Khazanah keislaman yang dimiliki Nusantara seakan tidak pernah habis untuk digali dan dipelajari. Kekayaannya meliputi berbagai aspek. Mulai dari kekayaan sejarahnya, interaksi kebudayaan sesama muslim, hingga aspek kekayaan intelektualnya berupa manuskrip dan turots-nya.

Peninggalan-peninggalan sejarah berupa karya-karya monumental para ulama di Nusantara menjadi sumbangsih nyata generasi terdahulu bagi perkembangan ilmu pengetahuan kini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pesantren di Indonesia yang menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai sumber pembelajaran pokok bagi santri-santrinya.

Kitab kuning, inilah sapaan akrab bagi kitab-kitab tersebut yang ada di dunia pesantren. Hal ini tidak lain, karena banyak di antara kitab-kitab tersebut dicetak dengan lembaran kertas berwarna kuning.

Antara satu kitab dengan kitab yang lainnya mengandung berbagai pembelajaran sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki penulisnya. Biasanya, setiap kitab membahas satu disiplin ilmu tersendiri, dengan penjabarannya masing-masing. Di antaranya yang kita kenal saat ini, seperti kitab Safinah an-Najah. Salah satu kitab kuning yang khusus membahas terkait disiplin ilmu fikih secara mendasar.

Ada juga kitab yang khusus berkaitan dengan disiplin ilmu kebahasaan, seperti Jurumiyyah, ‘Imrithi, Mutammimah, dan lain-lain yang memfokuskan pada pembahasan seputar ilmu nahwu. Terdapat juga kitab yang turut membahas seputar keilmuan akidah saja, seperti kitab Tijaan ad-Darari, Jauharah at-Tauhid, dan yang lainnya.

Tetapi, di antara semua kitab-kitab tersebut, terdapat pula kitab yang membahas lebih dari satu disiplin ilmu. Inilah yang menjadi gambaran utama keluasannya ilmu para ulama terdahulu. Tidak hanya memahami satu ilmu saja, melainkan banyak ilmu yang bisa dituangkan dalam satu buah karya.

Salah satunya yang paling masyhur dan banyak dikaji di berbagai pesantren, adalah kitab Sullam at-Taufiq ila Mahabbatillah ‘ala at-Tahqiq. Kitab yang memiliki arti “Tangga Petunjuk Untuk Mencintai Allah Dengan Nyata” , merupakan sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran pokok Islam yang meliputi akidah, syariat, fikih, hingga akhlak dan tasawuf.

Seringkali di antara para santri menyangka, bahwa penulis dari kitab ini adalah Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi rahimahullah. Padahal, penulis asli dari matan kitab ini adalah Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi rahimahullah, seorang ulama yang bernasab ‘Alawiyyin.

Adapun Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi merupakan syarih (pensyarah) dari kitab tersebut, dengan membubuhkan judul kitab syarahnya atas Sullam at-Taufiq yaitu Mirqah Shu’ud at-Tashdiq fi Syarh Sullam at-Taufiq.

Pada muqaddimah-nya, selain berharap keberkahan dan keridaan Allah Subhanahu wa ta’ala, melalui kitab ini mushannif  (pengarang) juga berharap bagi setiap pembaca dari kitab ini, agar senantiasa mendapatkan pertolongan dan petunjuk dari Allah Taala untuk dapat mengamalkan setiap isinya.

Selain itu, dengan penuh kerendahan hati, beliau juga menegaskan bahwa kitab ini merupakan sebuah juz’un lathifun (sebagian kecil), yang di dalamnya diterangkan berbagai hal yang wajib dipahami dan kelak diamalkan baik bagi mereka yang tergolong awam hingga mereka yang alim.

Di antara latar belakang mengapa Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi mensyarah kitab ini, adalah ketika suatu waktu banyak di kalangan para ulama yang menghendaki adanya sebuah risalah yang kecil namun memiliki pembahasan yang baik, yang belum pernah terdapat di dalam kitab-kitab besar. Maka beberapa di antara mereka memohon kepada Syaikh Nawawi untuk mensyarah kitab tersebut.

Syaikh Nawawi pun memenuhi permintaan tersebut dengan landasan keyakinan berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ

“Setiap bentuk kebaikan adalah sedekah.” (H.R Bukhari no. 5562).

Selain itu, beliau juga menyandarkan usahanya dalam mensyarah kitab ini pada sebuah hadits:

إنَّ الدَّالَّ علَى الخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

“Seseorang yang menunjukkan pada kebaikan, maka (pahala) dia seperti orang yang mengamalkannya (kebaikan).” (H.R Tirmidzi no. 2594).

Beliau juga menambahkan bahwa Allah akan senantiasa memberikan pertolongan bagi siapa pun ketika berada di dalam kesulitan, dengan jalan selalu berinfaq apapun yang telah Allah berikan kepadanya, sebagaimana firman-Nya:

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا  ٧

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S Ath-Thalaq: 7).

Tiada lain beliau juga memiliki tujuan untuk senantiasa bertabaruk kepada para ulama dengan mengambil ilmu dan berbagai keutamaan dari setiap perkataan mereka. Itulah motivasi terbesar Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam mensyarah kitab Sullam at-Taufiq ini.

Kitab ini secara keseluruhan terdiri dari 37 pasal, yang didahului dengan pembahasan seputar akidah dan problem di dalamnya. Mushannif menyinggung di dalam salah satu pasal, terkait dengan problem seputar hukum dan bahaya murtad serta berbagai bentuknya.

Secara umum pasal yang berkaitan dengan akidah terdiri dari 3 pasal. Adapun pasal-pasal tersebut adalah pasal berkenaan sifat-sifat Allah, seputar bahaya murtad, hingga hukumnya.

Pembahasan selanjutnya yang dibahas oleh mushannif adalah seputar hukum syariat dan fikih. Yang dimulai dengan prinsip-prinsip syariat seperti wajib, sunnah, makruh, mubah, haram, dan objek kajian fikih lainya. Pasal pertama dibuka dengan berbagai hal wajib yang harus dilakukan dan berbagai hal yang terlarang yang tidak boleh dilakukan.

Sebagaimana terdapat pada kitab Safinah an-Najah, selanjutnya mushannif turut membahas perihal beberapa permasalahan fikih yang mendasar di antaranya seputar salat, thaharah atau bersuci, pengurusan jenazah, zakat, puasa, haji, dan muamalah.

Pada pasal-pasal berikutnya, mushannif juga menjelaskan perihal pembahasan terkait akhlak dan tasawuf. Di antaranya beliau menjelaskan terkait berbagai sifat terpuji dan tercela, hingga berbagai bentuk maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh. Semuanya dijelaskan dengan cukup rinci dan lugas.

Hal ini beliau lakukan semata-mata supaya setiap muslim dapat mengetahui apa saja yang perlu dijauhi dari berbagai maksiat yang ada, karena tidak sedikit orang yang sering terjerumus ke dalam dosa yang tidak dirasakannya.

 

Sumber:

Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, Mirqah Shu’ud at-Tashdiq fi Syarh Sullam at-Taufiq (Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah Indonesia tahun 1357 Hijriah).

Leave a Response