Saat memasuki masjid kota Damaskus, khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (+674-717 M), seorang khalifah di era Dinasti Umayyah, melihat seorang kakek ndeso yang sudah cukup tua.

Ia tertarik untuk mengajukan pertanyaan kepadanya, “Wahai Kakek, apakah kematian menyenangkanmu?”

Sang kakek menyahuti, “Demi Allah, tidak.”

“Mengapa demikian, Kek? Tidakkah engkau telah mencapai usia yang sangat tua sebagaimana yang tampak kini?”, selidik khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.

Sang kakek tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia merenung sejenak lalu berkata,

”Wahai Amirul Mukminin, masa muda dan keburukannya telah sirna. Sedangkan, uban dan kebaikannya telah datang menyambut. Ketika bangkit, aku memuji dan bersyukur kepada Allah. Demikian pula ketika duduk, aku pun memuji dan bersyukur kepada Allah. Aku senang, kedua keadaan itu (selalu bersyukur ketika bangkit maupun duduk) ada selamanya.”

Mendengar jawaban sang kakek, khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bertanya lebih dalam. “Wahai kakek, apa gerangan amal perbuatanmu sehingga kamu menyangka akan berumur panjang?”

Sang kakek menjawab, “Wahai amirul Mukminin, saya adalah orang yang senantiasa menyempurnakan wudlu, membaguskan sholatku, menyambung hubungan silaturahim, menjaga farji dan pandanganku dari perbuatan keji, dan menolong orang lain dari sebagian rizqi yang Allah berikan kepadaku.”

Amirul Mukminin, Sulaiman bin Abdul Malik pun berujar, “Tidak mengherankan, maut melampauimu, kek.”

Sumber: Kitab Alf Qishshoh wa Qishshoh min Qashas ash-Shalihin wa as-Shalihat wa nawadir az-Zahidin waz-Zahidat karya Haniy al-Hajj.

Artikel ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response