Satu lagi tradisi umat Islam di Indonesia selepas bulan Ramadhan, yaitu halal bihalal. Ya, dikatakan tradisi karena hanya di negara ini tradisi yang digagas oleh KH Wahab Chasbullah itu ditemukan. Begitulah cara mereka menerjemahkan ajaran Islam tentang memaafkan dalam budaya dan tradisi mereka. Tidak ada yang salah dengan tradisi tersebut selagi tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan Islam.
Jika inti halal bihalal itu silaturahim dan saling memaafkan, tentu Al-Qur’an telah menjelaskan banyak hal tentang ini. Menginisiasi untuk menyambung tali silaturahim atau menyambungkan kembali tali silaturahim yang telah putus adalah salah satu ajaran yang disampaikan Al-Qur’an. Tengoklah firman Allah SWT.:
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Q.S. Al-Ra`d [13]: 21).
Preposisi “wawu” (dan) pada awal ayat ini menunjukkan bahwa uraian yang disampaikannya masih dalam rangkaian tema pembicaraan pada ayat sebelumnya. Jika kita tengok ayat sebelumnya, ternyata ayat-ayat ini sedang membicarakan karakteristik Ulul Albab, di antaranya disampaikan oleh ayat ini.
Di antara karakteristik Ulul Albab adalah “yashiluna ma amarallah ay-yushala bih” (menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan). Tidak sedikit kitab tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ungkapan ini adalah silaturahim. Silaturahim adalah bagian karakteristik Ulul Albab yang bertalian dengan kebajikan terhadap sesama. Bagian lainnya adalah kebajikan terhadap Allah SWT.
Dasar yang dipakai oleh kitab-kitab tafsir (Mafatih al-Ghaib) di atas adalah sabda Nabi SAW.:
“Pada hari kiamat, akan ada tiga yang menyampaikan pengaduan. Silaturahim akan mengadu, “Ya Tuhanku, aku telah diputuskan.” Amanat akan mengadu, “Ya Tuhanku, aku telah dicampakka.” Nikmat akan mengadu, “Ya Tuhanku, aku telah diingkari.”
Kata “yashiluna” (menghubungkan, berasal dari kata ”washala”) adalah fi`il mudhari`. Pemilihan bentuk kata seperti ini memberikan pemahaman bahwa menghubungkan tali silaturahim harus menjadi karakter yang tetap dimiliki oleh Ulul Albab, sekarang maupun akan datang, serta harus senantiasa dipertahankan (kontiunitas). Pemahaman ini diperoleh dengan mempertimbangkan konsekuensi makna yang dilahirkan oleh fi`il mudhari`.
“Sesuatu” (ma) adalah kata yang digunakan untuk menunjuk yang umum, bisa apa saja, asal terkait dengan silaturahim. Tengok penjelasan ulama tafsir Al-Maraghi tentang sesuatu ini: “Memperlakukan kerabat dengan kecintaan dan kebaikan, memenuhi kebutuhan mereka, dan membantu memberikan solusi atas kesulitan mereka. Semuanya dilakukan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.”
Menarik memperhatikan ungkapan “apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan”. Tidak semua upaya menyambungkan sesuatu yang terputus dilakukan secara benar (halal). Perintah Allah yang dimaksud di sini tentu berkait dengan upaya merekat dan memupuk persaudaraan antar sesama. Upaya penyambungan yang dilakukan secara tidak benar pasti tidak akan mencapai tujuan silaturahim itu sendiri.
Nah, jika halal bihalal diisi dengan apa yang diuraikan di atas, maka tradisi ini tidak saja penting, tetapi juga berdasar pada Al-Qur’an. Karenanya, halal bihalal bukan sebatas bersalaman, tetapi yang lebih substansial adalah melapangkan dada untuk memaafkan kesalahan orang lain, kerendahan diri untuk memohon maaf atas kesalahan diri, dan—yang paling penting—membebaskan orang lain dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, tentu saja dengan batas kemampuan yang dimiliki.
Yang menarik, ayat ini menjadikan silaturahim—dalam arti yang seutuhnya—sebagai salah satu ciri kelompok pilihan yang dinamakan Ulul Albab. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kejernihan sanu bari (lubb-albab).
Memang, melapangkan dada untuk memaafkan kesalahan orang lain, kerendahan diri untuk memohon maaf atas kesalahan diri, dan membebaskan orang lain dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya hanya bisa dilakukan orang yang hatinya jernih. Terkadang, keangkuhan diri dan kesombongan jiwa membuat orang jumawa untuk melakukan hal-hal di atas.
Dengan demikian, tradisi halal bihalal tidak dapat dilepaskan dari hakekat silaturahim itu sendiri. Artinya pula, tradisi ini adalah salah satu upaya untuk saling membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi sesama.
Ini sesuai dengan makna “halla-yahullu-halalan” (mengurai, melepaskan ikatan, dan meluruskan benang yang kusut). Jangan pisahkan tradisi itu dari hakekat silaturahim jika tidak mau tradisi ini menjadi upacara yang hambar dan tuna makna.
Halal bihalal berarti mengurai kekusutan hubungan dengan orang lain; Halal bihalal berarti melepaskan ikatan kesombongan diri sehingga berkenan memohon maaf kepada orang lain; Halal bihalal berarti melapangkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain; Halal bihalal berarti melepas ikatan kesulitan orang lain; Halal bihalal berarti memupuk persatuan dan kebersamaan.
Demikian tafsir Al-Qur’an tentang semangat tradisi Halal Bihalal terutama dalam momentum lebaran Idul Fitri sebagaimana ramai dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.