“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah/ 94: 5-6)

Ayat di atas menerangkan bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan. Buya Hamka menuturkan bahwa ini adalah sunnatullah. Ketika Nabi Muhammad saw. diberikan tanggung jawab nubuwwat, beliau merasa itu adalah suatu beban yang amat berat. Sebab, menjadi Nabi dan Rasul bukanlah perkara yang ringan dan mudah. Pasti akan banyak menghadapi tantangan dan rintangan. Beban yang berat itu dirasakan Nabi Muhammad saw. seakan-akan hendak patah tulang punggung.

Akan tetapi, beban berat yang dipikul Nabi Muhammad saw. itu beriringan pula dengan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Hingga kini, Nabi Muhammad saw. selalu dimuliakan dan disebut-sebut namanya. Itulah sunnatullah. Kemudahan selalu menyertai saat-saat dalam kesulitan. Buya Hamka menuturkan bahwa yang sulit saja tidak ada, dan begitu juga yang mudah saja pun tidak ada. Dalam susah ada senang, dan dalam senang pun ada susahnya. Itulah perjuangan hidup.

Dalam menguraikan tafsir ayat di atas, Buya Hamka mengisahkan juga pengalaman pahit yang pernah dialami semasa hidupnya. Pengalaman batin Buya Hamka saat berinteraksi dengan QS. Al-Insyirah (kelapangan) begitu meresap saat-saat berada dalam masa tahanan dua tahun empat bulan lamanya. Buya Hamka ditahan bukan karena melakukan kesalahan, melainkan ditahan secara zalim dan sewenang-sewenang oleh rezim pada masa itu.

Awal kisahnya begini. Pada 12 Ramadhan 1383 H. atau bertepatan dengan 27 Januari 1964, Buya Hamka mengadakan pengajian mingguan di Masjid Agung Al-Azhar, yang dihadiri kurang lebih 100 orang jamaah. Setelah selesai memberikan pengajian tersebut, Buya Hamka pulang ke rumahnya untuk beristirahat sembari menunggu tibanya waktu zuhur. Tidak lama beristirahat, kemudian datang empat orang polisi berpakaian preman ke rumah Buya Hamka dengan membawa surat perintah untuk menangkap Buya Hamka dengan tuduhan melakukan tindakan subversif terhadap pemerintahan Soekarno.

Setelah itu Buya Hamka kemudian dibawa ke tahanan dan dijauhkan dari keluarga serta masyarakat. Diakuinya, bahwa apa yang dialami dirinya adalah suatu kesulitan. Bahkan Buya Hamka menyebutkan bahwa dirinya bisa gila kalau seandainya beliau hanya berdiam diri saja terhadap kesulitan dan perampasan hak kemerdekaannya itu. Namun ia tetap bersyukur karena masih dianugerahkan akal sehat. Akal sehatnya itulah membuat pikirannya terus berjalan, meskipun raga terkurung. Maka ilham Allah Swt. pun datang. Dalam kondisi yang demikian itu, Buya Hamka menuturkan:

“Cepat-cepat saya baca Al-Qur’an, sehingga pada 5 hari penahanan yang pertama saja, 3 kali Al-Qur’an khatam dibaca. Lalu saya atur jam-jam buat membaca dan jam-jam buat mengarang tafsir Al-Qur’an yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan bilakah akan keluar. Akhirnya setelah terjadi kekacauan politik gara-gara Komunis pada 30 September 1965 itu dan di bulan Mei 1966 saya dibebaskan, saya telah selesai membaca Al-Qur’an sampai khatam lebih dari 150 kali dalam masa dua tahun, dan saya telah selesai pula menulis Tafsir Al-Qur’an 28 Juz. Karena 2 Juz 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum ditangkap dalam masa dua tahun. Dan kemudian itu pada tahun 1968, atau 1387 hijriyah saya dan almarhumah istri dapat naik haji. Kami bawa pula anak kami yang kelima, Irfan. Lebih dari separuh belanja perjalanan kami bertiga beranak ialah hasil honorarium (royalty) Tafsir Al-Azhar Juz 1.”

Bagi Buya Hamka, tahanan justru memberikan hikmah kepadanya. Ia sangat bersyukur karena dalam masa tahanan itulah justru ia dapat menyelesaikan sebuah karya besar, yaitu Tafsir Al-Azhar yang telah ditulis sejak tahun 1962. Dari pengalaman pahitnya itulah kita belajar, bahwa betapa sulit pun keadaan yang sedang kita alami, maka jangan pernah menyerah, apalagi sampai berputus asa. Sebab, janji Allah Swt.. adalah pasti, bahwa “beserta kesulitan itu pasti ada kemudahan”.

Bahkan Allah Swt. mengulanginya sekali lagi pada ayat ke-6 QS. Al-Insyirah, “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan”.

Buya Hamka berpesan:

“Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, fikiran mencari jalan keluar. Oleh sebab itu dapatlah diyakinkan bahwa kesukaran, kesulitan, kesempitan, marabahaya yang mengancam dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit, dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, yang dengan sendirinya menjadikan manusia itu orang yang dinamis.”

Buya Hamka mengingatkan bahwa ketegaran dalam menghadapi kondisi yang serba tidak menyenangkan itu butuh kekuatan iman dari dalam diri. Dari sinilah tampak bahwa keimanan yang kokoh menjadi kunci penting dalam meraih kemenangan. Oleh sebab itu, iman perlu dipupuk dalam dada, jangan sampai lemah iman. Sebab, lemah iman akan menyebabkan kita jatuh terperosok sebelum sampai kepada tujuan.

Buya Hamka menyebutkan bahwa kadangkala pengalaman yang pahit menjadi kekayaan jiwa tinggi mutunya. Pengalaman pahit itu justeru menjadi kenangan terindah untuk membuat hidup lebih matang. Sehingga datang suatu waktu kita mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Allah Swt.. telah berkenan mendatangkan kesulitan itu kepada kita pada masa lalu. Itulah suatu keajaiban hidup!

Leave a Response