Burung dalam tradisi sufisme dianggap sebagai perlambang spiritualitas. Setidaknya Javad Nurbakhsy, penulis Psikologi Sufi mengungkapkan pengalaman murid tarekat selalu dihubungkan dengan simbolisasi burung. Pertemuan atau perasaan para murid di dalam mimpi spiritualnya menjadi penanda bagi mursyid, guru, untuk memhami sampai dimana tingkat keruhaniannya.
Tentu saja, maestro Faridudin Attar mengabadikan tamsil burung di dalam bukunya Musyarawarah Burung (al mantiqutthoir), bagaimana dimensi itu berdialog sedemikian rupa. Pertemuan bermacam unggas terbang tersebut, mulai dari burung Gereja sampai dengan Simurgh. Simurgh sendiri dianggap sebagai perlambang tertinggi, bahkan semua burung mengimpikan bertemu dan menyatu dengannya.
Simurgh, ada yang memersamakan dengan Garuda. Dalam kitab Mantiqut Thair, isitilah itu diambil dari petikan ayat di Surat An-Naml, Simurgh adalah proyeksi burung masa depan, bertemu dengannya adalah tujuan akhir, sehingga diadakan musyawarah antarburung bagaimana mencapainya.
Burung Hudhud kepercayaan Nabi Sulaiman bertindak sebagai moderator, tapi sesekali memantik komentar dan ikut-ikutan memberi pendapat. Dipilihnya Hudhud karena pengalaman dan jam terbangnya, serta begitu intensnya dialog antara Raja Sulaiman dengan Hudhud. Tampaklah tingkat keruhanian seperti apa yang ditandakan melalui Hudhud, pembawa pesan tangguh, dapat menjadi mata-mata yang akurat, serta handal dalam berbagai urusan.
Burung-burung tersebut notabene manifestasi spiritualitas manusia suci, saling mendebat memuji diri, namun semakin meenunjukkan kehebatan diri malah makin tampak kekurangan mereka.
Apalagi jika berkaitan dengan mulianya Simurgh yang begitu sempurna dan mengagumkan.
Puncak dari konferensi tersebut akhirnya semua burung berangkat dengan tekad yang kuat untuk tuk bertemu dengan Simurgh. Ribuan burung terbang hanya tiga puluhan yang selamat dengan bulu-bulu yang rontok karena cuaca dan jarak tempuh melelahkan ke puncak Gunung Kaukus.
Begitulah perjalanan spiritual, keruhanian itu haruslah melalu latihan batin dengan cara berbeda antarsalik. Seorang pencari akan mendapatkan pernak pernik sayap, keindahan bentuk masing-masing, serta kemampuan terbangnya mengitari makrifat. Nanti pada tahapan tertentu, di etape khusus, terjadi musyawarah antarpenanda. Mungkin demikian yang dialami oleh para pencari kesejatian diri, atau entah apa namanya dalam berbagai tradisi.
Walakhir, tamsil di dunia sufisme tidak hanya burung, ada juga lautan, danau dan sungai seperti yang terjadi dalam pertemuan Jalaludin Rumi dengan Ibnu Arabi. Sampai jumpa di cerita tamsilan yang lain.