Salah satu kunci hidup aman dan tenteram seseorang dengan orang lainnya adalah komunikasi. Melalui komunikasi, seseorang dapat merekatkan persaudaraan, pertemanan, dan mendekatkan hubungan baik.
Dalam konteks ini, tidak sedikit suatu hubungan menjadi renggang karena komunikasi. Contohnya, ketika kita berbicara kepada orang terdekat dengan nada dan bahasa emosional, lazimnya kan “bikin nggak enak hati”, maka wajar jika akhirnya hubungan tersebut menjadi renggang.
Selain itu, terkadang niat bercanda dalam sebuah perbincangan dapat berakhir menjadi “pertengkaran”. Hal demikian bisa terjadi sebab ketika kita hendak menghibur seseorang tidak sesuai situasi dan kondisi orang lain.
Oleh karena itu, dalam hal “bercanda”, kita dapat menelusuri teladan dari kisah-kisah ketika Nabi Muhammad para sahabatnya bercanda bersama. Barangkali tidak sedikit umat yang mengetahui bahwa Nabi akhir zaman itu adalah seseorang yang mempunyai ‘selera bercanda’ cukup berkelas.
Ada beberapa riwayat hadis yang menerangkan tentang peristiwa-peristiwa saat Nabi bercanda dengan kalangan sahabat.
Dalam hadis riwayat Imam Bazzar. Pada suatu hari seorang sahabat bernama Suhaib pernah bercerita ketika dirinya menemui Rasulullah Saw.
Dalam pertemuan itu, Suhaib dan Rasul berada di rumah Ummu Kultsum sedang makan kurma bersama sahabat-sahabat yang lain.
Waktu itu Suhaib sedang sakit mata sebelah, lalu Rasul berkata, “Kau tidak boleh ikut makan kurma karena matamu sedang sakit.”
”Aku masih bisa melihat kurma dengan sebelah mata yang tidak sakit,” Suhaib membela diri. Mendengar jawaban Suhaib, Nabi Muhammad pun lantas tertawa hingga tampak gigi gerahamnya.
Ada juga kisah canda Nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Al-Hakim. Suatu hari Nabi menjenguk Suhaib di rumahnya. Waktu itu Suhaib sedang makan kurma.
Kemudian Nabi pun bertanya, “Kamu masih bisa makan kurma? Padahal kan matamu sakit.”
“Aku masih bisa makan kurma dengan memakai mata sebelahku yang tidak sakit,” balas Suhaib dengan santai.
Di samping dikenal sebagai sosok yang santun, tegas, dan kharismatik, Nabi Muhammad juga merupakan sosok yang humoris dan suka bercanda dengan para sahabat-sahabatnya. Sifat humoris yang demikian ini membuat Nabi disenangi oleh sahabat dan orang lain.
Dalam peristiwa lain, sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash pernah bercerita. Pada suatu hari ketika Nabi Muhammad sedang berbincang-bincang bersama perempuan-perempuan dari Suku Quraisy, datanglah Umar bin Khattab meminta izin kepada Nabi untuk masuk. Mendengar suara Umar bin Khattab, para perempuan tersebut bersembunyi di balik tirai.
Kemudian Nabi mengizinkan Umar untuk masuk seraya tertawa. “Apa yang menyebabkan engkau tertawa, wahai Rasulullah?” tanya Umar dengan heran.
Nabi menjawab, “Aku heran kepada para perempuan itu. Saat mereka mendengar suaramu, mereka bergegas dan bersembunyi di balik tirai.”
Umar membalas, “Engkau, wahai Rasulullah, lebih pantas untuk ditakuti oleh mereka daripada aku.”
Kemudian Umar berseru kepada para perempuan itu, “Apakah kalian segan kepadaku dibanding Rasulullah?”
Mereka menjawab, “Ya. Engkau lebih keras dan tegas di banding Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah berkata kepada Umar, “Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, setan tidak pernah berpapasan denganmu di suatu jalan, kecuali ia akan mengambil jalan lain yang tidak kau lalui.”
Demikian kisah serius tapi santai bernada lucu antara Nabi dan Umar sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.
Hadis-hadis di atas dapat menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad dalam kehidupan keseharian bersama para sahabat adalah seorang pemimpin yang menyenangkan dan suka humor.
Di sini, bercanda atau berhumor dibutuhkan dalam suatu waktu. Bercanda ala Nabi adalah kelas ‘bercanda yang serius’. Maksudnya serius di sini yaitu bercanda yang memiliki makna dan tidak menyinggung hati pendengar.
Dalam peristiwa hadis pertama, kita bisa mengambil teladan bahwa ketika bercanda dengan orang lain sebaiknya seperlunya saja. Tujuannya untuk membangun energi positif, membangun komunikasi, dan hubungan yang harmonis.
Dengan cara begitu, orang akan merasa nyaman, tidak takut atau pun merasa segan bersama kita. Munculnya rasa segan di sini juga penting untuk memberi batas kedekatan suatu hubungan.
Lalu dalam peristiwa hadis kedua, Nabi Muhammad menjenguk sahabatnya sembari memulai dialog ringan yang mencairkan suasana. Bercanda selain membuat orang lain senang, juga sebagai cara untuk memberikan energi positif.
Melalui bercanda, orang lain dapat tertawa, sehingga membuahkan hati senang, pikiran terlepas dari pikiran negatif. Hal ini bisa diaplikasikan ketika hendak menjenguk orang sakit.
Bahkan selain itu, sifat humoris menjadikan kita dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan, memberi kebahagiaan kepada orang lain melalui ucapan yang positif.
Namun perlu dicatat, ‘bercanda yang serius’ adalah bercanda yang perlu menyinggung hati orang lain. Karena hati adalah ruang perasaan yang begitu sensitif, maka kita harus serius untuk peka terhadap kondisi perasaan orang yang kita ajak bercanda.
Kita pun harus menyadari bahwa memberikan suatu kebaikan kepada orang lain memang akhlak Islam yang luhur, namun tidak selamanya dengan cara bercanda seenaknya.
Hal ini karena berbuat baik itu bisa dengan mengucapkan kata-kata yang baik, yang dapat membahagiakan orang lain, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., setiap kata merupakan doa baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Wallahu a’lam.