Beberapa bulan yang lalu, publik dihebohkan dengan munculnya SKB 3 menteri terkait dengan penggunaan hijab. Pro dan kontra saling bersahutan di beberapa media online maupun sosial media. Hal ini tentunya berkaitan dengan meningatnya kebebasan berpendapat di Indonesia. Sehingga segala kebijakan yang berkaitan dengan simbol keagamaan, akan berubah menjadi domain publik.

Hijab memiliki sejarah panjang di Indonesia. Di masa orde baru, bentuk pemerintahannya cenderung otoritatif sedangkan kebebasan untuk berpendapat sangat dibatasi. Dampaknya, segala kebijakan yang terkait dengan pemerintahan maupun peribadatan dan pelaksanaan syariat diatur oleh pemerintah. Termasuk di dalamnya adalah aturan dalam penggunaan hijab.

Bagi pemerintahan orde baru, hijab dianggap sebagai fenomena politik. Dengan menggunakan dalih melawan kelompok islam ekstrimis, dan melindungi indentitas bangsa, banyak dikeluarkan aturan larangan penggunaan hijab.

Salah satunya adalah SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional, di mana di dalamnya mengatur tentang sanksi bagi pelajar atau guru yang menggunakan jilbab di sekolah. Ratusan kasus terjadi akibat dari aturan ini. Kasus terberat adalah dikeluarkannya siswa atau guru yang menggunakan hijab di sekolah.

Di era reformasi, yang sekaligus titik kebebasan berpendapat dimulai, tren hijabpun juga berubah. Di mana pada masa tersebut, hijab dijadikan sebagai salah satu simbol perlawanan. Apa yang dilarang oleh pemerintahan orde baru berusaha dirobohkan oleh publik saat itu. Berhijab di era ini tak hanya berangkat dari panggilan syariat namun juga sebagai simbol bahwa perempuan juga melawan.

Dari simbol perlawanan di era reformasi, hijabpun beralih pada sebuah tren fashion. Industri hijab tanah air berlomba-lomba mengeluarkan desain hijab terbaiknya. Hijab sama halnya dengan industri fashion lainnya yang cenderung mengalami perubahan cepat. Karena hijab di era sebelumnya direpresentasikan sebagai busana yang kuno, maka para desainer pasca era reformasi berusaha untuk mengubah mindset tersebut.

Seiring dengan meningkatnya religius sentimen di Indonesia dan maraknya tren hijrah di kalangan muslim Indonesia juga berdampak pada penggunaan hijab. Hijab tak hanya dimaknai sebagai sebuah tren fashion namun menjadi sebuah komodifikasi keshalehan.

Semakin lebar hijab seseorang maka semakin sholehah-lah kepribadiannya. Pun berhijab namun dianggap tidak memenuhi standar “syar’i” juga dianggap belum sholehah. Apalagi perempuan yang tidak berhijab akan dianggap sebagai perempuan yang tidak sholehah sama sekali.

Jilbab sebagai komodifikasi keshalehan perempuan juga didukung oleh banyaknya selebgram dan artis-artis yang memutuskan untuk berhijab. Perubahan busana ini rata-rata juga diikuti dengan perubahan bisnisnya. Mereka berhijab kemudian menjual busana-busana muslimah, dari mulai baju syari, hijab syar’i, kaos kaki syar’i, dan produk fashion lainnya dengan embel-embel syar’i.

Akibatnya, justifikasi keimanan dan keshalehan perempuan saat ini hanya menggunakan satu indikator saja yaitu hijab. Perempuan yang memiliki andil besar bagi masyarakat, memiliki peran besar untuk pendidikan akan dengan mudah dilabeli sebagai perempuan tidak taat hanya karena tidak menggunakan hijab. Meskipun sudah berhijab namun dianggap tidak sesuai dengan standar syar’i industri fashion, juga dianggap kurang taat.

Bahkan banyak narapidana yang tiba-tiba menggunakan hijab di pengadilan. Sebagai simbol pertaubatan dan penyesalan. Sebut saja publik figure seperti Jaksa Pinangki, Chaterine Wilson, dan Roro Fitria. Mereka yang sebelumnya tidak berhijab, tiba-tiba berhijab untuk menampakkan keshalehannya.

Lantas apakah kemudian kita harus mendukung para perempuan untuk menanggalkan hijabnya?

Tentunya tidak, bagaimanapun hijab adalah sebuah kewajiban bagi muslimah. Setidaknya itulah yang kita pahami dari jumhur ulama. Pun ada beberapa ulama kontemporer yang mendebatkan kewajiban muslimah dalam penggunaan hijab.

Namun penulis pribadi cenderung pada pendapat jumhur ulama  yang menyatakan bahwa menutup aurat adalah sebuah kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sedangkan perdebatan mengenai batas-batas aurat bukan menjadi fokus penulisan ini.

Permasalahan saat ini adalah ketika kita menggunakan hijab sebagai satu-satunya indikator keshalehan perempuan. Maka ketika ada hal-hal negatif yang secara manusiawi dilakukan oleh manusia berdasarkan fitrah nafsunya, hijab akan dijadikan korbannya.

Misalnya, Berhijab kok minum miras sih?. Seakan-akan yang tidak boleh minum miras itu hanyalah mereka yang berhijab saja, berlaku pengecualian untuk mereka yang tidak berhijab. Padahal miras, nyata-nyata dilarang dalam Islam baik bagi perempuan berhijab ataupun tidak berhijab.

Bagaimanapun tren hijab di Indonesia senantiasa eksis dan berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia (Syafitri, 2016). Hijab berkembang tidak hanya dalam permasalahan agama namun juga merambah pada dunia sosial, ekonomi, dan politik.

Hijab yang pada awalnya adalah simbol perlawanan atas rezim yang otoriter berubah menjadi sebuah komoditas keshalehan perempuan. Dan di setiap tren yang ada pasti akan dipenuhi dengan pro dan kontra. Ke depannya, akan muncul tren-tren baru lainnya sesuai dengan perkembangan masyarakat di masa mendatang

Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah membangun kesadaran bersama bahwa hijab adalah sebuah anjuran agama yang didukung oleh produk budaya. Sehingga hijab adalah mutlak sebagai preferensi perempuan atas tubuhnya.

Apapun pilihannya, perempuan harus menggunakan rambu-rambu habluminannas atau aturan cara bergaul dengan sesama manusia. Dan segala pilihan yang diambil tersebut harus berdasarkan analisis dan pilihan yang matang, tidak hanya sekedar ikut-ikutan.

Hijab tidak bisa dijadikan standar keshalehan perempuan. Karena kita ketahui bersama bahwa keshalehan seseorang hanya diketahui-Nya Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak secara lahiriyah indra manusia, sama sekali tidak mampu menembus kebatinan seseorang. Karena letak keikhlasan, ketaatan, dan niat seseorang ada di hati masing-masing individu.

 

Leave a Response