter ego-nya, yaitu objek yang paling erat terkait dengan kepribadiannya. Alquran hanya menyebutkan satu orang wanita dengan namanya yang sesungguhnya. Dialah Maryam, perawan yang menjadi ibu Isa” dalam QS. Al Baqarah :187
Bukan bermaksud membandingkan kedua kutipan ayat tersebut, melainkan penulis hanya ingin memberikan potret tekstual yang dapat ditinjau secara kasat mata–dan bisa langsung dibuktikan dengan mengkaji dan membaca tafsiran yang sehubungan degan perempuan dalam Alquran.
Bahwasanya ajaran kita (secara universal) sejatinya telah memberikan tuntunan untuk meneladani sosok perempuan, bukan?
Sepasang potret perempuan melalui Surah An-Nahl 72 dan Al Baqarah 187 menjadi rekaman yang sakral dan masih banyak lagi kisah maupun ayat-ayat di dalamnya (Alquran) yang dapat kita ambil pembelajaran dan pemaknaannya.
Jauh sebatas pembagian peran, melainkan membangun hubungan yang saling menguatkan dan menopang, antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Pihak sesama perempuan maupun bersama pihak lelaki atau sebaliknya.
Rasanya memang tokoh besar dan inspiratif seperti yang kita tahu, telah mengamini apa yang Tuhan beri dan ajarkan melalui wasilah-Nya. Termasuk Nyai Ahmad Dahlan.
Kekasih sepanjang hayat Ahmad Dahlan ini menjadi pioner dan pewaris tahta literat perempuan sepeninggal dan sebanding dengan Kartini, Cut Nyak Dien hingga Cut Nyak Meutia.
Sembari bersama sang suami Ahmad Dahlan, yang sedang merintis pendidikan dan menggelorakan ghiroh fashtabiqul khairot di tengah kolonialisme, semangat sang istri pun seirama dengan didirikannya Sopo Tresno pada 1914. Di mana dua tahun sebelumya telah dibangun Muhammadiyah.
Sopo Tresno berasal dari bahasa Jawa. Sopo berarti Siapa atau Yang menyapa, lalu Tresno yang berarti Kasih atau Sayang. Sehingga dapat diartikan menurut penulis bahwa Sopo Tresno ialah gerakan mereka yang penuh kasih.
Pengertian ini bisa diterima karena pada saat Ahmad Dahlan berjuang di medan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa melalui pemikiran moderatnya, pemilik nama asli Siti Walidah ini juga turut memberanikan diri untuk menciptakan ruang-ruang progresif.
Yang secara tidak langsung untuk membersamai dan mengimbangi semangat juang sang suami yang serta merta merintis semangat filantropi terlebih dahulu.
Hingga 5 tahun berselang dengan semakin bertambah yang mengikuti kelas perempuan, maka selanjutnya Sopo Tresno tetap menjadi Sopo Tresno. Namun hanya berubah nama saja menjadi Aisyiyah yang bergerak dalam keperempuanan dan selanjutnya bersatu dalam organ Muhammadiyah.
Namun, pada intinya ialah pergerakan perempuan Aisyiyah yang diwarisi dari sari pati gerakan Sopo Tresno yang based on Quran menjadi titik berangkat pelayaran perjuangan dan pelayannan perempuan di negeri ini.
Dian Ardiyani dalam Konsep Pendidikan Perempuan Siti Walidah tahun 2017 menyebutkan beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengajian Sopo Tresno.
Materi pengajian yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu dan perempuan muda ini antara lain adalah masalah agama, membaca dan menulis agar bisa bersikap jujur, dan tidak merasa kecil hati karena menganggap dirinya bodoh.
Dalam pengajian itu juga turut diterangkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang mengupas tentang hak dan kewajiban wanita. Hal ini diharapkan dapat melahirkan kesadaran bagi kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah SWT. serta sebagai warga negara.
Di tengah runyam dan dangkalnya pemikiran tentang perempuan kala itu, Sopo Tresno menjadi sel-sel yang mampu menyinari dan memfasilitasi kebutuhan pendidikan dan pemberdayaan yang dimulai dari orang terdekat Nyai Ahmad Dahlan terlebih dahulu.
Bersama Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Busjro, Siti Badingah Siti Wadilah, sang suami Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo.
Nyai Ahmad Dahlan termasuk orang yang berhasil dalam usahanya di bidang pendidikan tidak hanya teori saja, tetapi dibuktikan dengan kenyataan.
Ika Setya Wati dan Ragil Agustomo dalam Peran Siti Walidah di Bidang Pendidikan dan Sosial dalam Perkembangan Aisyiyah Tahun 1917-1946 mencatat keberhasilan usaha Nyai Siti Walidah. Menurut Kowani (1978:13) di antaranya adalah,
Pertama, diselenggarakannya asrama untuk putri-putri dari berbagai daerah di Indonesia dengan mendapatkan pendidikan yang baik. Orang tua mereka dengan sepenuh hati menyerahkan anak-anaknya mendapat bimbingan dari Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah).
Kedua, Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) ikut aktif membantu kelancaran terselenggaranya sekolah-sekolah putri. Pendidikan kewanitaan dengan melalui kursus dan mengadakan pengajian agama Islam.
Ketiga, ikut aktif mempelopori pemberantasan buta huruf bagi orang-orang yang telah lanjut usia.
Kelima, Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) juga menyelenggarakan rumah-rumah anak orang miskin.
Keenam, Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) memiliki besar perhatiannya terhadap pemeliharaan anakanak yatim piatu
Kita sepakat bahwa perempuan hadir sebagai rekan kolaborasi. Baik dalam pekerjaan, hubungan, rumah tangga hingga di sepanjang kehidupan.
Perempuan bukan tuan yang harus dihambakan karena dalih ‘emansipasi’. Tuhan telah mewartakan setengah hidup kita ialah perempuan. Jika kita dapat berefleksi lebih jauh tentang perempuan–dan berlaku tentang hal apapun itu–dalam Alquran, rasanya tidak adalagi bentuk pendindasan, pembodohan dan penyesatan akan itu.