Fenomena globalisasi yang dimediasi oleh perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah mempercepat proses transformasi sosial dalam segala aspek kehidupan masyarakat meliputi sosial, kultural, ekonomi, dan politik, tak terkecuali kehidupan beragama. Anggapan umum yang menyatakan bahwa globalisasi menciptakan masyarakat tunggal dan homogen dalam suatu pola budaya kosmopolitan yang universal, tidaklah sepenuhnya benar.
Perkembangan teknologi informasi yang berbasis komputer dan internet sebagai instrumen global, justru memfasilitasi bangkitnya identitas kultural dan gerakan-gerakan keagamaan sebagai sumber makna yang penting dalam berperilaku dan membangun relasi sosial.
Fenomena hijrah sebagai suatu bentuk kesadaran untuk kembali dan menjalani cara hidup yang baik dalam tuntutan agama (Islam), terutama di kalangan muda Islam, justru semakin masif dan membentuk komunitas-komunitas tipikal yang melibatkan berbagai kalangan public figure seperti artis, atlet, musisi, kelompok-kelompok hobi, bahkan sampai kepada kelompok yang dikategorikan pelaku penyimpangan (preman).
Terutama di kota-kota besar yang diwarnai oleh gaya hidup modern dan budaya kosmopolitan, gerakan hijrah ini semakin meluas dan membentuk suatu komunitas yang terorganisir. Gerakan ini bukan hanya sekedar ditunjukkan dalam bentuk ritual keagamaan, tetapi juga mendorong terjadinya transformasi dalam aktivitas ekonomi, budaya, seni, gaya hidup, konsumsi, yang dilandasi oleh pemaknaan hidup berbasis nilai-nilai keagamaan.
Bersamaan dengan fenomena tersebut, hadir figur-figur pembimbing agama (ustad) yang berpendidikan tinggi, berwawasan luas dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Mereka semakin menguatkan dan menyatukan kalangan muda perkotaan dalam pola perilaku normatif yang khas dalam bingkai kesalehan, baik kesalehan ritual yang ditunjukkan oleh kepatuhan dalam menjalankan ibadah-ibadah formal (mahdhoh) seperti salat, puasa, zakat, dan haji/umrah; maupun kesalehan sosial yang ditunjukkan dalam bentuk hubungan-hubungan sosial kemanusiaan di bidang politik, ekonomi, kultural, dan kepedulian sosial.
Untuk memahami fenomena hijrah di kalangan muda perkotaan, Tim Peneliti yang terdiri dari Aris Munandar dan Didid Haryadi dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia melakukan penelitian terhadap dua komunitas hijrah: “Terang Jakarta” dan “Shift Bandung” sebagai representasi dari gerakan hijrah di era global dan milenial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pola-pola dakwah yang dilakukan oleh mereka serta menggali makna dan pengalaman praktik terkait kesalehan sosial. Penelitian tentang kesalehan sosial tidak berangkat dari konsep-konsep dan indikator-indikator obyektif, tetapi kesalehan sosial yang dikonstruksi atas dasar perspektif subyek/partisipan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berusaha memahami dan menggambarkan realitas secara natural dan komprehensif.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pola-pola dakwah yang dikembangkan oleh kedua komunitas tersebut secara umum ada kesamaan dan perbedaan. Kesamaan: pola dakwah yang dilakukan oleh kedua komunitas tersebut lebih memprioritaskan kalangan muda sebagai target dakwah.
Ada beberapa kategori target dakwah: beragama Islam tapi tidak mengamalkan Islam; beragama Islam tapi tidak berpihak pada Islam; beragama Islam dan menjalankan syariat tapi hanya untuk pribadi; serta mereka yang beragama Islam dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam.
Secara struktural mereka dikelompokkan berdasarkan peran-peran dalam dakwah. Terutama kategori kelompok yang komitmen dan berpengetahuan dibina menjadi kader-kader yang diharapkan menjadi pelaku-pelaku dakwah.
Media sosial terutama Youtube, Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp menjadi instrumen penting dalam menyampaikan pesan-pesan moral keagamaan, sementara pengajian tatap tatap muka yang dibimbing langsung oleh para ustaz dilakukan secara terprogram dan dalam momentum-momentum khusus.
Sedangkan beberapa perbedaan dalam pola dakwah yang dilakukan terutama dalam pelibatan aktor atau public figure. Terang Jakarta menjadikan selebritas dari kalangan artis sebagai daya tarik atau memberikan dukungan bagi aktivitas dakwah.
Sementara Shift Bandung cenderung lebih melibatkan tokoh-tokoh dari suatu komunitas musik, budaya, olah raga, bahkan ketua geng sebagai “magnet” yang diharapkan dapat menarik anggota-anggota atau para simpatisan mereka untuk hijrah: kembali menempuh jalan yang baik berdasarkan tuntunan agama (Islam).
Perbedaan yang lain adalah dalam hal aktivitas ekonomi. Terang Jakarta merambah pada arena bisnis terutama produk minuman, kafe, dan umrah dengan memberikan sentuhan yang Islami. Sedangkan Shift Bandung tidak menjadikan bisnis sebagai bagian dari core (inti) dakwah. Bisnis dilakukan secara individual atau kelompok tetapi tidak dalam kendali organisasi. Bisnis hanya menjadi ajang atau momen untuk mempromosikan keberadaan komunitas mereka.
Dalam aspek kesalehan sosial, kedua komunitas cenderung mempunyai persepsi dan pengalaman praktik yang relatif sama. Bahwa kesalehan ritual dalam bentuk penyembahan kepada Tuhan secara vertikal-transendental tidak memiliki makna jika tidak diikuti oleh hubungan sosial kemanusiaan yang baik dalam bingkai kesalehan sosial. Karena itu, kesalehan sosial tidak dapat dipisahkan dari kesalehan ritual atau hubungan vertikal dengan Tuhan.
Kesalehan sosial dipresentasikan antara lain dalam bentuk kepedulian terhadap sesama terutama terhadap kalangan yang tidak beruntung, juga terhadap lingkungan. Namun, aspek yang paling sensitif dari sikap kesalehan sosial ini terutama dalam hubungannya dengan kelompok agama lain dalam bingkai toleransi atau dengan negara dalam konteks demokrasi.
Kedua komunitas berpendapat sama bahwa hubungan dengan kelompok agama yang berbeda harus dijalin dengan baik dalam bingkai hubungan sosial kemanusian yang universal, tanpa harus mencampuradukkan keyakinan keimanan dan ritual-ritual keagamaan yang prinsip. Intinya bersepakat dalam hal-hal yang umum tetapi saling menghormati dalam hal-hal yang khusus menyangkut keimanan dan ritual keagamaan.
Sedangkan dalam konteks politik kenegaraan, mereka mengakui dan mendukung sistem politik yang ada dalam tatanan demokrasi yang mengutamakan kejujuran dan kebenaran universal. Bahwa negara harus menjamin kebebasan beragama dan mengekspresikan keyakinan agamanya dalam ritual ibadah dan muamalah.
Selain itu, negara juga harus memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan keagamaan yang mendasar sebagai bagian dari identitas kolektif mereka dalam konteks keagamaan. Misalnya kemudahan membangun sarana ibadah, sarana pendidikan, dan sarana-sarana lainnya yang mendukung pelaksanaan ibadah mereka sebagai umat beragama.
Fenomena gerakan hijrah yang disertai dengan meningkatnya perilaku kesalehan sosial dalam arus globalisasi, menggambarkan bahwa manusia adalah subyek yang berpikir, merasakan, dan bertindak secara rasional. Termasuk juga mampu memilih dan memilah kondisi sosial yang terjadi seiring dengan transformasi sosial yang didorong oleh arus global dengan perangkat teknologi informasi dan telekomunikasi yang semakin canggih.
Nilai-nilai agama menjadi pengendali sosial yang mampu memfilter pengaruh-pengaruh negatif yang dibawa oleh peradaban modern. Karena itu, negara melalui kebijakannya harus membangun perangkat aturan yang memfasilitasi dan memperkuat gerakan-gerakan moral sehingga bisa mengarahkan perkembangan teknologi pada kemajuan yang paripurna dan seimbang antara pembangunan fisik, ekonomi, politik, sosial-kultural dan keagamaan.
Baca hasil penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag