Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Pendidikan multikultural menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip- prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima serta memahami dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.

Dalam kerangka James Banks (An Introduction to Multycultural Education 2nd edition, 1999), pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Intergration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya baik teori maupun realisasi dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).

Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, agama ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.

Oleh karena itu pendidikan multikultural memerlukan sebuah metode dan juga pendekatan agar terimplementasi dengan baik sesuai tujuan pendidikan itu sendiri. Mengacu pada Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “ menara gading “ yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.

Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, buka sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialami.

Berangkat dari alas pijak itulah maka perlu memahami metode-metode apa saja yang dapat digunakan dalam penerapan pendidikan multikultural, sekaligus juga pendekatan yang dapat kita gunakan dalam implementasinya. Dalam makalah singkat inilai kedua hal tersebut akan diuraikan.

Dalam implementasinya, sebagai sebuah konsep, multikulturalisme tentu harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum pendidikan agar aplicable.  Merujuk pada pengalaman di sejumlah Negara,  pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang beragam.

Allison Cumming, McCann dalam “Multicultural Education Connecting Theory to Practice”(Vol. 6, Issue B Feb., NCSAAl, 2003), menyebut beberapa  metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, Metode Kontribusi. Metode ini diterapkan dengan mengajak pembelajar berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain yang berbeda dengan dirinya. Dalam implementasinya yang lebih praktis, metode ini antara lain diterapkan dengan menyertakan peserta didik memilih buku bacaan bersama dan  melakukan aktivitas bersama.

Selain itu, siswa juga diajak mengapresiasi event-event keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pengampu pendidikan (kepala sekolah, guru)  bisa melibatkan peserta didik di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan event-event tersebut. Dalam hal tertentu peserta didik juga dapat dilibatkan untuk mendalami sebagian kecil dari kepelbagaian dari setiap tradisi kebudayaan maupun keagamaan.

Lembaga pendidikan yang telah menerapkan metode kontributif ini salah satunya adalah Global Sevilla School yang berada di Pulo Mas, Jakarta Timur dan Puri Kembangan, Jakarta Barat. Sekolah yang didirikan oleh tiga cendikiawan keagamaan Indonesia, yakni: Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Gede Natih dan Sudamek AWS ini sejak awal melibatkan siswa-siswi yang berlatar etnik, budaya, dan agama yang berbeda untuk saling berkontribusi dalam setiap perayaan keagamaan. (Lihat, http://globalsevilla.org/pages/view/1/history)

Dalam awal-awal implementasinya, sekolah yang didirikan pada tahun 2002 ini tidak sedikit memeroleh kritik terkait dengan metode kontributif dalam penerapan persepektif multikulturalisme ini. Namun, seiring berjalannya waktu tidak hanya antar siswa-siswi yang terlibat, tapi juga para orang tua dari siswa juga turut berperan serta setiap ada event keagamaan di sekolah tersebut.

Keterlibatan orang tua menjadi hal menarik karena mereka tidak hanya hadir menyaksikan, tetapi juga berkontribusi dalam ragam kegiatan anak-anak mereka. Ini memungkinkan visi penggunaan pendekatan multikulturalisme tidak hanya menyentuh siswa/siswi tetapi juga para orang tua.

Kedua, Metode Pengayaan. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur, etnis atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya dengan mengajak peserta didik menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi peserta didik tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti tata cara atau ritual  ibadah, pernak-pernik dalam ritual ibadah, pernikahan, dan lain-lain.

Metode pengayaan ini salah satunya diterapkan oleh Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) dalam mata kuliah Studi Agama. Program yang secara khusus hasil kerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini dalam menghelat mata kuliah studi agama berbeda dengan di kampus-kampus lain. Di kampus lain pada umumnya, mahasiswa akan mendapatkan mata kuliah agama sesuai keyakinannya dan diajarkan oleh pengajar yang seagama.

Dalam program yang dilaksanakan UPJ dan ICRP ini seluruh mahasiswa, apapun agamanya, berhak mengikuti mata kuliah studi agama secara bersama-sama. Pengajarnya pun beragam latar belakang agama. Ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, bahkan Penghayat Kepercayaan.

Untuk memperkaya wawasan dan persepektif mahasiswa, pengampu program ini mengadakan ekskursi dengan mengajak mahasiswa mengunjungi 8 (delapan) rumah ibadah yang berbeda. Tahun ini misalnya, kunjungan tersebut dihelat pada 11 dan 18 Oktober 2018 lalu. Sebanyak 171 mahasiswa mengunjungi masjid Istiqlal, gereja Katedral, gereja Imanuel, Gurdwara Sikh, Klenteng Boen Tek Bio, Lithang Kong Cu Bio, Vihara Ekayana, dan Pura Parahyangan Jagat Guru.

Acara tersebut bertujuan untuk memperkenalkan keragaman budaya dan agama kepada peserta didik sebagai sarana untuk memperkaya wawasan mereka tentang kebhinekaan.

Metode ini juga tak luput dari kritik. Misalnya ada sejumlah mahasiswa yang khawatir justru mengalami pendangkalan iman. Namun dalam pelaksanaannya yang sudah berjalan selama tiga tahun ini, jika melihat tulisan refleksi para mahasiswa, justru mereka mengaku mendapatkan banyak pengkayaan tanpa harus kehilangan keimanan dan keyakinannya. Di antara mereka juga berkeinginan melanjutkan kegiatan serupa di luar kegiatan kampus.

Ketiga, Metode Transformatif. Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan peserta didik  melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.

Jika pada metode pengkayaan lebih banyak menggali titik-temu dari etnisitas, budaya dan agama, maka dalam metode transformative justru sebaliknya: menelanjangi nilai-nilai “negative” dari budaya, etnik dan juga agama.

Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan peserta didik untuk memahami isu dan persoalan dari sejumlah perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal”, “poligami”, “jihad”, “trinitas” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.

Beberapa lembaga yang menerapkan metode ini dalam studinya adalah Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Program Studi Agama dan Perdamaian ICRP. Kedua lembaga ini secara berkala menggelar studi-studi lintas budaya dan agama dengan, salah satunya,  menggunakan metode transformative. (http://crcs.ugm.ac.id/pluralism).  Selain metode transformative, program yang dihelat ICRP juga menggunakan persepektif pluralism dan perennialisme.

Keempat, Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial. Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata di masyarakat, yang pada gilirannya bisa berdampak terjadinya perubahan sosial. Peserta didik tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu. Artinya, peserta didik tidak hanya berhenti pada penguasaan teori, tapi juga terjun langsung di masyarakat untuk menerapkan teori-teori yang mereka peroleh dari ruang pendidikan.

Metode ini memerlukan peserta didik tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika keterbelakangan, ketertindasan, atau ketidakadilan,  tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial.

Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan kepada peserta didik untuk berpikir dan memiliki kemampuan mengambil keputusan guna  memberdayakan dan membantu mereka mendaptkan sense kesadaran terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat dan turut berperan serta dengan aksi-aksi nyata.

Dalam praktiknya, tentu tidak semua metode tersebut diterapkan oleh satu lembaga pendidikan sekaligus. Ada beberapa lembaga yang hanya menerapkan dua atau tiga metode saja, bahkan ada pula yang hanya satu metode saja. Hal itu terkait dengan kesiapan sumberdaya manusia dan pra-sarana dan sarananya di masing-masing lembaga pendidikan.

Leave a Response