Sunah adalah segala ucapan, perbuatan, dan pengakuan (taqrir) yang timbul dari Nabi. Ia, tentu juga Al-Qur’an, merupakan pedoman kita dalam mengarungi kehidupan. Syariat Islam diturunkan ke bumi melalui Al-Qur’an dan Sunah Nabi.
Namun, kalau kita melihatnya dari sudut pandang ushul fikih, tidak semua sunah Nabi dimaksudkan untuk tasyri’ (pensyariatan hukum). Sehingga sunah Nabi jenis ini tidak wajib kita ikuti. Lebih dari itu, bahkan ada sunah Nabi yang haram kita ikuti.
Sunah Nabi hanya bisa menjadi hujjah yang wajib kita ikuti apabila timbul dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul. Itu karena Nabi adalah manusia biasa sama seperti manusia yang lain. Hanya saja ia dipilih oleh Allah sebagai Rasul yang diutus kepada umat manusia dan mendapatkan wahyu dari-Nya.
Allah telah menegaskan ini dalam firman-Nya:
“Katakanlah (Muhammad) sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu yang telah menerima wahyu”. (QS. Al-Kahfi: 110).
Dalam kitab Ushul Fiqh Abdul Wahab Khallaf, setidaknya ada tiga kondisi di mana sunnah Nabi tidak dimaksudkan tasyri’ sehingga bukan hujjah dan tidak ada kewajiban mengikutinya.
Pertama, sesuatu yang timbul dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa (tabiat manusiawi). Semisal berdiri, duduk, berjalan, tidur, makan, minum, dan cara berpakaian. Semua ini bukan bagian dari risalah atau misi kerasulannya, akan tetapi muncul dari tabiat atau sifat kemanusiaannya sebagai manusia biasa.
Menurut mayoritas ulama, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, Ushul Fiqh al-Islami, kita sebagai umatnya tidak memiiki kewajiban mengikuti Nabi dalam jenis sunnah yang pertama ini. Sebagian ulama (qaum) ada yang menganjurkan mengikutinya.
Abdullah bin Umar adalah salah seorang sahabat yang bertekad kuat mengikuti segala hal yang timbul dari Nabi, termasuk dalam perbuatan tabiat manusiawinya. Sekiranya kita ingin mengikuti Nabi dalam jenis pertama ini, tentu itu adalah hal baik. Abdullah bin Umar telah mencontohkan itu.
Tapi jangan sekali-kali kita mencerca orang-orang yang tidak mengikuti Nabi dalam macam yang pertama ini. Apalagi sampai mengata-ngatai mereka sebagai orang yang tidak nyunnah. Ini masalah khilafiyah. Tidak perlu ada caci maki hanya karena berbeda dalam mengambil pendapat.
Kedua, sesuatu yang timbul dari Nabi sebagai keahlian kemanusiaan, kecerdasan, dan pengalamannya dalam persoalan-persoalan dunia. Semisal berdagang, bercocok tanam, mengatur pasukan dan strategi perang, dan membuat resep obat untuk suatu penyakit. Itu semua bukan bagian dari risalah atau misi kerasulannya, melainkan muncul dari keahlian Nabi dalam persoalan dunia dan kemampuan individualnya sehingga bukan bagian dari tasyri’.
Sebagai contoh, ada sebuah riwayat, pada saat perang badar, Nabi berpendapat untuk menempatkan pasukan di suatu tempat tertentu. Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah ini adalah tempat yang diwahyukan Allah kepadamu atau ini adalah pendapat dan strategi perangmu?”
Nabi menjawab, “itu adalah pendapat dan strategi perangku.”
“Kalau begitu, ini bukanlah tempat yang strategis”. Usul salah seorang sahabat tersebut.
Nabi kemudian menyetujui usulan salah seorang sahabat itu dan mengisyaratkan untuk menempatkan pasukan sesuai usulan salah seorang sahabat tersebut.
Contoh lain adalah ketika Nabi melihat penduduk Madinah mengawinkan kurma, beliau menyarankan agar tidak mengawinkannya. Benarlah mereka mengikuti usul Nabi untuk tidak mengawinkan kurmanya.
Beberapa waktu setelahnya, buah kurma mereka tidak berbuah lebat sebagaimana sebelumnya. Lalu Nabi bersabda, “kawinkanlah (kurma-kurma itu), kalian lebih mengetahui persoalan-persoalan dunia kalian”.
Ketiga, sesuatu yang timbul dari Nabi dan ada dalil yang menunjukkan bahwa itu khusus bagi Nabi dan tidak berlaku bagi umatnya. Semisal Nabi menikah lebih dari empat istri. Padahal nash menyatakan bahwa batas maksimal menikah adalah empat orang istri.
Allah berfirman:
“Maka nikahilah perempuan yang kalian senangi, dua, tiga, atau empat”. (QS. An-Nisa’ : 3).
Contoh lain adalah tindakan Nabi mencukupkan kesaksian Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari (satu orang saksi) dalam menetapkan gugatan. Padahal nash secara tegas menyatakan bahwa di dalam memutuskan gugatan harus mendatangkan dua saksi.
Allah berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Thalaq: 02).
Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesuatu yang timbul dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dalam tiga situasi di atas adalah termasuk sunnah Nabi, akan tetapi tidak dimaksudkan tasyri’ yang wajib diikuti. Selain dari itu, maka kita wajib mengikuti dan meneladani Nabi.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik”. (QS. Al-Ahzab: 21).
Wallahu a’lam.