Potret Marsekal Muda TNI (Purn) Teddy Rusdy dengan sederet prestasi di dunia intelejen telah tersiar luas. Karier Teddy Rusdy di dunia militer serta pengabdianya untuk negeri telah termaktub di buku-buku sejarah. Tak ada yang bisa memungkiri kepiawaiannya di bidang intelejen sampai saat ini.

Semasa hidupnya, Teddy dikenal sebagai sosok yang berhasil membangun suatu sistem intelijen yang solid, terpusat, reliable, akurat, relevan, dan timely untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keberhasilannya dalam operasi pembebasan Woyla, membuat pamornya melonjak, ikut terkerek naik bersama atasannya, Benny Moerdani.

Namun, tak banyak yang menulis tentang kiprahnya dalam mengembangkan pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren. Padahal, keinginannya melahirkan generasi muda muslim yang mapan dalam ilmu agama begitu kuat terpatri di sabunari.

Ikhtiar Mendirikan Pesantren

Darah pejuang dan kepedulian terhadap pengembangan pendidikan Islam telah mengalir dari kakeknya dari pihak ibu, Haji Muhammad Zis atau akrab disapa Yai Zis. Sang kakek adalah seorang aktivis Sarekat Islam (SI) di Banten. Ia sempat diasingkan ke Boven Digul, Papua, pada 1929-1949 akibat perjuangan dan gerakannya bersama para kiai yang dinilai anti-Belanda.

Memang minim sekali data tertulis yang menunjukkan ghirah-nya kepada pengembangan pesantren dan pendidikan Islam. Sebab, Teddy Rusdy lebih dikenal sebagai sosok yang sangat mumpuni di dunia intelejen. Meskipun demikian, simpati dan dukungan moral dan materiel terhadap para santri atau mahasiswa muslim yang tengah menempuh pendidikan tinggi di UIN Jakarta, misalnya, menunjukkan sosok Teddy Rusdy yang penuh perhatian terhadap pendidikan Islam.

Kepeduliannya itu ia tunjukkan dengan mendirikan Pesantren Siti Dhumillah yang bertempat di Cijeruk, Bogor. Cikal bakal pendirian padepokan santri itu dideklarasikan pada 11 Mei 2014, bertepatan dengan perayaan ulang tahunnya yang ke-75. Dalam perjalanannya kemudian, sederet kendala dan hambatan mengganjal laju mulusnya pendirian pesantren yang berdiri di atas tanah seluas 3,5 hektare itu. Hingga wafatnya, Teddy Rusdy belum sempat merealisasikan cita-citanya itu.

Sang istri, Sri Teddy Rusdy, bertekad menunaikan cita-cita sang suami yang belum sempat terwujud itu. Selang 40 hari wafatnya sang suami, Sri Teddy memulai langkah-langkah kelanjutan membangun pesantren. Ia lalu bersafari ke beberapa wilayah, menemui sejumlah kiai dan tokoh muslim, guna berkonsultasi dan meminta nasihat terkait rencananya itu. Lalu pada 25 April 2019, prasasti Padepokan Santri Selogiri “SITI DHUMILLAH” mulai terpampang di gerbang masuk area pondok. Dan, pada 29 Oktober 2020 silam, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di pesantren telah berlangsung, dimulai dengan mengasuh 50 orang santri putra-putri yang terdiri dari anak-anak yatim dan dhuafa tanpa biaya sepeser pun.

Ikhtiarnya membangun pesantren adalah keingannya untuk melahirkan generasi islami serta membentengi generasi muda muslim agar terfokus kepada cita-cita perjuangan Islam yang memberi rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Saat yang sama, agar mereka tak gampang terpapar virus intoleransi yang menyebar ke seantero negeri yang berpotensi mengerogoti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upayanya ini sangat maklum, sebab sebagai prajurit, Teddy Rusdy mengenal betul berbagai anasir dan kekuatan yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keutuhan Republik Indonesia.

Utamakan Esensi, Jauhi Keramaian

Teddy Rusdy bukanlah sosok yang menggandrungi keramaian. Ia tak memerlukan pencitraan, status, apalagi pujian dari khalayak ramai. Ia lebih senang berada di belakang layar ketimbang tampil di hadapan. Ia lebih memilih bersembunyi, tak suka menonjolkan diri. Karakter Teddy Rusdy ini, dalam kesan sang istri, Sri Teddy Rusdy, sebagaimana terekam dalam Bintang Sakti Maha Wira buat Mas Teddy, serupa Sukasrana, tokoh dalam pewayangan yang bersosok baik, sakti, dan berwatak mulia.

Setiap berkesempatan menghadiri Kajian Titik Temu atau agenda diskusi lain yang digelar Nurcholish Madjid Society (NCMS) di Omah Btari Sri atau di Aula Gedung STR, Teddy Rusdy memilih mematau dari kursi paling belakang. Ia sadar, jika duduk di kursi depan, banyak yang berebut menyalaminya atau sekadar berdiri untuk menyapanya, sebab ia dikenal sebagai sosok penting dalam perjalanan NCMS hingga saat ini. Ia tahu, seandainya maju ke muka, tentu akan menyita perhatian banyak orang dan lantas menganggu khidmatnya acara. Sesuatu yang sama sekali tak disukainya, sebab bukan merupakan karakter dirinya.

Meski jauh di belakang, ia selalu antusias menyimak jalannya setiap diskusi. Usai acara, ia selalu meminta salinan makalah agar dapat membaca ulang setiap inti pemikiran narasumber kajian secara lebih seksama. Kebiasaan itu sekaligus menunjukkan antusiasme Teddy Rusdy kepada ilmu pengetahuan. Ia tak luput memberi catatan atau komentar atas makalah yang ia baca.

Dalam buku 70 Tahun Teddy Rusdy: Think Ahead, Servas Pandur menulis bahwa kebiasaan mencatat hal-hal penting ini telah menjadi hobinya sejak muda. Selain itu, Teddy Rusdy juga dikenal senang melahap berbagai bacaan mulai dari fiksi petualangan hingga biografi tokoh sebagai masukan untuk memperkaya imajinasi, mempertajam analisis, dan memperluas khazanah pengetahuannya.

Berkah dari kebiasaan membaca dan mencatat hal-hal penting itu membuahkan kecermatan analisis Teddy Rusdy atas peristiwa Malari 1974. Kecakapan Teddy Rusdy—kala itu berpangkat Mayor Udara—inilah yang mengantarkannya berkenalan dengan Mayjen TNI L.B. Moerdani, Asisten Intel Hankam/Kopkamtib. Bahkan, saking memukaunya analisis dan pemaparan Teddy Rusdy kala berbicara di Sesko ABRI, KSAU RI Marsekal TNI Mohamad Saleh Basarah, menilai Mayor Udara Teddy Rusdy sebagai prajurit yang sangat disiplin dalam menjalankan tugasnya, cerdas, dan bertanggung jawab.

Begitulah sosok rendah hati dan penuh empati, dari seorang Teddy Rusdy. Meskipun banyak kalangan tahu bahwa sumbagsih dan dukungannya dan istrinya, Sri Teddy Rusdy, begitu besar terhadap institusi yang memiliki misi menyebarluaskan pemikiran Cak Nur, namun ia  pantang meminta balasan hormat. Sikap semodel itu tak ada dalam kamus hidupnya. Ia senang memberi dukungan, selalu bersedia dimintai pendapat, tetapi paling alergi dipuji secara berlebihan. Teddy Rusdy adalah sosok yang mengutamakan esensi serta substansi, dan memilih menjauhi ingar bingar atau keramaian.

Baginya, berbagi dan bersama-sama menciptakan maslahat merupakan tugas profetik yang harus dilakoninya sebagai hamba Tuhan yang kebetulan diberikan amanah berupa kemampuan dan kekuatan. Apalagi guna mendukung penyebaran gagasan seorang pemikiran yang ia kagumi, Cak Nur.

Sebagai seorang muslim, Teddy Rusdy tentu mendambakan Islam yang menampilkan wajah ramah, menebarkan kedamaian, menggalang persatuan dan kesatuan antar-warga dengan latar belakang agama dan keyakinan yang beragam, di mana narasi Islam yang digaungkan selaras dengan Pancasila dan UUD RI 1945. Artikulasi Islam seperti ini sangat sejalan dengan pemikiran Sang Guru Bangsa, Cak Nur.

Bulan ini, bertepatan dengan peringatan 1000 hari Almarhum Teddy Rusdy, pada 24 Februari 2021 silam, teladan dan kiprahnya layak dikenang sebagai pengingat agar kita mampu mengikuti jejak langkah, tekad, dan sumbangsihnya dalam mengembangkan pendidikan Islam serta membekali generasi muda muslim dengan ilmu agama dan wawasan keislaman yang seimbang dan moderat. []

Leave a Response