Tafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara yang secara utuh membahas satu mushaf adalah karya ulama Aceh Abdur Rauf bin Ali Al Jawi Al Fansuri As-Singkili. Ia lebih dikenal dengan sebutan nama Abdur Rauf Singkel. Karya tafsir ulama Nusantara itu bertajuk Tarjuman Al-Mustafid yang terbit pada abad ke-17.
Kemudian pada paruh abad ke-19 muncul seorang ulama ternama kelahiran Banten yang bernama Syekh Nawawi Al-Bantani. Ia menulis tafsir dengan judul Tafsir Marāh Labid (مراح لبيد) atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Munir yang terdiri atas dua jilid.
Syekh Nawawi menulis kitab tafsir tersebut atas permintaan beberapa murid dan teman teman dekatnya yang menghendakinya menyusun sebuah kitab tafsir. Ia pun berpikir setiap zaman memerlukan pembaruan dalam ilmu.
Itulah mengapa ia hanya melakukan cara baru dalam menyampaikan ilmu dan tidak menambah apapun kepadanya. Dengan begitu, lahirlah sebuah tafsir yang dinamainya Marah Labid Li Kasyf Ma’na Alquran Al Majid (مراح لبيد لكشف معنى القران المجيد).
Syekh Imam Nawawi al-Bantani mempunyai nama lengkap Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia lahir di kawasan Tanara, Serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Ayahnya bernama Syekh Umar al-Bantani yang merupakan sosok ulama yang mempunyai nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon).
Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, Tauhid, Al-Quran dan Tafsir.
Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Nawawi kecil berguru kepada KH Sahal. Gurunya merupakan salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian ia melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.
Pada usianya yang belum genap lima belas tahun, Nawawi muda telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian ia mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak.
Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, ia kemudian menunaikan haji lalu berguru kepada sejumlah ulama masyhur di Mekkah saat itu. Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, pada tahun tahun 1828 M, Syekh Nawawi akhirnya kembali pulang ke Banten. Sampai di tanah air, beliau menyaksikan masih banyak praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Dengan melihat realita begitu zalimnya, gelora jihad pun berkobar.
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi geraknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid.
Bahkan, belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika itu sedang sedang terjadi perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825-1830 M). Hingga akhirnya beliau kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda.
Peristiwa ini tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di Mekkah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.
Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi’ib ‘Ali, Mekkah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya hanya puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin masyhur ketika ia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram. Dirinya menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja, ia dikenal di negeri Suriah, Mesir, Turki, bahkan hingga di Hindustan namanya begitu masyhur.
Dari segi teknik penafsiran, sebagian peneliti mengkategorikan Marah Labid menggunakan metode ijmali (global). Sebagian peneliti lain mengklaim bahwa kitab tafsir ini memakai metode tahlili (analisis).
Tidak sedikit peneliti juga mengatakan Marah Labid menggunakan kombinasi antara keduanya. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa karya Syekh Nawawi itu menggunakan teknik ijmali, didasari oleh penjelasan yang sederhana dan mudah dipahami.
Penafsirannya pun berdasarkan urutan ayat. Dari sini para peneliti menduga bahwa Marah Labid menggunakan metode ijmali. Berbeda jika dilihat dari susunan yang sistematika mengikuti mushaf Al-Qur’an dan peninjauan yang secara menyeluruh dari berbagai segi, Tafsir Marah Labid layak dikatakan menggunakan metode tahlili. Maka dari itu, dari alasan keduanya, ada yang berhipotesa bahwa tafsir ini menggunakan kombinasi antara tahlili bi al-ma’tsur dan ijmali.
Marah Labid ditulis menggunkan sistematika seperti Al-Qur’an. Dimulai dari Surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Pada jilid pertama dimulai dengan Surah al-Fatihah sampai dengan Surah al-Kahfi. Pada jilid kedua, dimulai dengan surah Maryam sampai dengan Surah an-Nas.
Di setiap pembahasannya, akan diawali dengan muqadimah, lalu basmalah, hamdalah dan shalawat, seperti kitab tafsir lainnya. Ditulis berdasarkan teori umum yang meliputi kaidah-kaidah lafal dan makna, yang mengacu pada penjelasan bahasa atau al-manhaj al-kalamy.
Dalam kitab ini, sebelum ditulis penafsiran, Syeikh Nawawi memulainya dengan menjelaskan identitas surah, seperti nama surah, makiyyah atau madaniyah-nya, jumlah ayat, kalimat dan hurufnya.
Barulah setelah itu beliau menjelaskan penafsiran secara ayat perayat dengan bahasa yang ringas, jelas dan mudah dimengerti. Selain dari bahasa yang digunakan, keistimewaan Marah Labid terletak pada kekhasannya menyebutkan makna surah dan nama-nama lainnya, serta menjelaskan tema-tema dari setiap surah yang dibahas.
Corak penafsiran Syekh Nawawi dipengaruhi oleh keluasan ilmunya yang meliputi berbagai bidang ilmu keislaman. Hal ini terlihat dengan banyaknya karya yang beliau hasilkan dalam berbagai bidang ilmu tersebut.
Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati berbagai aspek kajian di dalamnya. Mustamin menyingkap setidaknya lima bidang ilmu, yaitu: Ulum Al-Qur’an, Ilmu bahasa (Nahwu, Shorof, dan Balaghah), Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam (Teologi), dan Tasawuf.
Corak tafsir yang ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah corak fikih, ilmi, dan adabi ijtima’i. Dalam menjelaskan suatu hukum, biasanya ia menjelaskan dengan menggunakan paparan yang jelas dan cenderung kepada mazhab Syafi’i. Sekalipun dalam menafsirkan beberapa ayat tersebut ia juga pernah mengutip pendapat mazhab lain.
Tidak menutup kemungkinan ia menggunakan pendekatan fikih dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan keahliannya dalam bidang tersebut. Sehingga sebagian besar hasil karyanya berbicara tentang fikih dan akhlak, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat.
Referensi
Bahary, Anshor. 2015. Tafsir Nusantara: Studi Kritis terhadap Marah Labid Nawawi al-Bantani. Ulul Albab. 16 (2). 176-190
Hakim, Ibn. Laduni Profil Ulama, Biografi Syekh Imam Nawawi Al-Bantani, 2020
Masnida. 2016. Karakteristik dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Jurnal Darussalam. VIII (1). 189- 201
Parhani, Aan. 2013. Metode Penafsiran Syekh Nawawinal-Bantani dalam Tafsir Marah Labid, Tafsere. 1 (1). 1-22.